Istilah “Queer” sering digunakan sebagai istilah umum (payung) untuk komunitas LGBTQ+ yang memiliki berbagai identitas seksual dan gender. Istilah ini mencerminkan pandangan bahwa seksualitas dan gender dapat bersifat cair, tidak tetap, dan tidak selalu sesuai dengan biner laki-laki atau perempuan. Saudara-saudara kita yang beriman Katolik dan menyatakan diri sebagai umat queer ini banyak yang merasakan kerinduannya hidup dalam pelukan Gereja Katolik, merasakan cinta kasih Yesus dalam hidup mereka. Untuk itu mereka saling meneguhkan iman dalam sebuah komunitas yang bernama “LAYUNG KRISTI”.
Komunitas Layung Kristi telah menyelenggarakan rekoleksi queer pada 27–28 September 2025 di Wisma Salam, Muntilan, Magelang yang didampingi oleh Rm. Andreas Setyawan SJ. Diteguhkan dengan perayaan Ekaristi khusus yang dipimpin langsung oleh Rm. Yohanes Dwiharsanto, Pr – Vikep Kategorial KAS. Ekaristi ini mengambil tema “Dikasihi dan Diutus: Hati Yang terbuka bagi Sesama”. Beginilah tanggapan dan kesan dari salah satu anggota Layung Kristi setelah mengikuti rekoleksi queer.
Di Mana Ada Cinta Kasih, Di Situ Tuhan Hadir
Oleh: anggota Layung Kristi
Saya, bersama umat Katolik ragam gender dan seksualitas lainnya, baru saja menyelesaikan sebuah retret yang meninggalkan kesan mendalam dan sukacita tak terbendung. Retret dua hari satu malam ini diselenggarakan oleh Layung Kristi; komunitas yang bernaung di bawah Kevikepan Kategorial Keuskupan Agung Semarang; pada 27–28 September 2025 di Wisma Salam, Muntilan, Magelang. Kegiatan ini inklusif bagi ragam disabilitas dan iman, seluruhnya dilaksanakan dengan tata ibadah Katolik.
Perjalanan rohani ini diawali dengan sapaan penuh makna dari Romo Andreas Setyawan, SJ. Beliau menyentuh inti terdalam luka kami: bahwa alih-alih pergi dari Gereja, kami terluka oleh orang-orang di dalamnya. Romo Setyawan mengajak kami melihat kisah Yesus yang sejatinya tidak bicara tentang agama; sebuah konsep modern; melainkan tentang relasi yang tulus antara manusia dengan Allah. Beliau meneguhkan kami dengan pesan, “Saya dicintai Tuhan dengan cara saya sendiri,” sebuah afirmasi yang memulihkan dan memvalidasi.
Kami merefleksikan kembali definisi “domba yang hilang.” Selama ini, narasi Gereja cenderung merangkul kami dengan stigma dosa. Padahal, yang seharusnya dicari adalah mereka yang tetap di dalam Gereja, tapi justru melakukan pengucilan dan diskriminasi. Kami sadar, luka kami datang dari tindakan eksklusif dalam Gereja. Pengalaman ini menjadi pengingat bagi otoritas Gereja untuk melihat kembali dan membangun tindakan-tindakan afirmatif dan memberdayakan.
Sukacita kami tak terbendung ketika merasakan penyambutan ini. Pengalaman pulang ke rumah ini menegaskan bahwa Gereja adalah Bapak yang menerima kami seutuhnya.
Beranjak dari luka masa lalu, kami kemudian memasuki sesi Masa Kini dan Masa Depan, yang dipandu oleh Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr (Vikep Kategorial KAS) dan Fr. Wahyu, SJ. Ruang dialektika yang dibuka terasa ramah, santai, dan penuh hormat.
Romo Dwi Harsanto, Pr mengingatkan bahwa kami dipanggil untuk menjadi “nabi-nabi yang mewartakan kesetaraan” dan mensyukuri kehadiran Kevikepan Kategorial (didirikan 1 Juni 2018) sebagai rahmat bagi komunitas non paroki. Tujuannya sederhana: “Kita ini hidup bersama untuk nyaman bersama.”
Fr. Wahyu, yang juga memiliki pengalaman mendampingi Pesantren Waria Alfatah, menekankan dua kata kunci: kesetaraan dan kenyamanan. Beliau mengajak kami memastikan bahwa apapun pilihan hidup kami, ia harus nyaman untuk diri sendiri dan orang lain.
Melalui dialog ini, jurang yang terbentuk karena ketidaktahuan mulai terdekat. Kami menyimpulkan bahwa narasi dosa tidak sesuai untuk merangkul jemaat queer. Sebaliknya, yang menjadi esensi adalah cinta kasih. Di mana ada cinta kasih, di situ Tuhan hadir. Perjumpaan ini sungguh membangun resiliensi kami.
Sebagai umat, harapan kami ke depan semakin besar. Kami berharap Layung Kristi dapat terlibat dalam proses perencanaan Kevikepan Kategorial, dan semakin banyak ruang penerimaan, seperti rencana audiensi dengan Bapak Uskup Agung Semarang, terbuka. Kami percaya, banyak umat queer yang rindu pulang ke Gereja, dan Gereja yang inklusif adalah jawabannya.
Tanggapan dan kesan Rm. Yohanes Dwiharsanto, Pr – Vikep Kategorial KAS selama turut serta mendampingi rekoleksi queer, “Rekoleksi queer berlangsung baik. Dari sharing peserta, bahwa mereka merasa diteguhkan. Air mata menetes. Mereka sebagian tidak pernah ke Gereja, merasa sudah log-out dari Katolik. Masih banyak temannya yang tidak mau hadir di rekoleksi ini. Beranggapan mau dipertobatkan, istilahnya konversi penyembuhan. Mereka menolak karena trauma dengan kekejaman sesamanya warga Gereja maupun oknum hirarki. Kesehatan Mental jelas terganggu. Sebelum ikut rekoleksi, mereka browsing nama-nama panitia dan pembicaranya, pendampingnya dan sebagainya. Ternyata akhirnya lega, tidak dihakimi, tidak diajak kembali “normal”. Cukup apa adanya menerima kasih Yesus. Mereka rindu ber-audiensi dengan Bapak Uskup”. (Sekretariat kevikepan Kategorial KAS, Oktober 2025)