Saudara dan Saudari yang terkasih,
Sejak adanya internet, Gereja selalu berupaya mendorong peman faatannya untuk melayani perjumpaan dan membangun solidaritas antarpribadi. Saya sekali lagi ingin mengajak Anda untuk merenungkan fondasi dan makna mendasar tentang keberadaan kita yang terbentuk melalui relasi. Dalam konteks komunikasi dewasa ini yang penuh tantangan, mari kita menemukan kembali hasrat terdalam pribadi manusia yang tidak ingin terpuruk dalam isolasi dan kesendirian.
Metafora tentang Jejaring dan Komunitas
Cakupan media dewasa ini sudah merambah dan menyebar dan men jadi semakin tidak terpisahkan dari ranah kehidupan sehari-hari. Inter net dewasa ini menjadisumber daya dan pengetahuan, serta relasi yang berkat teknologi mengakibatkan terjadinya transformasi yang paling hakiki dan berdampak pada proses produksi, distribusi serta penggunaan konten. Sejumlah ahli menyoroti faktor risiko yang mengancam pencarian, penerusan, dan penyebaran informasi pada skala global. Meskjpun internet pada satu sisi menyajikan sebuah kemungkinan yang luar biasa menyangkut akses kepada pengetahuan, akan tetapi pada sisi lain, internet juga terbukti menjadi arena yang banyak terpapar informasi sesat, penyimpangan fakta, dan distorsi relasi antarpribadi yang dilakukan secara sengaja untuk mendiskreditkan orang atau pihak tertentu.
Harus diakui bahwa jejaring sosial sungguh membantu kita untuk lebih mudah terhubung, saling menemukan kembali, dan membantu satu sama lain. Meskipun juga disadari bahwa di sisi lain, jejari ng sosial menjadisarana dimana mudahterjadi upaya memanipulasi data pribadi demi mendapatkan keuntungan politik atau ekonomi tanpa menaruh. hormat pada pribadi seseorang termasuk hak-haknya. Data menunjukkan bahwa satu dari empat orang di kalangan kaum muda terlibat dalam kasus perisakan di dunia maya (cyberbullying).[1]
Dalam skenario yang kompleks ini, barangkali bermanfaat untuk merenung kan kembali metafora tentang “net” atau jejaring, yang merupakan dasar dan pijakan awal agar internet dapat mulai menemukan kembali potensi positifnya. Gambaran tentang jejaring mengajak kita untuk merenungkan begitu banyaknya linidan persimpangan yang menjamin stabilitas, meskipun tidak ada satu titik pusat, tidak ada satu struktur hierarkis, dan bahkan tidak ada satu bentuk organisasi yang bercorak vertikal di dalam jejaring. Jejaring berfungsi justru karena semua elemen di dalamnya saling berbagi tanggung jawab.
Dari sudut pandang antropologis, metafora tentang jejaring ini mengingatkan kita pada sebuah citra atau gambaran lain yang sarat makna, yaitu komunitas. Sebuah komunitas niscaya menjadi jauh lebih kuat apabila bercorak kohesif (melekat satu dengan yang lain) dan suportif (saling memberi dukungan dan semangat), apabila digerakkan oleh rasa saling percaya, dan mengupayakan pencapaian tujuan tujuan bersama. Komunitas sebagai jejaring solidaritas menuntut dilibatkannya elemen saling mendengarkan dan dialog, dilandasi dengan penggunaan bahasa secara bertanggung jawab.
Dalam skenario ini, kita semua dapat memahami bahwa berbagai kelompok jejaring sosial tidak selalu sama bentuknya dengan komunitas. Sangat boleh jadi bahwa kelompok kelompok di dalam dunia maya ini mampu menunjukkan kohesi dan solidaritas, tetapi seringkali tidak lebih daripada sekadar kelompok-kelompok individu yang saling mengenal karena memiliki minat yang sama atau kepe dulian bersama yang dicirikan oleh ikatan-ikatan antarpribadi yang lemah. Lebih dari itu, identitas atau jati diri dalam jejaring sosial seringkali hanya didasari oleh adanya sikap pertentangan dengan pihak lain, yaitu pribadi-pribadi di luar kelompok: kita mendefinisikan diri dengan mengawalinya dari apa yang memisahkan kita, alih-alih mengawali dari apa yang menyatu kan kita, sehingga memunculkan kecurigaan dan terwujudkan dalam beragam jenis prasangka (etnis, jenis kelamin, agama, dan lainnya). Kecenderungan ini membiakkan kelompok-kelompok yang menafikan keberagaman, sedemikian rupa sehingga bahkan dalam dunia maya pun bertumbuh subur individualisme yang tidak terkendali dan tidak jarang ber ujung pada berkobarnya spiral kebencian. Melalui cara de mikian, apa yang seharusnya menjaditingkap untuk melongok dunia malah justru berubah menjadi tontonan didunia maya untuk memamerkan narsisisme pribadi.
Internet membuka peluang un tuk memajukan perjumpaan dengan orang lain, tetapi dapat juga memperparah isolasi atau keterasingan diri, laksana pe rangkap yang dapat menjebak kita. Kaum muda adalah kelompok yang paling terpapar pada angan-angan atau ilusi bahwa jejaring sosial dapat sepenuhnya memuaskan mereka pada ranah relasional. lni merupakan fenomena yang sangat berbahaya, bahwa anak-anak muda pelan-pelan menjadi seperti “pertapa sosial”, yang berisiko mengasingkan diri mereka sepenuhnya dari masyarakat. Situasi dramatis ini mengungkapkan sebuah keretakan serius dalam jalinan relasional masyarakat, yang tidak dapat kita abaikan.
Realitas yang beragam dan berbahaya ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang bersifat etis, sosial, yuridis, politis, dan ekonomis, sekaligus juga menjadi tantangan bagi Gereja. Para pemimpin negara sedang berupaya menyusun regulasi seputar dunia maya dan melindungi tujuan pertamanya tentang jejaring yang bebas, terbuka, dan aman. Pada saat bersamaan, kita semua-se bagai Gereja-memiliki pe luang dan tanggung jawab untuk mendorong pemanfaatan dunia maya secara positif. Jelas bahwa tidaklah memadai untuk sekadar melipatgandakan koneksi daring guna meningkatkan saling pengertian. Lalu, bagaimana kita dapat menemukan identitas komunitarian atau jati diri kita dalam persekutuan yang sejati,seraya menyadari tanggungjawab kita antara satu terhadap yang lain dalam koneksi daring tersebut?
Kita Adalah Sesama Anggota
Suatu alternatif jawaban dapat dipetik dari metafora ketiga, yaitu tentang tubuh dan anggota-ang gotanya. Gambaran ini diguna kan oleh Santo Paulus untuk melukiskan hubungan timbal balik di antara semua bagian yang menyatukan mereka. “Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota” (Ef 4:25). Menjadi “sesama anggota” adalah tujuan utama Santo Paulus mengajak kita untuk membuang dusta dan berkata benar. Tugas untuk menjaga kebenaran muncul dari kebutuhan untuk tidak mengingkari hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan di dalam sebuah persekutuan. Kebenaran terungkap dalam persekutuan. Di sisi lain, dusta atau kebohongan adalah penolakan yang egois untuk mengakui bahwa kita adalah sesama anggota, bagian dari tubuh yang satu dan sama. Dusta atau kebohongan adalah penolakan kita untuk memberikan diri kepada sesama sehingga kita kehilangan satu-satunya cara untuk menemukan diri kita sendiri. Metafora tentang tubuh dan anggota anggotanya mengantar kita untuk me- renungkan jati diri kita, yang berlandaskan persekutuan dan “kebinekaan”. Sebagai orang Kristiani, kita semua mengakui diri kita sebagai anggota dari tubuh yang satu dan sama dengan Kristus sebagai kepalanya. Pengakuan ini membantu kita untuk melihat orang lain, bukan sebagai pesaing, melainkan sebaliknya, menganggap musuh-musuh kita sebagai pribadi. Kita
tidak lagi membutuhkan musuh untuk mendefinisikan siapa diri kita. Tatapan yang merangkul semua orang seperti yang kita teladani dari Kristus menuntun kita untuk menemukan kebinekaan atau perbedaan dengan cara baru, yaitu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan prasyarat mutlak bagi suatu hubungan dan kedekatan.
Kemampuan untuk memperoleh pemahaman dan komunikasi di antara pribadi-pribadi manusia berlandaskan persekutuan kasih di antara pribadi llahi. Allah itu bukan Kesendirian, melainkan Persekutuan; la adalah Kasih, dan karenanya komunikasi, lantaran kasih selalu berkomunikasi; bah kan kasih itu mengomunikasikan dirinya untuk menjumpai yang lain. Agar dapat berkomunikasi dengan kita dan untuk mengomunikasikan diri-Nya kepada kita, Allah bahkan menyesuaikan diri-Nya dengan bahasa kita, seraya membangun dialog nyata dengan umat manusia di sepanjang bentangan sejarah (bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum art. 2).
Kita diciptakan seturut citra dan rupa Allahyang merupakan persekutu an, yaitu Allah yang mengomunikasikan diri-Nya. Kita selamanya membawa serta di dalam hati kita suatu kerinduan untuk hidup dalam persekutuan, untuk menjadi bagian dari dan tinggal di dalam sebuah komunitas. “Sesungguhnya, tidak ada yang lebih hakiki dari kodrat kita sebagai manusia selain masuk ke dalam sebuah jal inan relasi satu sama lain, dan saling membutuhkan seorang terhadap yang lain,” kata Santo Basilius. [2]
Konteks zaman ini mengajak kita untuk menyemai relasi, dan menegaskan corak kemanusiaan kita yang interpersonal, termasuk di dalam dan melalui jejaring sosial. Terlebih lagi, sebagai orang Kristiani, kita dipanggil untuk mewujudkan persekutuan yang menjadi ciri khas jati diri kita sebagai kaum beriman. Sesungguhnya , iman itu sendiri adalah se buah relasi, sebuah perjumpaan. Di bawah daya dorong kasih Allah, kita dapat berkomunikasi, menyambut, dan memahami bakat atau talenta orang lain dan menanggapinya.
Persekutuan seturut citra dan rupa Allah Tritunggal justru adalah hal yang membedakan pribadi (persona) dari individu. Bertolak dari iman akan Allah yang adalah Tritunggal, maka jelas bahwa untuk menjadi diriku, aku membutuhkan orang lain. Aku benar-benar manusia, benar-benar pribadi, hanya jika aku berhubungan dengan orang lain. Sesungguhnya, kata “persona” atau pribadi menandakan manusia sebagai sebuah “wajah”. Wajah ini senantiasa terarah kepada orang lain, terlibat dan bertaut dengan orang lain. Hidup kita menjad i lebih insani (manusiawi) hanya ketika memiliki sif at dasar yang kurang individual dan lebih personal. Kita melihat jalan autentik ini agar diri seseorang menjadi lebih insani (manusiawi) yang bergerak menjauhkan dirinya menjadi “individual”, ketika menganggap orang lain sebagai pesaing, dan bergerak menuju pemahaman sebagai seorang “pribadi” yang mengakui orang lain sebagai rekan seperjalanan.
Dari “Like” ke “Amin”
Gambaran tentang tubuh dan anggota-anggotanya mengingat kan kita bahwa penggunaan “jejaring sosial” merupakan pelengkap bagi sebuah perjumpaan secara fisik, dan perjumpaan semacam itu menjadi kasatmata melalui tubuh, hati, mata, tatapan, dan napas orang lain. Jika internet digunakan sebagai perpanjangan atau peng harapan serta kerinduan tentang perjumpaan semacam itu, maka gagasan asli tentang jejaring sosial daring tidak dikhianati dan tetap menjadi sebuah sumber daya bagi persekutuan. Jika satu keluarga memakai internet agar semakin terhubung, dan kemudian berkumpul di meja makan dan saling bertatap muka, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Jika sebuah komunitas Gereja mengatur kegiatannya melalui internet dan kemudian merayakan Ekaristi bersama, maka internet menjadi sebuah sumber daya. Jika internet menjadi wahana untuk berbagi aneka kisah dan pengalaman tentang keindahan atau penderitaan dari pribadi-pribadi yang secara fisik jauh dari kita, untuk berdoa bersama, dan bersama-sama mencari kebaikan untuk menemukan kembali apa yang menyatukan kita, maka internet menjadi sebuah sumber daya.
Dengan cara ini, kita dapat beralih dari sekadar teori menjadi sebuah aksi nyata dan tindakan konkret yang membuka jalan bagi terjadinya dialog, perjumpaan, “tersenyu m”, dan meng ungkapkan kelemah-lembutan… Seperti itulah jejaring sosial yang kita idamkan, yaitu sebuah jejaring yang diciptakan bukan untuk menjebak, melainkan untuk membebaskan, untuk melindungi persekutuan pribadi-pribadi yang mer- deka. Gereja itu sendiri adalah sebuah jejaring yang diteguhkan bersama melalui Ekaristi, dimana persatuan tidak berdasarkan “like”, tetapi dilandasi oleh kebenaran iman dan pernyataan “Amin”. Dengan demikian, masing-masing anggota melekat erat pada Tubuh Kristus dan sekaligus terbuka menyambut orang lain.
Dari Vatikan, 24 Januari 2019,
pada Pesta Santo Fransiskus dari Sales.
Fransiskus
(1] Untuk membendung fenomena ini, sebuah Observatorium lnternasional untuk Pencegahan Perisakan di Dunia Maya (International Observatory for Cyberbullying Prevention) akan didirikan dengan kantor pusat di Vatikan.
[2] Regula Terperinci untuk Para Rahib, Ill, 1: PG 31, 917; bdk. Benediktus XVI, Pesan untuk Hari Komunikasi Sedunia ke-43 (2009).
© Hak Cipta – Libreria Editrice Vaticana.
© Hak Cipta Terjemahan Bahasa lndonesia-Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (Komsos KWI}