Atmodirono – Bermula dari sebuah keprihatinan, ketika ada anggota keluarga Katolik sederhana yang meninggal dan kebetulan tidak menjadi anggota rukun kematian. Kesulitan pun muncul: siapa yang memandikan dan merias jenazahnya? dan kalau minta bantuan rumah sakit biaya lumayan tinggi. Bertolak dari situasi ini FX Aris Pramudito sebagai Koordinator Wilayah (Korwil) Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang mengadakan Pelatihan Perawatan Jenazah, di Panti Mandala, Kamis (16/06/24) siang.
Pelatihan dengan narasumber dari Tim Rumah Sakit Santa Elisabeth Semarang ini diikuti sekitar 90 orang, utusan dari 44 lingkungan, termasuk lingkungan-lingkungan Wilayah X Demak yang menjadi bagian Paroki Atmodirono.
Fajar, salah satu narasumber, mengawali pelatihan ini dengan menjelaskan tentang tanda-tanda kematian. Ada 7 tanda kematian, yaitu meliputi: jantung dan pembuluh darah berhenti, paru-paru berhenti, pupil mata tak bereaksi, otot mengendor, timbul kekakuan setelah beberapa saat, dan muncul biru-biru pada bagian-bagian tertentu.
Tindakan berikutnya, urai Fajar, adalah mencatat waktu meninggal dengan tepat, lapor kepada RT, menyingkirkan alat-alat yang tidak perlu, dan merawat jenazah.
“Penting untuk diingat adalah keselamatan petugas yang merawat jenazah. Karenanya petugas harus memakai APD (Alat Pelindung Diri) secara lengkap. Jenazah tidak boleh dipangku tetapi ditidurkan di tempat tidur yang dialasi perlak. Selain itu penting menggunakan larutan kaporit untuk membersihkan jenazah,” pesannya.
Langkah berikutnya adalah memandikan yang didahului dengan doa. Memakaikan baju dan kelengkapannya. Ia juga mengingatkan pentingnya membersihkan diri dan peralatan serta area sekitar tempat pemandian.
Pelatihan yang ditunggu peserta adalah praktek yang dipandu oleh Wadi. Dengan menggunakan patung peraga atau maneken yang ditidurkan dan disebutnya ‘tante’, Wadi mempraktekkan cara merawat jenazah. Sementara itu para peserta mengelilinginya supaya praktek tersebut bisa dilihat dengan jelas.
“Jenazah perlu diajak omong atau berkomunikasi. Biasanya ia akan ‘nurut’ ketika kita minta melipat tangan atau kaki atau miring,” tandas Wadi yang sudah puluhan kali merawat jenazah.
Sementara itu Korwil Aris Pramudito berharap, usai pelatihan ini di setiap lingkungan memiliki tim pangruktilaya. Atau setidaknya ada orang-orang yang bersedia membantu merawat jenazah ketika ada orang Katolik yang meninggal di lingkungan.
Pada kesempatan yang sama Wakil Ketua II Dewan Pastoral Paroki, Agustinus Sigid Suharto mengapresiasi peserta dari utusan lingkungan yang bersemangat mengikuti pelatihan ini. Dan disampaikan ucapan terima kasih atas pelayanan dari Tim Rumah Sakit Santa Elisabeth. (BD Elwin J)