Panitia Hari Paroki ke 97, Gereja St Theresia Sedayu, menyelenggarakan misa bersama difabel (misa inklusi). Bekerja sama dengan Kevikepan Yogyakarta Barat, sebanyak 350 difabel hadir, pada misa yang dipimpin Rm AR Yudono Suwondo, Pr (Romo Wondo), Vikep Yogyakarta Barat. Mengangkat tema Aku Dicintai Gerejaku, misa dihelat pada Minggu (27/10/2024).
Panitia juga menghadirkan enam imam atau pastor lainnya, untuk menyebarkan semangat. Sekaligus membantu pelayanan dalam membagi komuni kudus. Mereka adalah: Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr; Romo Dominicus Bambang Sutrisno, Pr (pengguna kursi roda) ; Romo Adoitus Suratmo Atmomartaya, Pr; Romo Antonius Hadi Cahyana, Pr; Romo Cosmas Christian Timur, Pr (pengguna krug penyangga tubuh); dan Romo Antonius Koko Kristianto, Pr.
Misa inklusif tersebut melibatkan difabel dalam seluruh rangkaian acaranya. Ada beberapa yang bertugas mengantarkan para pastor menuju mimbar. Tiga orang difabel bertugas membaca kitab di mimbar, di antara para imam atau pastor. Misa juga menghadirkan seorang juru bahasa isyarat.
Memimpin perayaan ekaristi tersebut, Romo Vikep menyampaikan khutbahnya. Kita ingin merayakan cinta Tuhan kepada kita. Dalam kebersamaan yang indah ini, kita ingin memastikan bahwa masing-masing dapat mengalami cinta Tuhan. Kalian semua juga dicintai oleh Tuhan. Dan gereja sebagai putra putri yang mewartakan kasih Tuhan, ingin menunjukkan cinta itu pada kalian,” Romo Wondo dalam khutbahnya.
Selanjutnya, menggunakan krug di lengan kiri dan kanan, Rm Cosmas Christian Timur (Romo Oot) menyampaikan penguatan. “Difabel adalah orang yang mampu bertahan. Orang-orang hebat. Tuhan menginginkan kita menjadi pancaran rahmat bagi yang lain. Dalam kelemahanlah, kuasa Tuhan itu sempurna,” seruannya.
Dia juga bercerita, dia menjadi difabel tidak dari lahir. Melainkan pada usianya tiga tahun jatuh, kemudian menjadi lumpuh. “Namun, meski saya menjadi difabel, saya terus maju. Apa pun yang terjadi, enak gak enak, semua perlu disyukuri,” ujar Romo Oot.
Lanjutnya, Bahwa apa yang kau terima dari Tuhan, adalah yang terbaik bagimu. Apa pun keadaanmu, adalah yang terbaik dari Tuhan. Jangan minder, jangan takut. Kemungkinan itu selalu ada. Yang harus disiapkan adalah semangat. Jangan malu ke gereja.
“Gereja terbuka untuk semua. Gereja adalah rumah yang penuh kasih. Di mana ada kasih, di situlah semua orang boleh datang. Ayo, buatlah gereja menjadi tempat yang paling nyaman. Tempat kita mengatatakan syukur kepada Tuhan. Tuhan mencintai kita, apa adanya kita,” nilai kehidupan dibagikan Romo Oot.
Demikian pula Romo Bambang, pada khutbahnya dia menyelipkan nilai-nilai kehidupan. Dirinya yang menggunakan kursi roda, mengistilahkan dirinya cacat. Diakuinya, bahwa menjadi cacat (difabel), itu tak mudah.
“Orang cacat, jangan berpikir sama dengan orang pada umumnya. Jika hanya bisa mengerjakan hal kecil, tak apa-apa. Ketika kita setia pada yang kecil, tentu kita akan setia pada yang besar. Kemampuan sekecil apapun, kalau dimaksimalkan, jangan khawatir, Tuhan selalu hadir,” pesan Romo Bambang.
Kembul bujono
Pasca misa berlangsung, seluruh peserta misa diajak makan siang bersama para pastor. Siang itu, terlihat Romo Vikep mendatangi satu meja ke meja lainnya. Menyapa secara langsung umatnya. Menyampaikan kasihnya, dengan menghadiahi setangkai bunga mawar untuk tiap-tiap difabel.
Kepada solidernews.com, Romo Wondo menerangkan, bahwa dalam acara makan bersama itu, gereja bukan memberi makan. Melainkan, mengajak mereka makan. “Kami mrajakke [menghormati] kehadirannya, melalui kembul bujono.” ujarnya
Misa inklusif tersebut, lanjut dia, murni muncul atas inisiatif pengurus dan anggota Paroki Sedayu. Paroki yang konsisten memberi perhatian terhadap disabilitas. Bahkan, kata dia, ada kelompoknya, namanya Pinilih.
Inisiatif tersebut disambut positif oleh susteran PMY, lanjut Romo Wondo. Institusi pendidikan yang memiliki perhatian, memberi hati bagi anak-anak difabel. Hellen Keller, adalah sekolahnya. Bersekolah di sana, anak-anak difabel ganda, bahkan multi difabel.
“Saya hanya ingin meneguhkan, bahwa gerakan semacam ini adalah gerakan yang menggambarkan, bagaimana membantu difabel agar memiliki suasana hati. Memahami, bahwa gereja mencintai mereka. Gereja memberi perhatian kepada mereka,” ujar Romo Wondo.
Tersebut di atas, yang ingin diwartakan gereja. Bahwa para difabel dan keluarga mereka, tidak di wilayah lain. Bukan orang lain. Melainkan, berada di wilayah gereja, bagian dari gereja.
Gereja terbuka untuk semua. Hal ini diwujudnyatakan dengan, memikirkan aksesibilitas pembangunan gedung baru dan renovasi gedung lama. Jumlah atau kapasitasnya memang tidak sama. Ada paroki dengan kontur tanah tertentu, kemudian membuat berbagai aksesibilitas. Sehingga difabel bisa masuk dan mengakses gereja.
Gereja melalui pilihan tindakan, ada di dalam arah dasar keuskupan. Dalam Ardas atau pedoman hidup beriman umat Katolik, berkali-kali dikatakan. Bahwa mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD), adalah bagian dari gereja. Hal ini menjadi kesadaran umat di Keuskupan Agung Semarang.
Kemudian uskup membentuk komisi khusus, komisi lingkungan hidup. Yakni komisi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Komisi ini yang menangani salah satunya difabel. Komisi tersebut merupakan turunan dari komisi keadilan, migran dan perantau (KWI). Oleh Keuskupan Agung Semarang, ditambahi disabilitas.
Perhatian tersebut digalakkan sejak Keuskupan Agung Semarang dipimpin Uskup Suharyo (Ignasius Suharyo Hardjoatmodjo). “Tindakan hari ini hanya mahkota saja (selebrasi). Sebelumnya terdapat rangkaian panjangnya. Rangkaian yang sudah dan akan terus dilaksanakan,” terang Romo Wondo, Romo Vikep Jogja Barat.
Pesan mendalam disampaikan Romo Wondo. “Gereja mencintai kalian. Gereja menaruh kalian dalam hatinya”.
Pedoman ada di Vatikan
Lanjutnya, Pertemuan liturgi regio Jawa, yang terlaksana di Jawa Timur, sudah merancang dan membuat pedoman khusus, perayaan ekaristi untuk difabel.
Bahkan dalam gereja vatikan juga ada. Bagaimana perayaan ekaristi bagi difabel tidak sama dengan yang lain. Waktu pelaksanannya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan umat difabel.
“Inklusi semacam ini ada tatanannya tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Hari ini sudah termasuk dalam koreksi pedoman tersebut. Sehingga cukup pendek dan simpel. Bahwa kotbahnya panjang tidak apa-apa. Tetapi dalam penyampaian, menggunakan kata-kata yang pendek, yang mudah dimengerti,” tutur Romo Wondo.
Lebih jelas diterangkannya, bahwa rangkaian yang disesuaikan adalah pada perarakannya dan simplisitas di dalam doa syukur agung. “Yang bisa disesuaikan kita sesuaikan. Namun yang baku, yang khas gereja katolik tidak diubah. Doanya sama. Tidak dibedakan difabel atau non difabel,” terang Romo Vikep Jogja Barat tersebut.
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan