Kita mengenal isitlah post truth, zaman dimana yang benar bisa dianggap benar sementara yang salam dianggap benar. Bagaimana kita mesti bersikap?

Kita tentu mengenal sosok Yohanes Pembaptis, anak dari Zakharia dan Elisabeth. Sejak kelahirannya, Yohanes telah menjadi buah bibir banyak orang. Yohanes lahir di kala kedua orang tua mereka telah memasuki masa tuanya. Nama yang diberikan kepadanya pun tidak mengikuti kelaziman pada waktu itu. Demikian juga pada masa dewasanya. Ia pergi dan tinggal di padang gurun. Ia memenuhi nubuat nabi Yesaya. Di padang gurun, Yohanes menyerukan pertobatan.

Kisah kenabian Yohanes Pembapatis yang menyerukan pertobatan kiranya menarik jika kita baca dalam konteks arus media pada zaman ini.

Saat ini, guncangan media sangat terasa. Situasi keterbatasan informasi seketika luruh dan digantikan dengan situasi kebanjiran informasi. Hal ini dapat dilihat dari fenomena kenaikan pengguna internet yang dari saat ke saat meningkat pesat. Kenaikan ini diikuti dengan peralihan sumber informasi. Semakin hari, media tradisional terdesak oleh media digital. Media-media tradisional mulai ambruk satu persatu. Produksi informasi menjamu dalam versi media digital.

Media digital sebagai sumber informasi pun semakin mengerucut pada media sosial. Pengaruh media sosial sangat besar pada zaman ini. Ketika media digital semakin berpengaruh, maka terjadi juga perubahan pola sumber berita. Informasi yag membanjir tidak lagi mampu terkontrol dengan baik. Siapa pun bisa memproduksi konten dan karenanya tidak mudah untuk melacak sumbernya.

Ketika sumber berita tidak lagi bisa terlacak, muncullah fenomena hoaks. Semakin sering sebuah berita hoaks dipublikasikan dan disebarkan, semakin ia mempengaruhi pola pikir kita. Bahkan, sebuah berita hoaks akan mampu mempengaruhi wacana publik.

Fenomena yang terus berkembang ini akhirnya memunculkan sebauh generasi baru, yaitu generasi “post truth”. “Post-truth” adalah kata sifat yang berarti suatu keadaan di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif. Media sosial mengobrak abrik rasa perasaan kita sehingga nalar dan pikiran seolah lenyap tanpa bekas. Akibatnya, kita lebih didorong oleh emosi ketimbang bernalar. Karenanya media sosial memiliki potensi besar untuk mengubah berita menjadi menyimpang, salah tempat, tidak relevan, dan superfisial. Inilah berita yang ilusif, seolah kita mengetahui banyak hal, padahal tanpa sadar justru kita bisa atau sedang menjauh dari fakta yang sesungguhnya.

Mudahnya, generasi post truth adalah generasi dimana rasa perasaan lebih mendominasi, yang salah dianggap sebagai sebuah kebenaran sementara kebenaran justru dianggap sebagai sesuatu yang salah. Kita tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Hal ini makin diperparah dengan adanya ketercerabutan akibat ketidakmampuan kita dalam memilah antara identitas fisik dan identitas digital. Seorang pribadi dengan satu identitas fisik bisa memiliki beragam identitas digital. Tidak ada hirarki di media sosial. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama. Uskup, Rama, pejabat, atau yang lainnya memiliki kedudukan yang sama dengan anak-anak kecil yang bermain di media sosial. Pada bagian ini, sering kali terjadi kegagapan teknologi. Padahal, media sosial berbeda dengan dunia nyata.

Berbicara dari sudut pandang seperti ini, sepertinya media digital atau dalam konteks lebih sempit lagi media sosial, sepertinya terasa tanpa pengharapan. Benarkah? Apakah kita tidak bisa melakukan sesuatu?

Adalah baik jika kita berani menarik diri dan pergi ke padang gurun seperti yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis. Pendidikan padang gurun menjadikannya seorang nabi yang kemudian berseu denga suara lantang. Di padang gurun, ia menyerukan pertobatan. Pertobatan seperti apakah yang bisa kita buat di arus media digita zaman sekarang ini?

Generasi post truth sulit untuk dicegah. Maka kita harus menciptakan generasi baru, yaitu generasi yang memiliki habitus media digital yang cerdas. Ambil contoh sederhana. Ada share informasi dari keuskupan, kevikepan atau paroki di media sosial dimana kita ada didalamnya. Apakah kita perhatikan, baca, dan ditindaklanjuti? Jangan-jangan, informasi penting itu kita diamkan saja. Ketika tiba giliran ditanyakan dengan enteng kita jawab, “kok belum terima informasinya, ya”.

Mari kita ciptakan habitus media digital yang cerdas.

Pertama, menjadi pengguna media digital yang cerdas. Manusia diciptakan dan diutus untuk menguasai segala sesuatu. Maka selayaknya, kita pun menjadi penguasa atas media digital. Jangan sampai kita dikuasai dan dikendalikan oleh media digital.

Kedua, kita harus mampu dan berusaha merespon informasi hoaks dan menciptakan konten-konten positif di media, baik konvensional maupun digital. Jika selama ini kita menjadi konsumen, mengapa kita tidak berusaha menjadi produsen informasi positif. Ada banyak hal bisa diwartakan dan diserukan: berbagai dinamika atau program di tingkat paroki, kevikepan, sampai keuskupan; pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh gereja dan nasional; danmasih banyak lagi. Ketika berbagai konten posistif tersedia, maka akan terbentuk pula wacana yang lebih positif.

Ketiga, membangun jejaring. Jejaring ini sangat penting. Tujuannya untuk memperluas gerakan yang hendak diperjuangkan: habitus medita digital yang cerdas. Semakin luas dan kuat jaringannya, semakin luas dan kuat pula pengaruhnya pada masyarakat atau umat. Menjamurnya berita hoaks, membuat kita gagap. Tapi diam tanpa membuat gerakan tandingan. Ingat, berita hoaks menjadi demikian meledak karena ada kekuatan jaringan untuk menyebarkannya. Apalah artinya sebuah wacana positif terpublikasikan ketika tidak diikuti dengan gerakan sebarannya?

Akhirnya, Yohanes Pembaptis berseru-seru di padang gurun. Di padang gurun ia menyerukan pertobatan. Ada atau tidak yang mendengarkan, Yohanes Pembaptis tetap berseru-seru di padang gurun. Tuhan memberkati.