IN ECCLESIARUM COMMUNIONE
Konstitusi Apostolik Paus Fransiskus
tentang Pedoman Vikariat Roma
Pengantar
1. Dalam persekutuan Gereja-Gereja, kepada Gereja Roma dipercayakan tanggung jawab khusus untuk menyambut iman dan cinta kasih Kristus yang diwariskan oleh para Rasul dan memberikan kesaksian tentang mereka dengan cara yang patut diteladani. Oleh karena itu, perhatian utama Uskup Roma adalah menyediakan apa yang diperlukan Gereja ini agar sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Roh Tuhan Yesus Kristus (bdk. Wahyu 3:22).
Berhimpun dengan para Uskup lainnya dalam himpunan suksesi Apostolik yang sama,[1] Uskup Roma, sebagai Pengganti St. Petrus dan, dengan demikian, menjadi «azas dan dasar yang kekal dan kelihatan bagi kesatuan para Uskup maupun segenap kaum beriman»,[2] menjalankan pelayanannya sendiri pertama-tama dan terutama dengan memastikan bahwa umat Allah di Keuskupan yang dipercayakan kepadanya diteguhkan dalam iman dan cinta kasih (bdk. Lukas 22:32). Dengan cara ini, Uskup Roma adalah orang pertama yang menghormati azas yang menyatakan bahwa setiap uskup, dengan memimpin dengan baik sebagian dari Gereja universal, memberikan kontribusi «secara efektif demi kebaikan seluruh tubuh mistik, yang juga merupakan tubuh Gereja-Gereja»[3].
2. Gereja ditempatkan di dunia sebagai “Orang Samaria yang murah hati” (bdk. Lukas 10: 25-37),[4] sebagai sakramen keselamatan,[5] dalam solidaritas yang erat dengan sejarah para perempuan dan laki-laki yang hidup di dunia ini,[6] dengan menunggu pemenuhannya di dalam Kristus. Memperingati enam puluh tahun sejak dimulainya Konsili Ekumenis Vatikan Kedua, kita merasakan urgensi khusus terhadap seruan pertobatan misioner seluruh Gereja, disertai dengan kesadaran yang lebih hidup akan dimensi konstitutif sinodalnya.[7]
Untuk menghidupkan kembali misi, dalam keutamaan cinta kasih dan dalam mewartakan belas kasih Ilahi, harus didukung dan dimajukan secara sinergis kolegialitas para uskup dan partisipasi aktif umat yang telah dibaptis.
Dalam cakrawala ini terdapat komitmen terhadap reorganisasi Vikariat, sebuah badan yang berada di Roma menjalankan fungsi Kuria Diosesan,[8] mengambil dan melanjutkan pekerjaan yang telah dicapai oleh para pendahulu saya, Santo Paulus VI dan Santo Yohanes Paulus II, dengan Konstitusi Apostolik Vicariae Potestatis (1977) dan Ecclesia in Urbe (1998), dan oleh mereka yang dengan murah hati berkontribusi untuk memenuhinya dalam pelayanan pastoral. Bahkan Vikariat Roma – seperti struktur lain yang berhubungan langsung dengan pelayanan Santo Petrus: Kuria Roma, Sinode para Uskup – dipanggil untuk semakin menjadi “saluran yang memadai untuk evangelisasi dunia masa kini, dan bukan untuk pelestarian diri”,[9] untuk melayani Gereja yang mengakui dirinya di hadapan semua orang, bahkan mereka yang hidup dalam indiferentisme beragama, sebagai «komunitas penginjil [yang] menempatkan dirinya melalui kata dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dengan orang lain, menjembatani jarak, mau menghambakan diri jika perlu, serta merangkul hidup manusia, dengan menyentuh kemanusiaan Kristus yang menderita dalam diri sesamanya».[10]
Jika setiap Gereja lokal adalah, “masing-masing di wilayahnya sendiri, umat baru yang dipanggil oleh Allah dalam Roh Kudus”,[11] saya berharap bahwa Gereja Roma, yang dipercayakan kepada pelayanan episkopal saya, dapat bersinar sebagai contoh persekutuan iman dan cinta kasih, terlibat penuh dalam misi mewartakan Kerajaan Allah, penjaga harapan Ilahi untuk menyambut semua orang ke dalam keselamatanNya (bdk. Yes 25:6 – dst.). Apa yang ditulis oleh Santo Gregorius Agung tentang dirinya kepada Patriark Eulogius dari Aleksandria juga berlaku di Roma: «Saya tidak mencari kebesaran saya dengan kata-kata, tetapi dengan perilaku saya […] Kata-kata yang membesar-besarkan kesombongan akan lenyap dan merusak belas kasih».[12]
3. Kita berada dalam masa pembaruan di mana kita harus bekerja sama, sebagai umat yang dibaptis, mengatasi «godaan Pelagian» yang mereduksi segalanya pada level terendah «untuk mengubah struktur, tetapi mengakar dalam Kristus dan membiarkan diri kita dipimpin oleh Roh».[13] Saya memimpikan transformasi misioner yang sepenuhnya melibatkan masyarakat dan komunitas, tanpa menyembunyikan atau mencari kenyamanan dalam keabstrakan ide.[14] Terkait hal ini, «menerapkan cara-cara yang diperlukan untuk maju di jalur pertobatan pastoral dan misioner, yang tidak dapat dibiarkan begitu saja».[15]
4. Kesadaran akan adanya selalu kebutuhan untuk bertobat, tidak menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, sudah menjadi sifat spiritual, pastoral dan kanonik dari Keuskupan Roma untuk mewakili dalam dirinya sendiri misi keteladanan dalam ketegangan terus-menerus menuju kerajaan Allah. Jika dalam Gereja direfleksikan terang Kristus (bdk. Yohanes 8:12)[16] – dalam hal ini para Bapa Konsili berbicara tentang “misteri terang” – kita dapat menganggap Gereja Roma sebagai satu-satunya yang di dalamnya direfleksikan, dengan kecerahan khusus, wajah Gereja universal, umat suci yang mempunyai tugas menjadi saksi yang dapat dipercaya akan kasih Allah, mengenali dan membantu melihat gambaran Kristus yang miskin dan menderita khususnya dalam diri orang miskin dan menderita.[17]Pada zaman kita, kemampuan Gereja untuk merefleksikan terang ilahi telah diuji dengan berat: namun, tak pernah kurang, baik keinginan yang mendalam terhadap terang ini maupun kesediaan Gereja untuk menyambut dan membagikannya.
Gereja kehilangan kredibilitasnya ketika dipenuhi dengan hal-hal yang tidak esensial bagi misinya atau, lebih buruk lagi, ketika para anggotanya, bahkan terkadang mereka yang diberi wewenang pelayanan, menjadi sumber skandal karena perilaku mereka yang tidak setia terhadap Injil. Ini bukan hanya masalah bagi Gereja: ini juga merupakan masalah bagi umat Allah, di mana Gereja dipanggil melayani dengan mewartakan Injil dan memberi kesaksian cinta kasih. Hanya dengan sumbangan total diri sendiri kepada Kristus demi pelayanan keselamatan dunia, Gereja memperbarui kesetiaannya karena, seperti yang diajarkan Santo Ambrosius, «segala sesuatu yang telah dikosongkan akan memperoleh kembali kepenuhannya».[18]
5. Untuk memahami identitas Gereja, termasuk Gereja Roma, kita perlu mengenali “alur sakramental”-nya, yaitu bahwa Gereja merujuk pada sesuatu yang lain selain Gereja itu sendiri. Oleh karena itu, kita waspada terhadap “godaan pengganti”: godaan untuk melakukan sesuatu sendirian, seolah-olah Tuhan, yang naik ke surga, telah meninggalkan kekosongan untuk diisi dengan inisiatif kita.[19] Mengatasi godaan untuk menggantikan terang Kristus dan suara Roh Kudus dengan terang dan inspirasi duniawi serta klerikal, kita dibawa kembali ke misi umat yang dibaptis, yang dipanggil untuk menjadi «tanda dan sarana» yang kredibel «dari persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia».[20]
Di Roma, seperti halnya dalam Gereja-Gereja partikular lainnya, harus terus mendengarkan suara Roh Kudus yang memanifestasikan dirinya bahkan melampaui batas-batas keanggotaan gerejawi dan keagamaan, dengan mempertahankan gaya keramahan yang tulus, digerakkan oleh dorongan dari mereka yang keluar untuk mencari banyak orang yang diasingkan dari Gereja, masyarakat yang tidak terlihat dan tidak bisa berkata-kata (bdk. Mat 22:9).[21] Oleh karena itu, kita kembali pada pelajaran para Bapa suci yang, dengan melihat pengalaman eksodus dan pengasingan, membaca perlunya Gereja menjadi seperti tenda bergerak di padang pasir, yang harus dibongkar, dipasang kembali, dan “diperluas” di sepanjang perjalanannya (bdk. Yes 54:2). Dampak utama dari dorongan evangelisasi dan sinodal haruslah memulihkan kepercayaan kepada Roh Kudus yang membimbing berbagai perjalanan gerejawi, membuka pemahaman-pemahaman baru mengenai isi Wahyu,[22] mengalihkan perhatian dari kekakuan bentuk-bentuk dan struktur-struktur: komunitas-komunitas yang lebih gelisah, dekat dengan orang «yang ditinggalkan, yang terlupakan, yang tidak sempurna»,[23] yang merupakan tempat-tempat tertutup.[24]
6. Agar hal ini dapat diwujudkan, perlulah peningkatan martabat komunal baptisan, juga melalui pembaharuan institusi, struktur dan organisasi. Merupakan tugas esensial dari uskup untuk menjamin adanya ruang yang terbuka bagi semua orang, di mana setiap orang mendapat tempat, mempunyai kesempatan untuk berbicara, merasa didengarkan dan belajar mendengarkan. Dengan meneliti tanda-tanda zaman,[25] disermen rohani (discernimento spirituale) akan memungkinkan kita mengenali kebutuhan-kebutuhan baru dan mendukung subjektivitas pastoral yang lebih luas dan inklusif, memperluas partisipasi dan pembagian tanggung jawab: «berjalan bersama menemukan garis horizontal dan bukan vertikalitas. Gereja Sinodal memulihkan cakrawala dari mana matahari Kristus terbit: mendirikan monumen hierarkis berarti menutupinya. Para gembala jiwa berjalan bersama umatnya”.[26]
7. Reorganisasi Vikariat Roma mempertimbangkan berbagai realitas gerejawi yang ada di Kota Roma tersebut, serta situasi sosial dan ekonomi masyarakat dan keluarga yang tinggal di sana atau yang berada di sekitarnya.
Berdasarkan hak mereka sendiri, para anggota Kolegium Kardinal yang bertanggung jawab sesuai dengan hukum, memilih Uskup Roma untuk Gereja Roma. Lembaga-lembaga Kuria Roma berpusat di Roma, yang digunakan Takhta Suci untuk menjalankan fungsi universalnya. Di Roma terdapat juga badan-badan pemerintahan berkualitas, kuno dan lebih baru dari sejumlah besar Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, komunitas-komunitas yang bertanggung jawab terhadap formasio para pelayan tertahbis, lembaga-lembaga kebudayaan Gereja dan kantor-kantor pusat berbagai organisasi Katolik internasional. Roma juga merupakan pusat utama Italia dan pusat Konferensi Episkopal Italia, serta berbagai organisasi kerasulan nasional. Sejumlah imam, religius, dan umat Kristiani awam dari berbagai belahan dunia belajar dan tinggal di Roma: kehadiran dan aktivitas mereka – jika dikoordinasikan dengan baik dalam menghadapi kebutuhan kemanusiaan, spiritual dan pastoral – memperkaya kehidupan Kristiani di Roma dengan kontribusi spiritualitas dan pengalaman yang bermacam-macam. Roma juga menghadirkan seluruh karakteristik khas ibu kota Negara modern, yang di dalamnya permasalahan dan kesulitan seluruh bangsa, Eropa, dan dunia terefleksikan dalam cermin global. Sebagai pusat lembaga-lembaga nasional utama dan organisasi-organisasi internasional, serta sebagai pusat kebudayaan, sosial dan politik yang sangat penting, Roma berkontribusi dalam menciptakan kebutuhan-kebutuhan khusus terhadap penduduknya.
8. Sejumlah besar orang dan keluarga yang tinggal di lingkungan berbeda di kota Roma, tidak hanya di pinggiran kota, terbebani oleh kesulitan ekonomi, sosial, psikologis dan kesehatan yang berat. Penuaan populasi, krisis demografi, kehadiran tunawisma merupakan konsekuensi dari pilihan yang kurang bijaksana, serta merupakan gejala dari kesulitan dan ketidakpastian di zaman kita. Umat Kristen Roma, dan khususnya mereka yang dipercayakan dengan peran dan tanggung jawab pastoral, harus sadar bahwa mereka harus menjalankan misi mereka dalam konteks di mana banyak orang mengalami situasi penderitaan yang besar.
Komitmen khusus harus dicurahkan dalam menyambut banyaknya pengungsi dan migran sehingga Gereja Roma, bagi semua Gereja lainnya, menjadi saksi fakta bahwa tidak ada seorang pun yang boleh dikecualikan: “pintu gerbangmu akan selalu terbuka” (Yes 60:11). Melalui program-program pastoral dan sosial yang ditargetkan, kontribusi yang dapat diberikan setiap orang demi kebaikan semua orang harus diakui, didukung dan dihargai.
9. Karena sejarahnya yang khas, Roma melestarikan harta warisan seni yang unik, yang sebagian besar berkembang dalam konteks pengalaman iman Kristen. Kota ini merupakan tujuan ziarah keagamaan dan mengalami arus wisatawan yang besar. Gereja Roma, melalui badan-badan pastoralnya, juga harus memperhatikan orang-orang yang datang ke Roma mencari kesaksian akan keindahan otentik dan kekayaan sejarah yang bercirikan Kristiani, namun juga berhutang budi pada tradisi dan budaya lain.
10. Karena panggilannya yang khas, kepada Gereja di Roma tidak bisa tidak menaruh perhatian khusus pada jalan menuju kesatuan umat Kristiani yang utuh dan nyata. Niat ekumenis, yang tidak bergantung pada pilihan-pilihan atau inisiatif-inisiatif yang bersifat kontingensi tetapi pada kehendak Kristus sendiri, pada iman kepada-Nya dan pada Pembaptisan yang menyatukan umat Kristiani, mewakili komitmen prioritas keuskupan. Hal ini harus dipupuk dengan saling mengenal, saling bermurah hati, saling membantu, bekerjasama dengan saudara dan saudari seiman yang lain.
11. Gereja Roma, yang setia pada ajaran Konsili Vatikan II, akan terus memajukan dan mendorong persahabatan dan dialog dengan Komunitas Yahudi Roma, salah satu komunitas tertua di dunia.
12. Kehadiran begitu banyak orang, keluarga dan komunitas yang menganut tradisi agama yang berbeda juga mengharuskan Gereja Roma untuk memberikan perhatian khusus pada dialog antaragama, menghindari proselitisme tanpa melepaskan kesaksian penuh sukacita tentang iman yang diwariskan oleh para rasul dan belas kasih Kristiani.
13. Kenangan hidup para misionaris yang selama berabad-abad telah ditinggalkan kepada Gereja Rasul Suci Petrus dan Paulus untuk mewartakan Injil di setiap belahan bumi, meminta seluruh Keuskupan dan setiap umat beriman di Roma agar terbuka terhadap misio ad gentes (misi kepada bangsa-bangsa), untuk memberikan kesaksian tentang cinta kasih universal yang menjiwainya dan yang menjiwai misi apostolik Uskup itu sendiri, Gembala Universal Gereja.
14. Dalam terang pertimbangan-pertimbangan ini, ada baiknya kita mengingat kembali beberapa komitmen yang paling serius dan mendesak, yang sebagian telah ditunjukkan oleh Konstitusi Apostolik Ecclesia in Urbe, yang mengharapkan Gereja Roma dan mendesak tindakan pastoral dari Vikariat dan setiap komponen diosesan.
Yaitu: pewartaan Injil dan kesaksian cinta kasih terhadap setiap penduduk Kota dan di setiap lingkungan; promosi suatu gaya sinodal dan praktik sinode, sehingga mendorong sikap mendengarkan, partisipasi, tanggung jawab bersama, dan misi semua orang yang dibaptis; kepedulian terhadap panggilan pelayanan tertahbis dan berbagai bentuk hidup bakti, yang disertai pembedaan roh dengan formasio berdasarkan injil yang memanusiakan para calon; sikap mendengarkan dan dukungan kepada para pelayan tertahbis, mendorong kesempatan berkala untuk doa dan refleksi bersama; pembaharuan bentuk kehadiran paroki di berbagai wilayah kota, sehingga sekaligus ramah dan bersahabat dengan mereka yang berada jauh; penyelenggaraan sakramen-sakramen, memastikan formasio berkelanjutan dan perjumpaan dengan para pelayan tertahbis dan para katekis; pelayanan pastoral keluarga dan remaja dalam menghadapi melemahnya ikatan dan meningkatnya ketidakpercayaan; perhatian yang harus diberikan kepada para lansia, menghargai warisan pengalaman dan perhatian terhadap kebutuhan mereka; kedekatan dengan orang-orang yang kesepian, orang sakit dan narapidana; komitmen dalam bidang budaya dan komunikasi, sehingga pemikiran dan hubungan dapat dipupuk oleh Injil; pelayanan pastoral terhadap mobilitas manusia, dalam menghadapi globalisasi ketidakpedulian, memastikan tempat ibadat dan pertemuan komunitas orang-orang asing terasa seperti di rumah sendiri pada saat jauh dari rumah, dan, bersama-sama, mendorong integrasi bertahap; komitmen sosial dan kesaksian belas kasih terhadap kemiskinan yang telah lama atau baru terjadi yang diderita banyak orang dan keluarga yang berada di kota.
Perhatian khusus harus diberikan pada disermen panggilan diakonat permanen, dan pada formasio dalam perspektif tanggung jawab pastoral yang efektif, dan pada pelayanan cinta kasih. Bahkan, harus menjamin formasio berkelanjutan bagi para katekis, lektor, akolit, dan bentuk pelayanan lainnya, untuk memberikan ekspresi penuh pada karunia baptisan; mendesak diadakannya pertemuan ekumenis dan dialog antaragama; perhatikanlah mereka yang tidak beriman, namun mereka yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang referensialitas diri kita; mengingat perlunya restrukturisasi gereja-gereja dan pembangunan paroki-paroki baru, khususnya di pinggiran kota, menyelaraskan keindahan, ketenangan dan kelestarian lingkungan dan ekonomi, dan memastikan struktur-struktur yang dapat melayani aktivitas pastoral dan lingkungan sekitar. Akhirnya, saya meminta Anda untuk mengawasi pengelolaan ekonomi, sehingga bijaksana dan bertanggung jawab, selalu percaya pada pemeliharaan ilahi, dan dilakukan sesuai dengan tujuan yang membenarkan kepemilikan harta benda oleh Gereja, dan sakramen Kristus yang miskin (bdk. Flp 2:5–8), untuk mendukung aktivitas pastoral dan cinta kasih.
15. Karena setiap jabatan dalam umat Allah terhubung dengan perilaku dan komitmen yang sesuai dengan kodratnya, maka dalam menyusun Konstitusi Vikariat yang baru ini, dalam menghadapi “perubahan zaman”[27] yang melibatkan segalanya dan semua orang, saya berharap bahwa Vikariat ini terutama merupakan tempat teladan dalam persekutuan, dialog dan kedekatan, ramah dan transparan dalam pelayanan pembaruan dan pertumbuhan pastoral Keuskupan Roma, komunitas penginjil, Gereja sinodal, umat yang menjadi saksi belas kasihan Tuhan yang dapat dipercaya. Dan saya meminta mereka yang menjadi bagian darinya agar, dalam memenuhi misi mereka, mereka mengadopsi pandangan Yesus sendiri (bdk. Luk. 19:5), yang mengajarkan kita untuk melihat dari bawah. Dia yang «merendahkan diri untuk membasuh kaki kita», sehingga merangkum «seluruh sejarah keselamatan».[28]
Untuk tujuan ini, prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang ditetapkan di bawah ini harus dipatuhi, yang menggantikan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang berlaku sebelumnya, dengan seperlunya menghapus sebagian (derogare) semua ketentuan umum dan khusus dari dokumen-dokumen sebelumnya.
[1] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 22.
[2] Bdk. Ibidem, 23.
[3] Ibidem.
[4] Bdk. Paus Paulus VI, Allocutio pada Sidang Umum terakhir Konsili Ekumenis Vatikan II (7 Desember 1965).
[5] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatiis Lumen Gentium, 1.
[6] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 1.
[7] Bdk. Paus Fransiskus, Pidato dalam Rangka Peringatan 50 tahun Berdirinya Sinode para Uskup (17 Oktober 2015).
[8] Bdk. Kitab Hukum Kanonik Kanon 469.
[9] Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 27.
[10] Ibidem, 24.
[11] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 26.
[12] Gregorius Agung, Epistola VIII, 30, PL 77, 933 C.
[13] Paus Fransiskus, Pidato pada Konferensi Gerejawi Gereja Italia, Firenze, 10 November 2015.
[14] Bdk. Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 231-233.
[15] Ibidem, 25.
[16] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 1.
[17] Ibidem, 8.
[18] Santo Ambrosius, I Sei Giorni della Creazione, IV.
[19] Bdk. Paus Fransiskus, Pidato kepada Umat Beriman Keuskupan Roma (18 September 2021).
[20] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, 1.
[21] Bdk. Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 20-24.
[22] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Dei Verbum, 8.
[23] Bdk. Paus Fransiskus, Pidato pada Konferensi Gerejawi Gereja Italia, Firenze, 10 November 2015.
[24] Bdk. Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 49.
[25] Bdk. Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 4.
[26] Bdk. Paus Fransiskus, Pidato kepada Umat Beriman Keuskupan Roma (18 September 2021).
[27] Bdk. Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Evangelii Gaudium, 52.
[28] Bdk. Paus Fransiskus, Angelus (30 Oktober 2022).
Baca dokumen selengkapnya di tautan ini.