KONSTITUSI APOSTOLIK
DIVINUS PERFECTIONIS MAGISTER
BAPA SUCI PAUS YOHANES PAULUS II
USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
Guru Ilahi dan Teladan Kesempurnaan, Kristus Yesus, yang bersama-sama dengan Bapa dan Roh Kudus dinyatakan sebagai “satu-satunya yang kudus”, mencintai Gereja sebagai mempelai-Nya dan menyerahkan diri-Nya untuknya, sehingga Ia dapat menguduskannya dan membuatnya mulia di hadapan-Nya.
Karena itu Dia memberikan perintah kepada semua murid-Nya untuk meniru kesempurnaan Bapa dan Dia mengirimkan Roh Kudus ke atas semua, yang dapat mengilhami mereka dari dalam untuk mengasihi Allah dengan segenap hati mereka dan untuk mengasihi satu sama lain sebagaimana Dia sendiri mengasihi mereka.
Seperti yang diajarkan oleh Konsili Vatikan II, para pengikut Kristus, yang dipanggil dan dibenarkan dalam Tuhan Yesus, bukan menurut perbuatan mereka, tetapi menurut tujuan dan rahmat-Nya sendiri, melalui baptisan yang dicari dalam iman, benar-benar menjadi anak-anak Allah dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan dengan demikian benar-benar suci.[1]
Di sepanjang waktu, Allah memilih dari banyak orang ini yang, mengikuti teladan Kristus lebih dekat, memberikan kesaksian yang luar biasa tentang Kerajaan surga dengan menumpahkan darah mereka atau dengan praktik keutamaan yang mengagumkan.
Pada gilirannya, sejak awal Kekristenan, Gereja selalu percaya bahwa para Rasul dan Martir lebih erat bergabung dengan kita dalam Kristus, karena itu Gereja telah memuliakan mereka, bersama dengan Perawan Maria yang Terberkati dan para Malaikat suci, dengan penghormatan khusus, dan dengan tulus memohon bantuan dengan perantaraan mereka. Termasuk di sini orang-orang yang telah meniru lebih dekat keperawanan dan kemiskinan Kristus dan, akhirnya, juga orang-orang yang dengan luar biasa mempraktikkan kebajikan Kristiani dan yang karisma ilahinya menggerakkan mereka untuk pengabdian saleh, dan diteladani oleh umat beriman. Ketika kami mengingat kehidupan mereka yang telah setia mengikuti Kristus, kami diilhami dengan alasan baru untuk mencari Kota yang akan datang, dan kepada kami diajarkan jalan yang paling aman yang melaluinya, di tengah perubahan dunia ini dan sesuai dengan keadaan kehidupan dan kondisi kita masing-masing, kita dapat mencapai kesatuan yang sempurna dengan Kristus, yaitu kekudusan.
Dikelilingi oleh begitu banyak saksi, yang melalui mereka Allah hadir dan berbicara kepada kita, kita ditarik dengan kuat untuk mencapai Kerajaan-Nya di surga.[2]
Sejak dahulu kala, Takhta Apostolik telah menerima tanda-tanda ini dan telah mendengarkan suara Tuhan dengan penuh hormat dan kepatuhan. Karena kesetiaannya pada tugas serius yang dipercayakan kepadanya untuk mengajar, menguduskan dan memimpin Umat Allah, ia mengusulkan kepada umat beriman untuk meniru, menghormati dan mendoakan, pria dan wanita yang luar biasa dalam kemegahan kasih dan keutamaan injili lainnya dan, setelah karena penyelidikan, ia menyatakan mereka, dalam tindakan kanonisasi yang khusyuk, sebagai Orang Suci.
Instruksi tentang alasan kanonisasi, yang dipercayakan Pendahulu Kami Sixtus V kepada Kongregasi Suci untuk Ibadah Ilahi, yang dia sendiri telah dirikan,[3] seiring berjalannya waktu, selalu disempurnakan dengan norma-norma yang baru. Patut disebutkan secara khusus di sini adalah karya Urban VIII,[4] yang Prosper Lambertini (kemudian menjadi Benediktus XIV), berdasarkan pengalaman masa lalu, mewariskannya kepada generasi-generasi berikutnya dalam sebuah karya yang berjudul De Servorum Dei beatifιcatione et de Beatorum canonizatione (Tentang beatifikasi para Hamba Allah dan tentang kanonisasi Yang Terberkati). Karya ini berfungsi sebagai aturan Kongregasi Suci untuk Ibadah ilahi selama hampir dua abad.
Akhirnya, peraturan-peraturan ini secara substansial tergabung ke dalam KHK yang dipromulgasikan tahun 1917. Oleh karena perkembangan dalam bidang ilmu sejarah akhir-akhir ini menunjukkan pentingnya menyediakan Kongregasi yang kompeten dengan tenaga-tenaga yang lebih baik yang cocok untuk tugas itu, maka untuk menjawab secara lebih tepat kritik-kritik historis, Pendahulu Kami, Pius XI, dalam Surat Apostolik Gia da qualche tempo, disampaikan dalam bentuk motu proprio pada tanggal 6 Februari 1930, menerbitkan “Seksi Historis” dalam Kongregasi suci untuk Ibadah ilahi dan mempercayakan kepadanya study tentang alasan-alasan “historis”.[5]
Pada tanggal 4 Januari 1939, Paus Pius XI meminta agar diterbitkan Normae Servandae in Construe dis processibus Ordinarii super causis historicis (Norma yang harus diperhatikan dalam Penyusunan proses Biasa berdasarkan sejarah),[6] yang menyebabkan proses ‘apostolik’ tidak lagi diperlukan sehingga proses tunggal akhirnya hanya dilakukan dengan otoritas historis biasa dalam perkara-perkara historis.
Di dalam Surat Apostolik Sanctitas Clarior, yng dikeluarkan dalam bentuk motu proprio pada tanggal 19 Maret 1969,[7] Paus Paulus VI menyatakan bahwa bahkan dalam persoalan-persoalan akhir-akhir ini semestinya hanya ada satu proses kognitif dalam mengumpulkan bukti-bukti, yang dipimpin oleh Uskup yang mendapat mandat dari Takhta Suci.[8] Paus Paulus VI, dalam Konstitusi Apostolik Sacra Rituum Congregatio[9] yang dikeluarkan tanggal 8 Mei 1969, membentuk dua Dikasteri baru dalam Kongregasi Suci untuk Ibadah Ilahi. Yang pertama bertanggung jawab atas aturan-aturan dalam Ibadah Ilahi dan yang lain bertanggung jawab dalam perkara-perkara kanonisasi para kudus; pada saat yang sama, Paus mengubah prosedur yang harus diikuti dalam hal-hal ini.
Pengalaman yang terakhir menunjukkan kepada kita bahwa sungguh tepatlah melakukan pembaharuan lebih jauh bagaimana cara menangani perkara-perkara dan melakukan penataan Kongregasi untuk Pengelaran para kudus sehingga kita mungkin memerlukan para ahli dan kerinduan sahabat-sahabat kita, para Uskup, yang seringkali dipanggil untuk proses yang lebih sederhana sementara itu tetap mempertahankan pentingnya investigasi dalam hal yang demikian besar. Mengikuti ajaran Konsisli Vatikan II tentang kolegialitas, Kami juga berpikir bahwa para Uskup sendiri hendaknya lebih erat tergabung dengan Takhta Suci dalam hal kanonisasi para kudus. Oleh karena itu, dengan menaati semua ketentuan yang berkaitan dengan masalah ini, kita menyatakan bahwa norma-norma berikut ini memang layak untuk dipatuhi.
[1] Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium, no. 40
[2] Bdk. Ibid. no. 50
[3] Konstitusi Apostolik Imemensa Aeterni Dei, 22 Januari 1588. Bdk. Bullarium Romanum, ed. Taurinensis, t. VIII, hal. 985-999.
[4] Surat Apostolik, Caelestis Hierusalem cive, 5 Juli 1634; Urbanus VIII P.O.M. Dekrit yang harus dipatuhi dalam beatifikasi dan kanonisasi para Orang Kudus, 12 Maret 1642.
[5] AAS 22 (1930), hal. 87-88.
[6] AAS 31 (1939), hal. 174-175.
[7] AAS 61 (1969), hal. 149-153.
[8] Ibid., No. 3-4.
Baca dokumen selengkapnya di tautan ini.