Workshop Pirolisis Dorong Solusi Nyata Sampah Plastik dalam Peringatan 10 Tahun Laudato Si

Twitter
WhatsApp
Email

Sleman — Peringatan 10 tahun Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus ditandai dengan Workshop Pengelolaan Sampah Plastik menggunakan teknologi pirolisis di Rumah Pengolahan Sampah Plastik Pirolisis Cupuwatu II, Purwomartani, Kalasan, Minggu (21/9/2025).

Acara yang berlangsung pukul 09.00–12.00 WIB ini menjadi bagian dari gerakan global Musim Penciptaan yang diperingati setiap 1 September hingga 4 Oktober. Kegiatan tersebut mengajak masyarakat menemukan solusi konkret atas persoalan sampah plastik yang masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Sampah plastik disebut sulit terurai dan menimbulkan pencemaran darat maupun laut. Tingkat daur ulang di Indonesia masih di bawah 10%, sementara penggunaan plastik sekali pakai seperti kantong kresek dan gelas plastik masih sangat tinggi.

Melalui workshop ini, peserta diperkenalkan teknologi pirolisis yang dapat mengubah plastik menjadi bahan bakar. Edukasi dan praktik langsung diharapkan mendorong kesadaran masyarakat menjaga bumi sebagai rumah bersama, sejalan dengan semangat Laudato Si’.

Panitia dan Peserta Workshop Pirolisis Dorong Solusi Nyata Sampah Plastik dalam Peringatan 10 Tahun Laudato Si


Edukasi Pengelolaan Sampah Plastik melalui Teknologi Pirolisis

Pegiat lingkungan Fransisca Supriyani Wulandari Supriyani Wulandari memperkenalkan teknologi pirolisis sebagai solusi pengolahan sampah plastik dalam sebuah sesi edukasi. Ia menilai cara ini lebih ramah lingkungan dibanding insinerator yang dinilai tidak efektif dan menimbulkan polusi di Indonesia.

Fransisca Supriyani Wulandari menegaskan krisis plastik dipicu sulitnya material ini terurai, tingginya konsumsi plastik sekali pakai, serta kebiasaan masyarakat membakar sampah. Menurutnya, pembakaran plastik hanya menambah polusi dan konflik di lingkungan.

Pegiat lingkungan Fransisca Supriyani Wulandari Supriyani Wulandari memperkenalkan teknologi pirolisis

Pirolisis dinilai lebih efektif karena mengubah plastik menjadi energi seperti bensin, solar, minyak tanah, hingga briket dengan residu yang bisa dijadikan pupuk. Hasil pengolahan tersebut digunakan untuk operasional dan kegiatan edukasi, bukan untuk diperjualbelikan.

Program edukasi yang dijalankan Fransisca Supriyani Wulandari tidak hanya menyasar masyarakat lokal, tetapi juga sekolah, komunitas lintas iman, serta mahasiswa internasional yang belajar langsung pengelolaan sampah melalui program live-in.

Ia menegaskan, tanggung jawab utama tetap ada pada setiap individu. “Kita harus mulai dari diri sendiri agar sampah tidak merugikan orang lain,” ujarnya.

Agustinus Irawan Irawan Soroti Krisis Air Bersih dan Sampah Plastik di Sleman

Seluruh mata air di Sleman tercemar bakteri E.coli berdasarkan penelitian Forum Komunitas Sungai Sleman pada 2022–2024. Temuan ini disampaikan Agustinus Irawan Irawan, instruktur Saka Kalpataru.

Agustinus Irawan menjelaskan pencemaran berasal dari penggunaan pupuk kandang yang belum difermentasi sempurna sehingga meresap ke tanah dan muncul kembali di mata air. Kondisi ini diperparah oleh maraknya sampah plastik dan buruknya pengelolaan limbah cair.

Ia mencontohkan tren es teh jumbo yang menghasilkan empat jenis sampah plastik sekaligus: cup, tutup, sedotan, dan kantong kresek. “Satu produk saja sudah menyumbang empat kategori sampah plastik,” ujarnya.

Agustinus Irawan Irawan instruktur Saka Kalpataru

Di sisi lain, Agustinus Irawan mengungkap 154 instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal di Sleman mengalami kerusakan. Limbah cair akhirnya langsung masuk ke sungai tanpa pengolahan optimal, sehingga memperparah pencemaran.

Ia menilai kualitas air hasil olahan IPAL memang menurun kadar BOD dan COD-nya, tetapi tidak layak dikonsumsi. “Lele bisa hidup, tapi rasanya pahit. Itu bukti limbah kita ekstrem,” tegasnya.

Agustinus Irawan mendorong komunitas dan masyarakat untuk menyusun rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah maupun pusat. Menurutnya, ada banyak dana lingkungan melalui Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang dapat dimanfaatkan komunitas untuk program pelestarian sungai dan sumber air.

Paroki Hijau Dorong Umat Katolik Hidup Ramah Lingkungan

Program Paroki Hijau digulirkan untuk mendorong komunitas gereja berperan aktif menjaga lingkungan sesuai semangat ensiklik Laudato Si. Gagasan ini disampaikan Kianto Atmodjo Atmodjo dari Tim Laudato Si Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Kianto Atmodjo menekankan masalah lingkungan bukan sekadar kurang kesadaran, melainkan kurang keterampilan mengelola sampah dan perilaku konsumsi. Ia mencontohkan budaya prasmanan yang sering menyisakan banyak makanan. “Bukan masalah tidak sadar, tapi soal kebiasaan dan keterampilan dalam bertanggung jawab atas limbah,” ujarnya.

Konsep Paroki Hijau disebut sebagai bentuk konkret paroki Laudato Si. Program ini menekankan pengelolaan sampah yang dimulai dari gereja dan liturgi. Misalnya, penggunaan bunga potong diganti dengan tanaman hidup, persembahan yang ramah lingkungan, serta dorongan untuk mengurangi plastik dalam setiap kegiatan.

Kianto Atmodjo Atmodjo dari Tim Laudato Si Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Kianto Atmodjo juga menekankan perlunya edukasi berkelanjutan melalui homili ekologis, doa umat yang memuat kepedulian lingkungan, hingga perayaan Minggu Ciptaan setiap 1 September–4 Oktober. Menurutnya, peran aktif umat sangat penting agar visi komunitas iman yang hidup harmonis dengan alam dapat terwujud.

Selain pengelolaan sampah, Kianto Atmodjo menyoroti pentingnya praktik ekonomi sirkuler. Bank sampah di lingkungan paroki dinilai mampu membantu mengurangi limbah sekaligus memberi nilai ekonomi. Beberapa paroki disebut berhasil mengumpulkan puluhan juta rupiah dari hasil pengelolaan sampah.

“Paroki Hijau bukan sekadar gerakan seremonial. Ini cara kita menunjukkan iman dengan peduli ciptaan Tuhan dan memberi teladan nyata bagi masyarakat,” tegasnya.