KARUNIA KESETIAAN SUKACITA KETEKUNAN
PEDOMAN
KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI
DAN SERIKAT HIDUP KERASULAN
PENDAHULUAN
1. Masa sekarang ini adalah sebuah masa penuh cobaan, “di mana lebih sulit untuk hidup sebagai seorang hidup bakti di dunia saat ini.”[1] Kesulitan dalam menghayati kesetiaan dan berkurangnya kekuatan dalam ketekunan, sejak awal mula, merupakan pengalaman yang menjadi bagian sejarah hidup bakti. Kesetiaan, meski sekarang keutamaan ini meredup, telah terukir dalam identitas terdalam panggilan kaum hidup bakti: hal itu menyangkut makna hidup kita di hadapan Allah dan Gereja.[2] Koherensi kesetiaan memungkinkan kita memiliki dan memenangkan kembali kebenaran diri kita, yaitu tinggal (bdk Yoh. 19:9) dalam kasih Allah.
Kita sadar bahwa budaya saat ini yang serba sementara, terus-menerus mempengaruhi pilihan-pilihan hidup, dan panggilan hidup bakti sendiri. Budaya seperti itu dapat menghasilkan kesetiaan yang rapuh. Paus Fransiskus menegaskan bahwa “ketika komitmen ‘untuk selamanya’ itu menjadi lemah, hal apa pun dapat menjadi alasan untuk meninggalkan jalan yang telah ditempuh.”[3] Koherensi dan kesetiaan kepada Kristus bukanlah keutamaan yang didapatkan dengan tiba-tiba, melainkan menuntut kesadaran mendalam akan implikasi-implikasi manusiawi, rohani, psikologis serta moral dalam suatu panggilan hidup bakti. Alasan demi Dia melampaui, menantang dan mengundang untuk memutuskan dan memberikan diri sepenuhnya pada dan untuk pelayanan Kerajaan Allah. Dalam pelayanan tersebut, keyakinan pribadi dan komitmen bersama merupakan karunia yang dialami dalam rahmat pertobatan. Rahmat tersebut menopang kesetiaan autentik, yang jauh berbeda dari kesetiaan mandul, yang seringkali dijalani untuk penegasan diri sendiri, dan dari kesetiaan yang sembrono, yang mengabaikan keterbatasan diri sendiri dan ingin melampaui kemampuannya sendiri.
2. Kesetiaan dan ketekunan adalah inti dari kata-kata Paus Fransiskus dalam pidatonya pada 28 Januari 2017 kepada Sidang Pleno Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan: “Kita dapat mengatakan bahwa saat ini, kesetiaan sedang dicobai […]. Kita sedang menghadapi ‘hemorrhagia’ (perdarahan) yang melemahkan hidup bakti dan kehidupan Gereja. Banyaknya kaum hidup bakti yang meninggalkan panggilannya membuat kita khawatir. Memang benar bahwa beberapa meninggalkan panggilan sebagai tindakan yang tepat, karena mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki panggilan itu setelah melakukan penegasan rohani yang serius. Namun yang lain, dengan berlalunya waktu, tidak lagi setia, seringkali hanya beberapa tahun setelah profesi kekalnya. Apa yang terjadi?”[4]
Pertanyaan yang diajukan oleh Paus Fransiskus ini tidak dapat kita abaikan begitu saja. Berhadapan dengan fenomena meninggalkan status hidup bakti dan klerikal –yang disebabkan oleh berbagai situasi yang berbeda– sejak lama Gereja telah bertanya-tanya mengenai sikap yang harus diambil.[5] Hidup bakti sendiri berulangkali, dalam berbagai kesempatan, telah didorong untuk mengenali, melakukan penegasan rohani dan mendampingi situasi-situasi yang tidak menyenangkan atau krisis dan untuk tidak mereduksi fenomena itu hanya sebagai gambaran statistik yang mengkhawatirkan tanpa, pada saat yang sama, memper-tanyakan tentang makna dan implikasi-implikasi kesetiaan serta ketekunan dari sebuah panggilan untuk sequela Christi (mengikuti jejak Kristus). Ini merupakan perjalanan pertobatan dan pemurnian yang membantu menemukan kembali dasar dan identitas panggilan seseorang, tanpa terbawa kepada pesimisme atau frustrasi yang melelahkan dari mereka yang merasa tidak berdaya lagi dan bersiap untuk hal yang terburuk.
Dalam banyak kasus, kompleksitas dan kerumitan persoalan-persoalan tampaknya tidak menemukan jalan keluar yang tepat. Sangatlah penting mengambil sikap mendengarkan dan melakukan penegasan rohani, sambil memohon terang Roh Kudus dengan penuh kepercayaan agar kita dapat membaca kenyataan dengan serius dan tenang. Situasi-situasi ini secara keseluruhan berdampak negatif pada pemahaman diri terhadap identitas kaum hidup bakti; mengaburkan kredibilitas injili dari Tarekat-tarekat; dalam beberapa hal menggerogoti kepercayaan umat Allah terhadap dunia kaum hidup bakti.
3. Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan tidak dapat tidak membiarkan diri ditantang oleh masalah-masalah yang berhubungan dengan kesetiaan dan ketekunan dalam status hidup bakti. Berdasarkan apa yang paling sering diamati dalam pengalaman Tarekat-tarekat dan Serikat-serikat, telah diputuskan untuk menyusun dan mengusulkan beberapa petunjuk atau pedoman tindakan-tindakan preventif dan pendampingan. Dalam perspektif ini, dokumen ini bermaksud untuk menawarkan petunjuk-petunjuk yang, seturut norma-norma yang ditentukan oleh Hukum Kanonik dan praktik Dikasteri, dapat berguna bagi semua kaum hidup bakti dan, terutama, bagi semua pihak yang memegang peran tanggung jawab, baik dalam kepemimpinan maupun formasio.
Dokumen ini terdiri dari tiga bagian:
- Memandang dan mendengarkan. Mengamati dan men-deteksi situasi-situasi yang dapat menyebabkan ketidak-nyamanan, kesulitan serta krisis dalam hidup pribadi maupun komunitas kaum hidup bakti, tanpa menimbulkan kecemasan yang tidak beralasan atau, sebaliknya men-dukung sikap meremehkan yang berbahaya. Dalam menangani suatu masalah, para pemimpin, saudara dan saudari, bersiap sedia untuk menghadapinya. Dengan demikian, siapa yang memiliki kejujuran dan kerendahan hati untuk mengakui masalahnya, bersedia untuk dibantu dan didampingi. Masalah-masalah itu memiliki wajah, kisah dan biografi. Yang harus dilakukan adalah mengenali saudara atau saudari yang sedang dalam kesulitan dan, pada saat yang sama, mengenali kesulitan-kesulitannya sendiri. Paus Fransiskus mengatakan bahwa “Ketika kita menyelisik jalan hidup kita di hadapan Allah, tidak ada ruang yang tidak dapat dijangkau. Dalam segala aspek kehidupan, kita dapat terus bertumbuh dan memper-sembahkan sesuatu yang lebih bagi Allah, bahkan dalam hal-hal yang kita anggap paling sulit sekalipun.”[6]
- Membangkitkan kembali kesadaran diri. Gabungan kata kesetiaan-ketekunan telah mencirikan Magisterium tentang hidup bakti. Kedua istilah itu dipahami sebagai aspek-aspek yang tidak terpisahkan dari satu sikap rohani. Ketekunan adalah sebuah kualitas kesetiaan yang sangat penting. Dalam dinamika tersebut, dapat dipahami pentingnya bina lanjut yang mendorong, baik pribadi hidup bakti maupun Tarekat kepada “pemeriksaan terus-menerus berkaitan dengan kesetiaan kepada Tuhan, ketaatan kepada Roh Kudus […] kemantapan dalam penyerahan diri, kerendahan hati dalam menanggung kesulitan.”[7] Sesungguhnya, panggilan kepada hidup bakti adalah sebuah perjalanan transformasi yang membarui hati dan akal budi seseorang sehingga ia dapat membedakan mana kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rom. 12:2). Paus Fransiskus menegaskan, “Saat ini kebiasaan penegasan rohani telah menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan”[8] untuk tidak berhenti “pada sekedar maksud baik.”[9] Sebagai perempuan dan laki-laki pelaku penegasan rohani, kaum hidup bakti menjadi mampu menafsirkan kenyataan hidup manusia dalam terang Roh, dan dengan demikian mampu memilih, memutuskan dan bertindak sesuai dengan kehendak ilahi.[10] Formasio membutuhkan latihan karunia penegasan rohani secara terus-menerus, “yang memberikan pendewasaan yang perlu kepada pribadi hidup bakti. Hal ini sangatlah mendasar dalam hidup bakti zaman sekarang: kedewasaan”.[11]
- Berpisah dari Tarekat. Peraturan dan praktik Dikasteri: “Dalam hidup bakti seseorang tidak dapat berjalan sendirian. Kita membutuhkan orang yang mendampingi kita”,[12] tidak hanya untuk mengenali dan mengoreksi sikap-sikap, gaya hidup, kekurangan dan ketidaksetiaan yang menghasilkan kontra-kesaksian terhadap status hidup bakti, namun juga untuk memperoleh kembali makna serta penghargaan terhadap kedisiplinan, demi menjaga tatanan hidup serta mengungkapkan kepedulian dan perhatian terhadap saudara dan saudari. Kedisiplinan tidak membentuk murid Kristus dalam konformitas, melainkan dalam keterpaduan dengan bentuk hidup sequela Christi, mendidik untuk mengambil jarak yang perlu dengan mentalitas dan ideologi duniawi yang membahayakan kredibilitas cara hidup kita; mengaktifkan rasa kewaspada-an, sikap batin kesiapsediaan dan kejernihan menghadapi situasi yang merugikan atau yang berbahaya. Akhirnya, ini adalah sebuah praktik belas kasih, sebab kita haruslah berbelas kasih satu sama lain.
Dalam perspektif penegasan rohani-pendampingan, kepada para pemimpin dan penanggungjawab pada semua tingkat ditawarkan sebuah kerangka acuan normatif dan praksis-praksis Dikasteri, untuk mengevaluasi secara benar situasi-situasi yang berhubungan dengan disipliner, dengan menghargai sepenuhnya prosedur-prosedur yang telah diatur dalam hukum kanonik.
4. Jalan kesetiaan dalam ketekunan menuntut kaum hidup bakti untuk mampu melihat pengalaman pribadinya secara realistis dan objektif, tanpa menutup mata terhadap munculnya masalah-masalah atau situasi kritis yang dapat menjadi tanda dari kesetiaan yang tidak stabil atau kecenderungan ketidaksetiaan. Seorang hidup bakti dalam perjalanan kesetiaan autentik mengenali dan melakukan penegasan rohani terhadap kisah hidupnya sendiri dan terutama mempertanyakan tentang “kesetiaan yang lahir dari kasih”;[13] belajar mendengarkan suara hati dan membentuk suara hati yang disertai dengan penilaian yang benar;[14] mendisiplinkan hidupnya sendiri agar tidak kehilangan makna dalam menjaga batinnya; menerima karunia rahmat ilahi, janji dan ikrar kita untuk tinggal dalam kasih Allah (bdk. Yoh. 15:9).
[1] FRANSISKUS, La fuerza dela vocación. Una conversación con Fernando Prado, Publicaciones Claretianas, Madrid 2018, 49.
[2] Bdk. FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), 170.
[3] FRANSISKUS, La fuerza dela vocación. Una conversación con Fernando Prado, Publicaciones Claretianas, Madrid 2018, 63.
[4] FRANSISKUS, Pidato kepada para peserta Sidang Pleno Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, Vatikan, 28 Januari 2017.
[5] Bdk. YOHANES PAULUS II, Seruan Appstolik Pasca-Sinode Pastores dabo vobis (15 Maret 1992), 10.
[6] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), 175.
[7] KONGREGASI UNTUK TAREKAT HIDUP BAKTI DAN SERIKAT HIDUP KERASULAN, Potissimum institutioni. Pedoman tentang formasi dalam Tarekat Religius (2 Februari 1990), 67.
[8] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (19 Maret 2018), 167.
[9] Idem., 169.
[10] Bdk. KONGREGASI UNTUK KLERUS, El don dela vocación presbiteral. Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (8 Desember 2016), 43.
[11] FRANSISKUS, La fuerza dela vocación. Una conversación con Fernando Prado, Publicaciones Claretianas, Madrid 2018, 52.
[12] Idem., 53.
[13] FRANSISKUS, Seruan Apostolik Gaudete et Exsultate (19 Maret 2018), 112.
[14] Bdk. KONGREGASI UNTUK KLERUS, El don dela vocación presbiteral. Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (8 Desember 2016), 94.
Baca dokumen selengkapnya di tautan ini.