BANTUL — Gereja tidak hanya berperan dalam pembinaan spiritual umat, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial-politik dalam membentuk warga negara yang bertanggung jawab. Sebagai institusi keagamaan, gereja berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis melalui pendidikan dan pembinaan karakter umat.
Paroki Santa Theresia Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi tuan rumah pertemuan para penggerak kemasyarakatan rayon Bantul dan Kulon Progo Pada hari Minggu, 4 Mei 2025. Dalam sambutannya, Pastor Paroki, Rm. Antonius Hadi Cahyono, Pr menyampaikan rasa syukur atas kepercayaan yang diberikan kepada parokinya. Ia berharap pertemuan ini dapat menumbuhkan semangat kebangsaan di tengah umat dan menjadi sarana nyata bagi Gereja untuk terlibat lebih dalam membangun kehidupan berbangsa.
Hadir empat narasumber dalam acara ini, yakni Dominikus Radjut Sukasworo (Anggota DPRD DIY periode 2024-2029), Ranggabumi Nuswantoro, S.Sos., M.A., CIQaR (Dosen Departeman Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta/UAJY), G.M. Totok Hedi Santosa (Anggota DPR RI), dan Rm. Alfonsus Rodriguez Yudono Suwondo, Pr (Vikep Kevikepan Yogyakarta Barat).
Gereja dan Negara Bisa Bersinergi
Dominikus Radjut Sukasworo, anggota DPRD DIY periode 2024–2029, membuka sesi diskusi dengan mengajak peserta untuk melihat peran legislatif secara lebih luas. Menurutnya, tugas seorang legislator bukan hanya terbatas pada pembuatan perda atau kegiatan formal di parlemen, tetapi juga menyangkut kedekatan dengan masyarakat, mendengar aspirasi mereka, dan melakukan advokasi terhadap persoalan-persoalan sosial.
“Gereja dan negara dapat bersinergi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat. Forum seperti ini penting agar umat tidak hanya tahu tentang kebijakan, tetapi juga turut menyuarakan kebutuhan yang ada,” terang Radjut.
Ia menekankan pentingnya komunikasi langsung antara masyarakat dan pemangku kebijakan. Dengan begitu, umat tidak hanya menjadi objek dari kebijakan negara, melainkan juga menjadi subjek aktif dalam proses demokrasi.
(Dari kiri – kanan): Dominikus Radjut Sukasworo, Ranggabumi Nuswantoro, S.Sos., M.A., CIQaR, Rm. Alfonsus Rodriguez Yudono Suwondo, Pr, dan G.M. Totok Hedi Santosa. (Foto-foto: Sofyan Adi Nugroho)
Umat Harus Proaktif dan Mandiri secara Sosial
Narasumber berikutnya, Ranggabumi Nuswantoro, S.Sos., M.A., CIQaR — dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta — menyoroti pentingnya keterlibatan umat dalam isu sosial sejak dini. Menurutnya, keterlibatan tidak perlu menunggu momen-momen besar seperti pemilu, melainkan dapat dimulai dari lingkup yang paling kecil dan akrab: lingkungan.
“Paguyuban lingkungan yang sudah lama hidup di tengah Gereja seharusnya menjadi basis gerakan sosial umat dan wadah kaderisasi yang berlangsung alami,” kata Rangga.
Ia juga menekankan perlunya kemampuan umat dalam memilah informasi. Di tengah derasnya arus informasi media sosial, umat Katolik perlu memiliki kedaulatan berpikir yang jernih dan rasional, berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini menjadi bekal penting dalam menjaga kemandirian dan daya kritis dalam berbagai pelayanan sosial.
Kepemimpinan Harus Inklusif
G.M. Totok Hedi Santosa, anggota DPR RI, menyoroti pentingnya peran serta umat dalam pengambilan keputusan di dalam struktur Gereja. Ia mengajak Gereja untuk lebih membuka ruang partisipasi umat dalam diskusi dan forum-forum internal, sebagai respons terhadap dominasi informasi satu arah yang kerap terjadi di dunia digital.
“Informasi saat ini lebih banyak bersifat satu arah dan cenderung dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu. Tanpa kita sadari, ini membatasi kemampuan berpikir kita. Maka, diskusi dan pertukaran ide secara langsung jadi sangat penting,” jelasnya.
Totok juga menekankan bahwa kepemimpinan tetap memegang peranan penting dalam organisasi. Seorang pemimpin yang bijak akan memandu komunitasnya memahami medan karya pelayanan, baik untuk Gereja maupun negara.
“Kepemimpinan bukan soal hierarki semata, melainkan soal tanggung jawab merancang masa depan umat,” pungkasnya.
Kerasulan Awam, Pilar Pelayanan Publik
Menutup sesi diskusi, Rm. Alfonsus Rodriguez Yudono Suwondo, Pr — Vikep Kevikepan Yogyakarta Barat — memberikan peneguhan seputar makna kerasulan awam dalam konteks sosial-politik. Ia menegaskan bahwa melalui sakramen baptis, setiap umat Katolik dipanggil untuk mewartakan kebenaran dan menjadi pemimpin yang melayani, baik dalam lingkup gerejawi maupun kehidupan masyarakat luas.
“Kerasulan awam bukan sekadar perpanjangan tangan Gereja, tetapi perwujudan iman yang bertanggung jawab di ruang publik. Ini harus dijalankan dengan kasih, keberanian, dan semangat melayani,” tegas Rm. Wondo.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun integritas pribadi dan spiritual yang kuat sebagai fondasi pelayanan sosial yang otentik. Kunci dari pelayanan pastoral, menurutnya, terletak pada kemampuan untuk mendengarkan secara sungguh-sungguh.
Mengakhiri pemaparannya, Rm. Wondo mengajak umat untuk peka terhadap situasi kebangsaan yang kini menghadapi tantangan serius. Ia mengingatkan bahwa ideologi Pancasila kini menghadapi tekanan dari konflik kepentingan yang berpotensi merusak kesatuan bangsa.
“Jika tidak segera diantisipasi, rongrongan terhadap Pancasila dapat mengancam keutuhan kita sebagai bangsa. Gereja harus berperan aktif menjaga semangat persatuan dan memperkuat fondasi kebangsaan,” tandasnya.
Pendidikan dalam gereja bertujuan untuk membentuk individu yang berkomitmen terhadap iman, memiliki kualitas moral yang baik, serta memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Melalui khotbah, pengajaran, dan kegiatan komunitas, gereja menanamkan nilai-nilai seperti kasih, keadilan, kesetiaan, dan pengampunan yang menjadi dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
Pertemuan ini menjadi refleksi penting bahwa Gereja memiliki peran strategis dalam membentuk umat yang tidak hanya saleh secara spiritual, tetapi juga tangguh dalam menghadapi realitas sosial-politik. Dengan keterlibatan aktif umat, Gereja dapat menjadi motor perubahan sosial yang membawa terang di tengah masyarakat. (Andy)