Paroki Pringwulung — Sekitar 50 umat Katolik dari berbagai paroki dan komisi pastoral di Kevikepan Yogyakarta Timur berkumpul di Aula Gereja Paroki Pringwulung untuk mengikuti kursus singkat bertajuk Problematika Pernikahan Beda Agama, Selasa (17/6/2025). Kursus ini dibawakan oleh Romo Benedictus Seprinanda Pr., anggota Tribunal Keuskupan Agung Semarang yang akrab disapa Romo Nanda.
Dalam pemaparannya, Romo Nanda menyoroti berbagai pertanyaan dan keresahan umat Katolik yang menjalin relasi atau berencana menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Salah satu pertanyaan mendasar yang kerap muncul adalah: apakah pernikahan beda agama bisa dianggap sah dan sakramental dalam Gereja Katolik?
Makna dan Tujuan Perkawinan Katolik
Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 kan. 1055 §1, perkawinan Katolik adalah suatu foedus (perjanjian) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk kebersamaan hidup. Ini bukan lagi sekadar kontrak, melainkan perjanjian suci berdasarkan kasih dan iman. Tujuan utamanya mencakup kesejahteraan pasangan, kelahiran anak, dan pendidikan anak-anak mereka.
Romo Nanda menegaskan bahwa hukum yang mengatur perkawinan Katolik bersumber dari tiga ranah: hukum ilahi, hukum kanonik, dan hukum sipil. Hukum ilahi bersifat universal dan mengikat semua orang, sedangkan hukum kanonik mengikat umat Katolik yang telah dibaptis. Sementara itu, hukum sipil mengatur aspek administratif seperti pencatatan dan usia minimal perkawinan.
“Meski hanya satu pihak yang Katolik, perkawinan tetap harus mengikuti hukum Gereja. Gereja berhak mengatur kehidupan iman umatnya, termasuk dalam hal perkawinan,” jelas Romo Nanda.
Sakramen vs. Pemberkatan: Apa Bedanya?
Salah satu poin penting yang dibahas dalam sesi ini adalah perbedaan antara sakramen perkawinan dan pemberkatan perkawinan. Sakramen hanya terjadi jika kedua mempelai telah dibaptis dalam iman Katolik. Sedangkan dalam perkawinan beda agama—misalnya antara Katolik dan Islam—pernikahan tersebut bukanlah sakramen, melainkan pemberkatan.
Namun demikian, janji yang diikrarkan tetap memuat nilai-nilai kesetiaan, cinta, dan penghormatan seumur hidup. “Perbedaannya terletak pada model cinta yang diteladani—umat Katolik meneladani Kristus, sedangkan pasangan non-Katolik bisa meneladani tokoh iman dari agamanya masing-masing,” terang Romo Nanda.
Menariknya, jika pasangan non-Katolik di kemudian hari memeluk iman Katolik dan menerima pemahaman tentang sakramen, maka pernikahan yang semula bukan sakramen akan menjadi sakramental secara otomatis—tanpa perlu pembaruan janji nikah.
Proses Penyelidikan dan Kejujuran dalam Persiapan
Setiap calon pasangan Katolik wajib melalui proses penyelidikan kanonik. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada halangan hukum atau alasan serius yang membuat perkawinan menjadi tidak sah atau tidak layak. Kejujuran sangat ditekankan, khususnya dalam pengakuan status kebebasan menikah dan kesanggupan mendidik anak dalam iman Katolik.
Romo Nanda menegaskan, “Pihak non-Katolik harus mengetahui dan menyetujui komitmen pasangan Katolik untuk mendidik anak secara Katolik. Ini adalah bagian dari perlindungan iman dan tanggung jawab Gereja.”
Suara dan Sharing dari Umat
Sesi tanya jawab berlangsung hangat dan penuh refleksi. Beberapa peserta membagikan pengalaman pribadi—baik suka maupun duka—dalam kehidupan rumah tangga yang dijalani oleh anak atau kerabat mereka dengan pasangan non-Katolik. Ada pula pertanyaan tentang perceraian, yang dijawab dengan tegas oleh Romo Nanda: Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, namun mengenal proses pembatalan perkawinan (nullitas) jika terbukti ada halangan seperti impotensi permanen, kekerasan, atau ketidakjujuran sejak awal.
Penutup: Kasih Tak Mengenal Sekat, Iman Perlu Dijaga
Meski pernikahan beda agama bukan hal yang dilarang oleh Gereja, umat Katolik diingatkan untuk tetap menjaga dan melindungi imannya. “Cinta bisa lintas agama, tapi iman perlu dibina dan diwariskan,” pesan Romo Nanda mengakhiri sesi.
Acara ini diharapkan menjadi ruang dialog iman yang jujur dan terbuka, serta membantu umat Katolik memahami kompleksitas dan tanggung jawab besar dalam membangun rumah tangga lintas iman. (KA)