Semarang – Dalam upaya memperkuat perlindungan anak dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan, TPP (Tim Peduli Pendidikan) Kevikepan Semarang – YISK (Yayasan Insan Sekolah Kasih) menyelenggarakan ‘Workshop Safeguarding: Membangun Budaya Aman di Sekolah, Rabu (23/4/25), bertempat di Aula BPR Restu Artha Makmur, Semarang.

Acara ini menghadirkan narasumber tunggal Dr. Hotmauli Sidabalok, SH, CN, MH, seorang anggota Tim Safeguarding Provindo SJ dan Dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Soegijapranata Catholic University. Dengan pengalaman mendalam di bidang hukum dan advokasi perlindungan anak dan dewasa rentan, beliau akan memfasilitasi peserta memahami konsep safeguarding dan perlindungan anak serta membangun sistem perlindungan yang berkelanjutan di lingkungan sekolah.

Sebanyak 40 peserta yang terdiri dari kepala sekolah dan guru SMP, SMA, dan SMK di Kota dan Kabupaten Semarang berpartisipasi dalam workshop intensif ini. Dalam kegiatan ini mereka memperoleh pemahaman komprehensif mengenai prinsip safeguarding, regulasi perlindungan anak di Indonesia, serta cara membangun ekosistem sekolah yang peduli dan responsif terhadap isu kekerasan dan kerentanan.
Mengapa Safeguarding? Kasus kekerasan di lingkungan pendidikan masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah di Indonesia. Tidak hanya kekerasan fisik, bentuk kekerasan verbal, psikologis, hingga kekerasan berbasis gender juga kerap terjadi tanpa terdeteksi secara sistematis. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan 2024, lebih dari 30% siswa Indonesia melaporkan mengalami kekerasan.

“Hal tersebut menegaskan urgensi akan pentingnya upaya pencegahan yang bersifat menyeluruh dan berkelanjutan. Sekolah sebagai ekosistem tumbuh kembang anak semestinya menjadi ruang aman dan nyaman yang mendukung hak-hak anak serta kesejahteraan psikososial mereka,” tegas Hotmauli.
Tandasnya lagi, workshop ini hadir sebagai respons atas kebutuhan mendesak tersebut, dengan menekankan pada pengembangan budaya aman dan inklusif di sekolah yang melibatkan seluruh elemen pendidikan. Melalui pendekatan safeguarding, para pendidik diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan, serta keberanian untuk mengenali, mencegah, dan menangani potensi risiko kekerasan secara tepat.
Uli pun menyitir pesan mendiang Paus Fransiskus yang ditujukan kepada peserta sidang pleno Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak di Bawah Umur di Roma pada tanggal 24-28 Maret 2025 lalu. “Pencegahan kekerasan bukanlah selimut untuk ditebarkan dalam keadaan darurat, tetapi salah satu fondasi untuk membangun komunitas yang setia pada Injil,” sitirnya.
Pesan tersebut makin menguatkan komitmen TPP-YISK untuk menjadi mitra strategis Gereja Katolik dalam mendorong transformasi budaya sekolah, mendampingi pendidik betumbuh tidak hanya cakap memfasilitasi proses belajar namun juga peduli dan tangguh secara sosial untuk berperan aktif dalam upaya perlindungan anak dan dewasa rentan.

Menurut perwakilan TPP-YISKA Hartanti Nugraheni, kegiatan ini merupakan bagian dari Program ANDALAN, yaitu Anak Muda Berdaya, Lingkungan Aman dan Nyaman, Bebas Kekerasan, program penguatan partisipasi anak muda sebagai penggerak isu zero tolerance kekerasan terhadap anak. Program ini membangun kapasitas anak muda dan dukungan oleh enabling environment, sehingga mereka mampu berperan aktif dalam proses perubahan ekosistem sekolah menuju sekolah yang aman dan nyaman, bebas dari kekerasan. Program ini diinisiasi tahun 2023 dan masih berjalan serta terus berkembang. Hingga sekarang TPP telah bermitra dengan 9 SMA/K dan SMP di Semarang, Solo dan Pekalongan. (BD Elwin)