“Seperti kisah rasul Thomas, karya keadilan dan perdamaian bisa sampai kepada masyarakat luas lewat jejaknya.” Demikian ungkap Romo Eko Aldiyanto, O.Carm dalam misa pembukaan Hari Studi Komisi Keadilan dan Perdamaian-Pastoral Migran dan Perantau/JPIC se-Regio Jawa, 3 Juli 2018 di Wisma Pojok, Yogyakarta. Berlangsung selama 4 hari, pertemuan ini diikuti para utusan komisi-komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan dari berbagai keuskupan dan kongregasi religius se-Jawa. Romo Eko menyatakan, hanya lewat kehadiran Gereja bagi kaum marginal dan bagi setiap korban ketidakadilan, Gereja sebagai warta keselamatan itu sungguh-sungguh dikenali.

Dengan mengangkat ucapan Paus Fransiskus, perjumpaan tahunan untuk melakukan studi bersama ini mengambil tema Gereja yang berani kotor, memar, dan terluka. Pilihan tema ini berusaha menanggapi harapan Bapa Suci agar Gereja sungguh-sungguh menjadi bagian dari mereka yang tertindas dan dimiskinkan di tengah masyarakat. Secara khusus hari studi kali ini memfokuskan diri pada isu-isu kebijakan publik dan advokasinya. Disadari bahwa fenomena ketidakadilan di tengah masyarakat seringkali berasal dari akar kebijakan publik dan kebijakan anggaran yang dibuat tanpa memperhatikan secara matang dan menyeluruh dampaknya terhadap praktek keadilan dan perdamaian di tengah masyarakat.

Tema pokok ini dibagi ke dalam materi-materi studi spiritualitas advokasi, hak-hak asasi/hak sipil warga dan kelompok marginal, proses legislasi di parlemen, konsep dan strategi aliansi, membangun aliansi strategis dalam advokasi, strategi advokasi melalui media dan media sosial. Studi ini juga mendekati setiap tema dari dua sisi, akademisi dan praktisi. Dari sisi akademik hadir  Johanes Widijantoro, B. Hestu Cipto Handoyo, Agustinus Subarsono, Suryo Adi Pramono, dan lain-lain. Sementara itu MY Esti Wijayati, Aloys Wisnuhardana, Sukiratnasari, Veronica Purwaningsih, dan berbagai praktisi lain turut dihadirkan untuk memberi keutuhan perspektif pada tema-tema studi yang dilakukan.

Selain studi, pertemuan ini juga menghasilkan kesepakatan untuk turut terlibat pada upaya konservasi air di kawasan Kendeng sebagai aksi bersama jaringan KKP-PMP/JPIC Regio Jawa. Menyusul pertemuan ini, rekoleksi KKP-PMP/JPIC Regio Jawa akan dilaksanakan pada 21-23 November 2018 di Jakarta.

Dalam penutupannya, Mgr. Dominikus Saku, selaku Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian-Pastoral MIgran dan Perantau KWI menyatakan dukungan penuh dan apresiasinya atas gerak langkah KKP-PMP/JPIC Regio Jawa yang sangat dinamis. beliau juga mendorong agar Regio Jawa bisa ikut membantu menganimasi berbagai regio lain yang notabene dihadapkan pada tantangan persoalan yang sangat berat dan jauh berbeda dengan Regio Jawa. Mgr. Domi memaparkan berbagai kesulitan yang dihadapi di regio-regio yang ada. Regio Kalimantan, Regio Sumatera, dan Regio Papua dihadapkan pada luasnya bentang geografis dan kompleksitas persoalan yang ada, Regio Nusra dihadapkan pada problem perdagangan manusia, sementara regio Sulawesi-Maluku harus menghadapi bentang laut yang terentang dari perbatasan Philipina hingga perbatasan Australia.

Monsinyur juga memaparkan betapa suramnya nasib para pekerja migran Indonesia di luar negeri, yang bukan hanya terjebak dalam mafia perdagangan manusia, tetapi bahkan menjadi korban mafia penjualan organ tubuh manusia. situasi ini merupakan tantangan besar kemanusiaan yang masih terus menghantui negeri ini.

Sementara itu, di hadapan persoalan yang ada, KWI sebagai lembaga konsultasi dan koordinasi, tidak memiliki otoritas mengikat atas keuskupan-keuskupan. Meski demikian, Mgr Domi tetap melihat harapan melalui peran kepemimpinan moral yang berhasil dilakukan KWI. Sekalipun KWI tak memiliki otoritas yang efektif dan fungsional, ia telah mampu mengambil peran kepemimpinan moral di dalam maupun di luar Gereja Katolik Indonesia.

Berani menjadi Gereja yang kotor, memar, dan terluka, tentu bukan kerja mudah. Menghindari sakit dan penderitaan adalah insting alami yang dibangun alam sebagai mekanisme bertahan hidup. Berani menahan rasa sakit, meninggalkan rasa nyaman, terjun masuk ke zona-zona yang dihindari para pencari kenyamanan, adalah jalan yang harus ditempuh Gereja –sebagai pribadi, komunitas, dan lembaga-, bila ia ingin menjelmakan diri menjadi sarana keselamatan mereka yang tersingkirkan.