KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
BISHOP’S CONFERENCE OF INDONESIA
BAGIKANLAH DENGAN LEMAH LEMBUT HARAPAN YANG ADA DI DALAM HATIMU
(lih. 1 Ptr 3:15-16)
Saudara- saudari terkasih!
Pada zaman kita saat ini, yang ditandai dengan disinformasi dan polarisasi, ketika sedikit pusat kekuasaan mengendalikan data dan informasi dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa pekerjaan anda sebagai Jurnalis dan Komunikator sekarang ini menjadi jauh lebih penting. Keberanian anda sangat dibutuhkan untuk menempatkan tanggung jawab pribadi dan kolektif terhadap sesama sebagai pusat Komunikasi.
Saya merenungkan Yubelium yang sedang kita rayakan sebagai saat-saat yang penuh rahmat, terlebih di masa-masa sulit sekarang. Karena itu, melalui pesan ini, saya mengundang anda untuk menjadi “Komunikator Harapan”, mulai dengan membarui karya dan misi anda menurut semangat Injil.
“Melucuti” komunikasi
Saat ini, komunikasi sering tidak menghasilkan harapan, tetapi justru sebaliknya, menciptakan ketakutan dan keputusasaan, prasangka, fanatisme dan bahkan kebencian.
Terlalu sering orang berkomunikasi dengan menyederhanakan realitas untuk memancing reaksi naluriah, dan dengan menggunakan kata-kata laksana pisau cukur, bahkan menggunakan informasi palsu atau yang sudah diputarbalikkan secara cerdik, untuk mengirim pesan yang dirancang untuk menghasut, memprovokasi, dan atau menyakiti.
Dalam beberapa kesempatan, saya bicara tentang kebutuhan “melucuti” komunikasi dan memurnikannya dari agresivitas. Tidak ada gunanya mereduksi realitas menjadi slogan-slogan. Kita semua menyaksikan bagaimana ini terjadi dari acara bincang-bincang di televisi hingga serangan verbal di media sosial ada risiko bahwa paradigma persaingan, pertentangan, keinginan untuk mendominasi dan memiliki serta memanipulasi opini publik akan menang.
Ada juga fenomena lain yang meresahkan: apa yang kita sebut “penyebaran perhatian yang terprogram” melalui sistem digital. Ini adalah upaya membuat profil kita sesuai dengan logika pasar, yang mengubah persepsi kita atas realitas. Akibatnya, seringkali kita terpaksa menyaksikan dengan tanpa daya semacam ‘atomisasi’ kepentingan yang pada akhirnya mengancam fondasi keberadaan kita sebagai komunitas, kemampuan kita dalam mengejar kebaikan bersama, dan untuk saling mendengarkan dan memahami sudut pandang masing-masing. Tampaknya, kita perlu menegaskan diri sendiri, dengan mengidentifikasi dan melawan “musuh”. Namun, ketika kita menjadikan orang lain sebagai “musuh”, dan mengabaikan individualitas dan martabat mereka dengan mengejek dan mencemooh, maka kita kehilangan kemungkinan untuk membangkitkan harapan. Seperti yang diajarkan Pastor Tonino Bello kepada kita, “Semua konflik berakar pada memudarnya wajah”. [1] Kita tidak boleh menyerah pada cara berpikir ini.
Sebenarnya, berharap itu sama sekali tidak mudah. Georges Bernanos pernah berkata bahwa, “hanya mereka yang memiliki keberanian untuk berharap di tengah ilusi dan kebohongan, yang dulunya memberi rasa aman dan secara keliru dianggap sebagai harapan, yang benar-benar bisa berharap”. Harapan adalah risiko yang harus diambil. Itu adalah risiko dari segala risiko”. [2]
Harapan adalah sebuah keutamaan yang tersembunyi, ulet dan sabar. Bagi orang Kristen, berharap bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Seperti yang dikatakan oleh Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Spe Salvi, harapan bukanlah optimisme yang pasif, melainkan kebajikan “performatif” yang mampu mengubah hidup kita: “Orang yang memiliki harapan hidup secara berbeda; orang yang berharap telah dianugerahi karunia hidup baru” (No. 2).
Menjelaskan dengan Lembut Harapan dalam Diri Kita
Dalam Surat Petrus yang Pertama, (3:15-16) kita menemukan sebuah sintesis yang mengagumkan di mana pengharapan dikaitkan dengan kesaksian dan komunikasi Kristen: “Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat”. Saya ingin merenungkan tiga pesan yang dapat kita petik dari kata-kata ini.
“Kuduskanlah Tuhan dalam hatimu”. Pengharapan orang-orang Kristen memiliki sebuah wajah, yakni wajah Tuhan yang bangkit. Janji-Nya untuk selalu menyertai kita melalui karunia Roh Kudus memampukan kita untuk tetap berharap, bahkan ketika harapan itu tampak mustahil. Kita dapat menemukan jejak-jejak kebaikan yang tersembunyi, bahkan ketika segalanya tampak hilang.
Pesan kedua adalah bahwa kita harus siap untuk mempertanggungjawabkan pengharapan yang ada dalam diri kita. Menarik diperhatikan bahwa sang Rasul mengajak kita memberi pertanggungjawaban atas harapan kita “kepada siapa pun yang memintanya”. Orang Kristen bukanlah mereka yang pertama dan terutama “berbicara” tentang Tuhan, tetapi yang menggemakan keindahan kasih-Nya, sebuah cara baru dalam menghayati segala sesuatu.
Kasih yang dihayati itulah yang menimbulkan pertanyaan dan menuntut jawaban: mengapa kalian menjalani hidup seperti ini? Mengapa kalian seperti ini?
Dalam ungkapan Santo Petrus, akhirnya kita menemukan pesan ketiga: bahwa jawaban kita atas pertanyaan tadi harus diberikan “dengan lemah lembut dan penuh hormat”. Komunikasi Kristiani- demikian juga komunikasi pada umumnya seharusnya penuh dengan kelembutan dan keakraban, seperti percakapan para sahabat dalam perjalanan. Mengikuti sang komunikator terbesar sepanjang masa, yakni Yesus dari Nazaret, yang di sepanjang perjalanan bersama kedua murid menuju Emaus, berbicara kepada mereka dan membuat hati mereka berkobar-kobar saat, Ia menafsirkan peristiwa-peristiwa dalam terang Kitab Suci.
Saya memimpikan sebuah komunikasi yang membuat kita mampu menjadi sahabat seperjalanan bagi begitu banyak saudara-saudari kita, untuk menyalakan kembali harapan dalam diri mereka pada masa penuh pergulatan ini. Sebuah komunikasi yang mampu berbicara ke dalam hati, tidak membangkitkan reaksi defensif dan kemarahan yang menggebu-gebu, tetapi sikap terbuka dan bersahabat. Sebuah komunikasi yang mampu fokus pada keindahan dan harapan bahkan di tengah situasi yang tampaknya membuat kita putus asa. Komunikasi yang menghasilkan komitmen, empati, dan kepedulian pada orang lain. Sebuah komunikasi yang membantu kita dalam “mengakui martabat setiap manusia, dan bekerja sama merawat rumah kita bersama” (Dilexit Nos, 217).
Saya memimpikan sebuah komunikasi yang tidak menjajakan ilusi atau ketakutan, tetapi mampu memberikan alasan untuk berharap. Martin Luther King pernah berkata: “Jika saya dapat membantu sesama di sepanjang jalan, jika saya dapat membuat seseorang bersukacita dengan sebuah kata atau lagu… maka hidup saya tidak akan sia-sia”. [3]
Untuk itu, kita harus disembuhkan dulu dari “penyakit” gemar pamer dan mementingkan diri sendiri, serta menghindari risiko berbicara hanya kepada diri sendiri. Komunikator yang baik mesti memastikan bahwa mereka yang mendengar, membaca, atau menonton turut ambil bagian, merasa dekat, dan menemukan kembali sisi terbaik dari diri mereka sendiri, dan masuk dengan sikap-sikap ini ke dalam cerita yang disampaikan. Berkomunikasi dengan cara ini membantu kita menjadi “Peziarah Harapan,” yang merupakan motto Yubileum saat ini.
Berharap Bersama
Pengharapan selalu merupakan sebuah proyek komunitas. Mari kita renungkan sejenak betapa agungnya pesan Tahun Rahmat ini. Kita semua benar-benar semua! diundang untuk memulai kembali, untuk membiarkan Tuhan mengangkat kita, membiarkan Dia memeluk dan melimpahi kita dengan belas kasihNya. Dalam hal ini, aspek personal dan dimensi komunal saling terkait secara erat. Kita memulai perjalanan bersama, berziarah bersama begitu banyak saudara dan saudari dan kita melewati Pintu Suci bersama-sama.
Yubileum memiliki banyak implikasi sosial. Pikirkan misalnya, pesan belas kasih dan harapan bagi mereka yang hidup di penjara, atau seruan agar kita dekat dan lemah lembut terhadap mereka yang menderita dan terpinggirkan. Yubelium mengingatkan kita bahwa mereka yang menjadi pembawa damai “akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9), dan dengan cara ini Yubileum membangkitkan harapan dan menunjukkan pada kita perlunya komunikasi yang penuh perhatian, lemah lembut dan reflektif, yang mampu menunjukkan jalan dialog.
Karena itu, saya mendorong anda menemukan dan menceritakan banyak kisah kebaikan yang tersembunyi di antara sudut-sudut peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, dengan meniru para penambang emas yang tanpa lelah menyaring pasir untuk mencari serpihan kecil emas murni. Betapa indahnya mencari benih-benih pengharapan seperti ini dan menyebarkannya. Hal ini akan membantu dunia kita untuk tidak tuli terhadap jeritan orang miskin, tidak acuh tak acuh dan tidak menutup diri. Semoga anda selalu menemukan secercah kebaikan yang mengilhami kita untuk berharap. Komunikasi semacam ini dapat membantu membangun persekutuan, membuat kita tidak merasa sendirian, dan menemukan kembali pentingnya berjalan bersama.
Jangan Lupakan Hati
Saudara-saudari terkasih, dalam menghadapi perkembangan teknologi yang menakjubkan, saya mendorong Anda untuk merawat hati dan kehidupan batin Anda. Apa artinya itu? Izinkan saya menawarkan beberapa pemikiran.
Bersikaplah lemah lembut dan jangan pernah melupakan wajah sesama; berbicaralah dari hati ke hati kepada orang-orang yang Anda layani dalam karya pelayanan Anda. Jangan membiarkan komunikasi Anda dikendalikan oleh reaksi naluriah. Sebarkanlah selalu harapan, bahkan di saat-saat sulit, atau ketika harus berjuang atau saat-saat di mana pekerjaan tampaknya tidak membuahkan hasil.
Berusahalah untuk mempromosikan komunikasi yang dapat menyembuhkan luka-luka kemanusiaan kita. Berilah ruang bagi hati yang tulus ikhlas, seperti bunga yang mungil tetapi tangguh, tidak tumbang di tengah badai kehidupan, tetapi justru mekar dan bertumbuh di tempat-tempat yang paling tak terduga. Di sana ada harapan para ibu yang setiap hari berdoa agar anak-anaknya kembali dari medan perang akibat konflik, dan harapan para ayah yang dengan resiko besar berimigrasi untuk mencari masa depan yang lebih baik.
Harapan itu juga ada di sana bagi anak-anak yang entah bagaimana caranya dapat bermain, tertawa, dan percaya pada kehidupan bahkan di tengah puing-puing perang dan di jalan-jalan daerah yang kumuh dan miskin.
Jadilah saksi dan promotor komunikasi yang tidak agresif; Sebarkan budaya peduli pada sesama. Bangunlah jembatan dan dobrak hambatan yang terlihat dan tidak terlihat di zaman kita.
Ceritakanlah kisah-kisah yang penuh harapan, pedulilah terhadap nasib kita bersama dan berusahalah untuk bersama-sama menulis sejarah masa depan kita.
Semua ini dapat anda dan kita lakukan bersama dengan bantuan rahmat Allah, yang dengan beryubileum kita menerima Kasih Karunia Allah itu dengan berlimpah ruah. Untuk semua ini saya berdoa dan memberkati diri dan karya anda semua.
Roma, Santo Yohanes Lateran, 24 Januari 2025,
Pada Peringatan Santo Fransiskus de Sales
Fransiskus
[1] «Perdamaian sebagai pencarian wajah», dalam Khotbah dan Tulisan Prapaskah, Molfetta 1994, 317.
[2] Kebebasan, Mengapa Kita Harus Melakukannya?, Paris 1995.
[3] “Insting Mayor Drum”, Khotbah, 4 Februari 1968.
Pesan tersebut dapat diunduh melalui tautan ini.
Berkah Dalem