Hio Mengepul Sepanjang Ekaristi Inkulturasi Imlek di Paroki Atmodirono

Twitter
WhatsApp
Email
Berbeda dari Ekaristi biasa, petang itu seluruh petugas liturgi yang berprosesi, misdinar, prodiakon, lektor, pemazmur, dan romo, memegang hio di tangan. Sesampai di depan altar, mereka membungkukkan badan sambil tetap memegang hio di tangan, sebelum akhirnya hio-hio dikumpulkan dan ditempatkan di depat altar. Kepulan asap dan aroma hio makin menambah kekhusyukkan Ekaristi Inkulturasi Imlek di Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang, Rabu (5/2/25).

Atmodirono – Berbeda dari Ekaristi biasa, petang itu seluruh petugas liturgi yang berprosesi, misdinar, prodiakon, lektor, pemazmur, dan romo, memegang hio di tangan. Sesampai di depan altar, mereka membungkukkan badan sambil tetap memegang hio di tangan, sebelum akhirnya hio-hio dikumpulkan dan ditempatkan di depat altar. Kepulan asap dan aroma hio makin menambah kekhusyukkan Ekaristi Inkulturasi Imlek di Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang, Rabu (5/2/25).

Romo Aloysius Lioe Fut Khin MSF mengisahkan kebiasaan orang Tionghoa saat perayaan tahun baru imlek. (dok Elwin)

Petang itu misa inkulturasi konselebrasi ini dipersembahkan oleh Romo Aloysius Lioe Fut Khin, MSF (Vikaris Parokial) sebagai selebran utama dengan didampingi oleh Romo Yusup Sunarno, MSF (Pastor Paroki) dan Romo Albertus Edwin Nur Istanto MSF (Vikaris Parokial). Romo Fut Khin sebagai putra Tionghoa dari kepulauan Bangka ini berkisah tentang seputar kebiasaan Tionghoa saat Hari Raya Imlek sekaligus bercerita tentang kepercayaan asli Tionghoa yang kerap bertentangan dengan iman Katolik.

“Pada kesempatan ini kita akan mensyukuri atas rahmat kehidupan yang diberikan kepada kita, manusia. Supaya kita bisa berkembang sesuai identitas kita masing-masing sebagai orang Tionghoa dan menghayati identitas itu dengan benar di hadapan Tuhan. Apalagi kita yang percaya kepada Tuhan Yesus, kita semua diajak untuk berjalan pada jalan yang benar,” pesan Romo Fut Khin.

Para petugas mengenakan warna liturgi merah

Pernak-pernik dengan nuasa merah menyelimuti gedung gereja yang telah berusia 84 tahun ini, termasuk warna liturgi yang dikenakan oleh para romo dan petugas liturgi. Warna liturgi merah yang dipakai tersebut, pertama-tama bukanlah menyesuaikan warna merah perayaan imlek. Warna merah yang dipakai karena di hari itu Gereja Semesta memperingati martir Santa Agatha. Bagi Gereja Katolik, warna liturgi kemartiran adalah warna merah.

Para suster pun turut menerima angpao dari tangan romo. (dok Elwin)

Tak seperti biasa, dalam misa inkulturasi imlek kali ini umat yang datang di luar ekspektasi panitia. Panitia terpaksa membuka aula Panti Mandala dan menyiapkannya bagi umat yang belum kebagian tempat duduk. Rupanya umat yang datang tak hanya dari paroki setempat, namun juga dari berbagai paroki di Kota Semarang. Mereka semua, lansia, muda, dan anak-anak kebagian angpao yang dibagikan sebelum berkat penutup, termasuk para suster yang mengikuti Perayaan Ekaristi tersebut.

Duet Romo Nano dan Romo Edwin menabuh tambur bersama membuka pertunjukkan 2 barongsai di area parkir gedung Kristiani. (dok Elwin)

Usai Ekaristi, seluruh umat dihibur dengan penampilan 2 barongsai di area parkir gedung serbaguna. Namun sebelum atraksi dimulai, duet romo (Romo Nano MSF dan Romo Edwin MSF) membukanya dengan menabuh tambur bersama-sama. Kemudian 2 barongsai pun beratraksi. Sementara itu, sebagian umat menikmati suguhan makan malam fuyunghai bersama-sama sambil menikmati atraksi barongsai. (Elwin)