Perjalanan katekese dalam sepuluh tahun terakhir ini telah ditandai oleh Anjuran apostolik Catechesi tradendae. Teks ini menunjukkan bukan hanya perjalanan yang dilewati sejak pembaruan Konsili Ekumenis Vatikan II, melainkan juga merupakan sintesis kontribusi banyak Uskup dari seluruh dunia yang bertemu dalam sinode tahun 1977. Menggunakan kata-kata yang dipakai dalam dokumen itu, katekese «mempunyai sasaran rangkap, yakni mematangkan iman awal dan membina murid Kristus yang sejati melalui pengertian yang lebih mendalam dan lebih sistematis tentang pribadi maupun amanat Tuhan kita Yesus Kristus».[1] Suatu tugas berat yang tidak memungkinkan untuk menentukan secara kaku tahap-tahap berbeda yang terjadi dalam proses katekese. Bagaimanapun juga tujuan ini, meskipun menantang, tetap tidak berubah terutama dalam konteks budaya puluhan tahun terakhir ini. Katekese, yang selalu mengacu pada apa yang ditulis oleh Yohanes Paulus II, bertujuan «mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh, dengan bantuan Allah, dan dari hari ke hari memekarkan menuju kepenuhannya serta makin memantapkan perihidup Kristen umat beriman, muda maupun tua. Kenyataannya itu berarti: merangsang, pada taraf pengetahuan maupun penghayatan, pertumbuhan benih iman yang ditaburkan oleh Roh Kudus melalui pewartaan awal, dan yang dikaruniakan secara efektif melalui baptis.»[2] Dengan demikian, katekese tetap berakar dalam tradisi kokoh yang telah memberi ciri kekristenan sejak awal mulanya. Katekese terus menjadi kegiatan pembinaan khusus dari Gereja yang, dengan memperhatikan berbagai kelompok usia umat beriman, selalu berusaha membuat Injil Yesus Kristus aktual sehingga itu bisa menjadi pendukung bagi kesaksian yang koheren.
Petunjuk Katekese ini disusun sebagai suatu kelanjutan dinamis dari dua petunjuk terdahulu. Pada 18 Maret 1971 Santo Paulus VI menyetujui Petunjuk Umum Katekese yang disusun oleh Kongregasi untuk para Imam. Petunjuk itu sendiri memenuhi syarat untuk memberi sistematisasi pertama kepada ajaran yang muncul dari Konsili Vatikan II (bdk. CD 44). Jangan dilupakan bahwa Santo Paulus VI mempertimbangkan semua ajaran konsili sebagai «katekismus besar pada zaman modern.»[3] Bagaimanapun juga, dalam Dekret Christus Dominus, diberikan petunjuk-petunjuk yang tepat dan jauh ke depan tentang katekese. Para Bapa Konsili mengatakan: «Hendaknya para Uskup menyajikan ajaran Kristiani dengan cara menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman: artinya menjawab kesulitan-kesulitan dan masalah-masalah yang sangat menekan dan menggelisahkan orang-orang sekarang […], menyebarluaskan ajaran Kristiani dengan mengerahkan pelbagai upaya, yang tersedia pada zaman sekarang ini, yakni terutama khotbah dan pendidikan katekese, yang memang selalu harus diutamakan […]. Hendaknya para Uskup menjaga supaya pendidikan katekese yang tujuannya adalah supaya iman Umat diterangi melalui ajaran, dan menjadi hidup dan eksplisit serta aktif, diberikan dengan rajin dan saksama kepada anak-anak dan para remaja, kepada kaum muda maupun orang-orang dewasa; supaya dalam memberikan pendidikan itu tetap diindahkan tata susunan yang baik dan metode yang cocok bukan hanya mengenai bahan yang diolah, melainkan juga berkenaan dengan sifat perangai, bakat-kemampuan dan umur, serta situasi hidup para pendengar; supaya pendidikan itu mengacu kepada Kitab Suci, Tradisi, Liturgi, Ajaran resmi, dan kehidupan Gereja. Selain itu, hendaklah para Uskup mengusahakan supaya para katekis disiapkan dengan baik untuk tugas mereka sehingga mereka mengenal ajaran Gereja dengan jelas, begitu pula secara teoretis maupun praktis mempelajari kaidah-kaidah psikologis dan mata pelajaran pedagogi. Hendaklah mereka mengusahakan juga supaya pendidikan para katekumen dewasa diadakan lagi atau disesuaikan dengan lebih baik» (CD 13-14).
Sebagaimana dapat dilihat, ajaran ini mengandung kriteria-kriteria normatif untuk pembaruan tetap katekese yang tidak boleh menjadi suatu kegiatan yang terlepas dari konteks historis dan budaya di mana katekese itu dilaksanakan. Suatu tanda nyata dari hal ini adalah fakta bahwa sebagai akibat pertama pada 7 Juni 1973 dibentuk Dewan Internasional untuk Katekese, sebagai sebuah badan yang melaluinya berbagai ahli di seluruh dunia membantu Dikasteri yang berwenang untuk menyampaikan permintaan-permintaaan yang ada di berbagai Gereja, supaya ketekese semakin lebih sesuai dengan tata susunan Gereja, budaya dan sejarah.
Pada peringatan 30 tahun Konsili, pada 11 Oktober 1992, Santo Yohanes Paulus II menerbitkan Katekismus Gereja Katolik (KGK). Paus mengatakan, «Katekismus ini tidak dimaksud untuk menggantikan Katekismus-katekismus lokal […] tetapi untuk mendukung dan membantu penyusunan Katekismus-katekismus lokal yang baru, yang mempertimbangkan situasi dan budaya yang berbeda-beda.»[4] Sebagai konsekuensinya pada 15 Agustus 1997 diterbitkan Petunjuk Umum untuk Katekese. Kita menyaksikan karya besar ini yang telah terlaksana sesudah publikasi Katekismus Gereja Katolik ini. Dunia katekese yang luas dan beragam telah menemukan tantangan yang jauh lebih positif untuk menghidupkan studi-studi baru yang memungkinkan untuk memahami dengan lebih baik tuntutan katekese yang pedagogis dan formatif, terutama dengan memper-hitungkan interpretasi baru tentang katekumenat. Banyak Konferensi para Uskup melalui tuntutan-tuntutan yang muncul telah menciptakan program-program baru katekese untuk berbagai kelompok usia. Dari kanak-kanak sampai orang dewasa, dari orang muda sampai keluarga, telah ada pembaruan katekese lebih lanjut.
Pada 23 Maret 2020 Paus Fransiskus telah menyetujui Petunjuk untuk Katekese yang baru dan kami mendapat kehormatan serta tanggung jawab untuk menyampaikannya kepada Gereja. Petunjuk ini menunjukkan tahap lanjut dalam pembaruan dinamis yang dilaksanakan oleh katekese. Di sisi lain, studi-studi kateketik dan usaha terus menerus dari banyak Konferensi para Uskup telah memungkinkannya untuk mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting bagi kehidupan Gereja dan pendewasaan umat beriman, yang menuntut sistematisasi yang baru.
Gambaran historis singkat memperlihatkan bahwa tiap Petunjuk telah disusun dengan mengikuti beberapa dokumen penting Magisterium. Petunjuk pertama telah merujuk kepada ajaran Konsili; yang kedua kepada Katekismus Gereja Katolik dan Petunjuk kami ini merujuk pada Sinode tentang Evangelisasi Baruuntuk penerusan iman kristiani, yang dipadukan dengan Seruan Apostolik Paus Fransiskus Evangelii gaudium. Dalam tiga Petunjuk tetap ada kebutuhan umum, yakni tujuan dan tugas-tugas katekese, sementara masing-masing ditandai dengan konteks sejarah yang berubah dan aktualisasi Magisterium. Antara yang pertama dengan yang kedua telah berjalan dua puluh enam tahun; antara yang kedua dan Petunjuk berlangsungdua puluh tiga tahun. Dalam beberapa hal, kronologi menunjukkan kebutuhan akan dinamika historis yang dihadapi. Suatu pandangan yang lebih dalam terhadap konteks budaya dapat me-munculkan masalah-masalah baru yang mengundang Gereja untuk menjalaninya. Ada dua masalah utama. Pertama, fenomena budaya digital, yang mengakibatkan masalah kedua, yakni globalisasi budaya. Antara yang satu dengan yang lain sangat saling terhubung sehingga keduanya saling menentukan dan menghasilkan fenomena-fenomena yang menunjukkan perubahan radikal dalam kehidupan orang-orang. Kebutuhan akan pendidikan yang memperhatikan masing-masing pribadi seringkali tampak dipudarkan di hadapan pemaksaan model-model global. Godaan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk pengakuan internasional merupakan risiko yang tidak bisa dianggap remeh, terutama dalam konteks pembinaan kehidupan iman. Sesungguhnya, pembinaan ini diteruskan dengan perjumpaan antarpribadi dan disuburkan dalam lingkungan komunitas. Perlunya mengungkapkan iman dengan doa liturgis dan memberi kesaksian tentangnya dengan daya cinta kasih membutuhkan kemampuan untuk melampaui sifat yang terfragmentasi dari saran-saran untuk memulihkan kesatuan asali kehidupan kristiani. Pembinaan menemukan dasarnya dalam Sabda Allah yang diwartakan dan diteruskan oleh Gereja dengan suatu Tradisi yang hidup, yang tahu menerima dalam dirinya yang lama dan yang baru (bdk. Mat 13: 52) dari generasi kaum beriman yang tersebar di setiap bagian dunia.
Gereja dalam puluhan tahun sesudah Vatikan II telah memiliki cara untuk banyak kali kembali merefleksikan misi agung yang telah dipercayakan Kristus kepadanya. Khususnya, dua dokumen menunjukkan tuntutan evangelisasi ini. Santo Paulus VI dengan Evangelii Nuntiandi dan Paus Fransiskus dengan Evangelii Gaudium menunjukkan jalan yang tidak dapat menemukan alasan dalam komitmen sehari-hari kaum beriman untuk evangelisasi. Santo Paulus VI mengatakan dengan tegas, «Gereja ada untuk mengevangelisasi»[5]; Paus Fransiskus menegaskan kembali dengan jelas, «Saya adalah misi».[6] Tidak ada dalih yang dapat mengalihkan pandangan dari suatu tanggung jawab yang mempersatukan setiap orang kristiani dan Gereja seutuhnya. Dengan demikian, hubungan erat antara evangelisasi dan katekese menjadi kekhasan dari Petunjuk ini. Petunjuk ini bermaksud menyarankan sebuah jalan yang memandang kesatuan erat antara pewartaan kerygma dan pematangannya.
Kriteria yang menggerakkan refleksi dan penyusunan Petunjuk ini menemukan titik dasarnya dalam kata-kata Paus Fransiskus: «kita telah menemukan ada peran pokok pewartaan pertama atau kerygma, yang hendaknya menjadi pusat dari semua kegiatan evangelisasi dan seluruh upaya untuk pembaruan Gereja […]. Pewartaan pertama ini disebut “pertama”, bukan karena ada pada awal dan kemudian dapat dilupakan atau digantikan oleh hal-hal lain yang lebih penting. Pewartaan ini pertama dalam arti kualitatif karena merupakan pewartaan utama, yang harus kita dengar lagi dan lagi dengan berbagai cara, yang harus kita wartakan dengan satu atau lain cara melalui proses katekese, di tingkat dan setiap saat. […]. Kita tidak seharusnya berpikir bahwa dalam katekese kerygma ditinggakan demi pembinaan yang dianggap lebih “solid”. Tak ada yang lebih solid, mendalam, aman, dan bermakna dan penuh kebijaksanaan daripada pewartaan awal. Semua pembinaan kristiani merupakan pendalaman kerygma yang mendarah daging semakin mendalam dan terus-menerus menerangi karya katekese, sehingga memampukan kita me-mahami dengan lebih penuh makna setiap tema yang dikembangkan dalam katekese. Inilah pesan yang mampu menanggapi pada Yang Tak Terbatas yang ada di dalam setiap hati manusia».[7]
Pengutamaan pada kerygma, sejauh membuat kita mengusahakan katekese kerygmatis, sama sekali tidak mengurangi nilai mistagogi dan kesaksian cinta kasih. Hanya sebuah visi ekstrinsik dapat mendorong untuk berpikir tentang pewartaan pertama sebagai suatu pembicaraan menyeluruh untuk meyakinkan teman bicara. Pewartaan Injil adalah kesaksian dari suatu perjumpaan yang membuat mata terarah kepada Yesus Kristus, Putra Allah yang berinkarnasi dalam sejarah manusia, untuk membawa kepada kepenuhan pewahyuan kasih Bapa yang menyelamatkan. Bertolak dari inti iman ini lex credendi mengarah kepada lex orandi dan bersama-sama keduanya mewujudkan cara hidup kaum beriman sebagai kesaksian atas cinta kasih yang membuat pewartaan dapat dipercaya. Sesungguhnya, setiap orang merasa terlibat dalam suatu proses perwujudan diri yang menuntun untuk memberi jawaban akhir dan definitif kepada pertanyaan tentang makna hidup.
Oleh karena itu, tiga bagian Petunjuk Katekese ini menguraikan proses katekese di bawah keunggulan evangelisasi. Para Uskup, sebagai penerima pertama dokumen ini, bersama dengan Konferensi para Uskup, Komisi untuk katekese dan dengan sejumlah besar katekis, akan memiliki kesempatan untuk memverifikasi perencanaan yang sistematis, yang telah dikehendaki untuk disusun agar semakin memperjelas tujuan katekese, yang adalah perjumpaan yang hidup dengan Tuhan, yang mengubah kehidupan. Proses katekese telah digambarkan dengan menekankan struktur eksistensial yang melibatkan berbagai kategori orang dalam lingkungan hidup mereka. Ruang yang luas telah diberikan kepada tema pembinaan para katekis karena pembenahan pelayanan mereka dalam komunitas kristiani tampak mendesak. Di sisi lain, hanya para katekis yang menghayati pelayanan mereka sebagai panggilan berkontribusi untuk keberhasilan katekese. Akhirnya, justru karena dilaksanakan dalam terang perjumpaan, katekese memiliki tanggung jawab besar dalam kerja sama untuk inkulturasi iman. Melalui proses ini katekese menemukan ruang terciptanya bahasa dan metodologi baru yang, dalam keragaman ungkapannya, semakin memperjelas kekayaan Gereja Universal.
Dewan Kepausan untuk Promosi Evangelisasi Baru, yang berwenang dalam katekese, pada 16 Januari 2013 dengan publikasi Motu Poprio Fides per Doctrinam (Iman melalui Doktrin), menyadari bahwa Petunjuk Katekese adalah sarana yang dapat disempurnakan. Petunjuk ini tidak diandaikan sudah lengkap, karena pada hakikatnya dimaksudkan bagi Gereja-Gereja partikular supaya Gereja-Gereja itu digerakkan dan didukung dalam menyusun Petunjuk mereka sendiri. Penyusunan Petunjuk ini telah melibatkan berbagai ahli, yang mengungkapkan universalitas Gereja. Petunjuk inijuga telah mengalami berbagai tahap redaksional dengan penilaian dari berbagai Uskup, imam dan katekis. Perempuan dan laki-laki telah dilibatkan dalam kerja keras ini yang kami harapkan dapat menjadi kontribusi yang berharga sekarang ini. Kepada mereka semua, tanpa basa-basi, kami sampaikan ucapan terima kasih dan rasa syukur kami pribadi untuk suatu karya besar yang dilakukan dengan kecakapan, semangat dan kemurahan hati.
Secara kebetulan persetujuan Petunjuk ini terjadi pada peringatan liturgis Santo Turibio dari Mogrovejo (1538-1606). Ia adalah orang kudus yang mungkin tidak banyak dikenal, namun telah memberikan suatu dorongan yang kuat kepada evangelisasi dan katekese. Ia adalah seorang awam dan ahli hukum terkenal yang lahir di Mallorca dari keluarga bangsawan, dan dididik di Universitas Valladolid dan Salamanca di mana di situ ia juga menjadi dosen. Dengan mengikuti jejak Santo Ambrosius, ia sebagai ketua tribunal di Granada ditahbiskan menjadi Uskup dan diutus oleh Paus Gregorius XIII ke Lima, Perù. Ia menjalankan pelayanan episkopatnya sebagai penginjil dan katekis. Dengan menggemakan kembali Tertulianus, ia suka mengulangi: «Kristus adalah kebenaran bukan adat-kebiasaan». Ia menegaskan kembali hal itu terutama terhadap para conquistadores (penakluk) yang menindas orang-orang Indian atas nama superioritas budaya dan terhadap para imam yang tidak memiliki keberanian untuk membela nasib orang-orang yang paling miskin. Sebagai misionaris yang tak kenal lelah, ia mengelilingi wilayah Gerejanya, terutama dengan mencari penduduk asli untuk mewartakan Sabda Allah kepada mereka dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Dalam 25 tahun masa episkopatnya ia mengadakan Sinode-sinode tingkat diosesan dan provinsi, menjadi katekis yang menghasilkan katekismus-katekismus pertama dalam bahasa Spanyol, dalam bahasa Quéchua dan Aymara untuk penduduk asli di Amerika Selatan. Karya evangelisasinya membawa hasil tak terduga, yakni dengan ribuan penduduk asli yang menjadi beriman dan menjumpai Kristus dalam cinta kasih Uskup. Ialah yang memberikan Sakramen Krisma kepada dua orang kudus dari Gereja itu: Martinus dari Porres dan Rosa da Lima. Santo Yohanes Paulus II pada 1983 telah mengumumkan dia sebagai pelindung keuskupan Amerika Latin. Di bawah perlindungan katekis agung ini ditempatkan juga Petunjuk untuk Katekese yang baru ini.
Paus Fransiskus telah menulis, «Roh Kudus mencurahkan kekudusan di mana pun kepada umat Allah yang kudus dan setia […]. Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah: dalam diri orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan. Seringkali hal tersebut merupakan kekudusan dari “pintu sebelah”, mereka yang hidup dekat dengan kita. Mereka menceminkan kehadiran Allah […]. Kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan menghayati hidup kita dengan kasih dan masing-masing memberikan kesaksiannya sendiri dalam kegiatan setiap hari, di mana pun kita berada. Apakah Anda seorang anggota hidup bakti? Jadilah kudus dengan menghayati persembahan diri Anda dengan sukacita. Apakah Anda menikah? Jadilah kudus dengan mengasihi dan memperhatikan suami atau istri Anda, sebagaimana Kristus melakukan bagi Gereja-Nya. Apakah Anda seorang pekerja? Jadilah kudus dengan melakukan pekerjaan Anda dengan kejujuran dan kemampuan untuk melayani sesama. Apakah Anda orang tua atau kakek-nenek? Jadilah kudus dengan mengajarkan dengan sabar anak atau cucu untuk mengikuti Yesus. Apakah Anda sedang memiliki kekuasaan? Jadilah kudus dengan berjuang demi kesejahteraan bersama dan melepaskan kepentingan pribadi.»[8]
Kekudusan adalah kata penting yang dapat diucapkan dalam menyajikan Petunjuk untuk katekese yang baru ini. Kekudusan menjadi pertanda dari suatu program hidup yang memanggil para katekis untuk memperjuang-kannya dengan keteguhan dan kesetiaan. Dalam perjalanan yang menantang ini mereka tidak sendirian. Gereja, di seluruh bagian dunia, dapat menghadirkan model-model para katekis yang telah mencapai kekudusan dan bahkan kemartiran dalam menghidupi pelayanan mereka setiap hari. Kesaksian mereka menghasilkan buah dan mendorong kita hari ini untuk berpikir bahwa setiap dari kita dapat mengusahakan karya berani ini juga dengan pengabdian yang sunyi, meletihkan dan kadang menjadi katekis yang dilupakan.
Dari Vatikan, 23 Maret 2020
Liturgi Peringatan St. Turibio Mogrovejo
Salvatore Fisichella
Uskup Agung Tituler Voghenza, Presiden/Ketua
Jose Octavio Ruiz Arenas
Uskup Agung Emeritus Villavicencio, Sekretaris
[1] CT 19.
[2] CT 20.
[3] Paulus VI, Pidato kepada anggota Sidang Umum Konferensi Uskup Italia (23 Juni 1966), Ajaran dari Paulus VI, IV (`967).
[4] Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei depositum (11 Oktober 1992), IV.
[5] EN 14.
[6] EG 273.
[7] EG 164-165.
[8] Fransiskus, Seruan Apostolik Gaudete et exsultate 19 Maret 2014), 6-7.14.
Baca dokumen selengkapnya di tautan ini.