Dikasteri untuk Komunikasi
VERSO UNA PIENA PRESENZA
Menuju Kehadiran Penuh
Sebuah Refleksi Pastoral
tentang Keterlibatan dengan Media Sosial
1. Langkah-langkah besar telah dibuat di era digital, tetapi salah satu dari persoalan mendesak yang masih harus diperhatikan adalah bagaimana kita, sebagai individu dan sebagai komunitas gerejawi, harus hidup di dalam dunia digital sebagai “sesama yang penuh kasih” yang benar-benar hadir dan saling penuh perhatian dalam perjalanan kita bersama di sepanjang “jalan raya digital.”
Kemajuan di bidang teknologi telah memungkinkan jenis-jenis baru interaksi manusia. Sesungguhnya, persoalannya bukan lagi apakah terlibat dengan dunia digital, tetapi bagaimana. Media sosial khususnya merupakan suatu lingkungan di mana orang-orang berinteraksi, berbagi pengalaman, dan menjalin relasi tidak seperti sebelumnya. Namun demikian, pada saat yang sama ketika komunikasi semakin dipengaruhi oleh kecerdasan buatan, muncullah kebutuhan untuk menemukan kembali perjumpaan manusiawi pada inti sesungguhnya. Lebih dari dua dekade terakhir, relasi kita dengan platform digital telah mengalami transformasi yang tak dapat diubah. Suatu kesadaran telah muncul bahwa platform digital dapat berkembang menjadi ruang-ruang yang diciptakan bersama, bukan hanya sesuatu yang kita gunakan secara pasif. Orang-orang muda – demikian juga generasi yang lebih tua – sedang meminta untuk dijumpai di mana pun mereka berada, termasuk di dalam media sosial, karena dunia digital adalah “sebuah bagian penting dari identitas dan cara hidup orang muda.”[1]
2. Banyak umat Kristiani sedang mencari inspirasi dan bimbingan karena media sosial, yang menjadi salah satu ungkapan budaya digital, telah berdampak luar biasa, baik bagi komunitas iman kita maupun perjalanan rohani individual kita.
Contoh-contoh keterlibatan yang loyal dan kreatif dalam media sosial berlimpah ruah di seluruh dunia, baik dari komunitas-komunitas lokal maupun individu-individu yang memberikan kesaksian atas iman mereka di dalam platform–platform ini, yang sering kali lebih meresap daripada Gereja secara institusional. Ada juga banyak prakarsa pastoral dan edukatif yang dikembangkan oleh Gereja-gereja lokal, gerakan-gerakan, komunitas-komunitas, kongregasi-kongregasi, universitas-universitas, dan perseorangan.
3. Gereja universal juga telah membahas realitas digital. Sejak 1967, misalnya, pesan tahunan Hari Komunikasi Sedunia telah menawarkan refleksi berkelanjutan tentang tema tersebut. Dimulai pada tahun 1990-an, pesan-pesan ini ditujukan pada penggunaan komputer dan sejak awal 2000-an, pesan-pesan itu secara konsisten telah merefleksikan aspek-aspek budaya digital dan komunikasi sosial. Dengan mengangkat persoalan-persoalan mendasar pada budaya digital, Paus Benediktus XVI, pada tahun 2009, menyampaikan perubahan-perubahan di dalam pola-pola komunikasi, dengan mengatakan bahwa media seharusnya tidak hanya mengembangkan keterhubungan di antara orang-orang, tetapi juga mendorong mereka untuk berkomitmen kepada relasi-relasi yang meningkatkan “budaya hormat, dialog dan persahabatan.”[2] Selanjutnya, Gereja memantapkan citra media sosial sebagai “ruang-ruang”, bukan hanya “sarana-sarana,” dan menyerukan agar Kabar Baik diwartakan juga di dalam ruang lingkup digital.[3] Terkait hal ini, Paus Fransiskus telah mengakui bahwa dunia digital “tidak dapat dibedakan dari lingkungan hidup sehari-hari,” dan hal itu sedang mengubah cara umat manusia menghimpun pengetahuan, menyebarluaskan informasi, serta mengembangkan relasi.[4]
4. Selain refleksi-refleksi ini, keterlibatan praktis Gereja dengan media sosial juga telah efektif.[5] Satu momen baru-baru ini dengan jelas menunjukkan bahwa media digital adalah alat yang ampuh bagi pelayanan Gereja. Pada 27 Maret 2020, pad saat masih tahap awal pandemi Covid-19, Lapangan Santo Petrus kosong, namun penuh kehadiran. Transmisi yang disiarkan lewat televisi maupun siaran langsung memungkinkan Paus Fransiskus memimpin suatu pengalaman global yang transformatif: doa dan pesan yang ditujukan kepada dunia yang sedang dalam situasi karantina (lockdown). Di tengah-tengah krisis kesehatan yang merenggut nyawa jutaan orang, masyarakat di seluruh dunia, yang dikarantina dan diisolasi, menemukan diri mereka sendiri sangat disatukan satu sama lain dan dengan penerus Santo Petrus.[6]
Melalui media tradisional dan teknologi digital, doa Paus mencapai rumah-rumah dan menyentuh hidup orang-orang di seluruh dunia. Tangan-tangan terbuka dari deretan pilar-pilar Bernini di sekeliling lapangan (Santo Petrus) mampu merangkul jutaan orang. Meskipun secara fisik berjauhan satu sama lain, mereka yang bergabung dengan Paus pada saat itu hadir bagi satu sama lain dan dapat merasakan momen persatuan dan persekutuan.
[1] Sinode para Uskup, Dokumen Akhir dari Pertemuan Pra-Sinodal dalam Persiapan Sidang Umum Biasa XV, “Orang Muda, Iman dan Disermen Panggilan,” Roma (19-24 Maret), No.4.
[2] Pesan Bapa Suci Paus Benediktus XVI bagi Hari Komunikasi Sedunia ke-43, “Teknologi Baru, Relasi Baru. Memajukan Budaya Hormat, Dialog dan Persahabatan” (24 Mei 2009). Aetatis Novae merujuk pada teknologi digital sejak tahun 1992, dan dokumen-dokumen penyerta tahun 2002 Etika dalam Internet and Gereja dalam Internet berfokus pada dampak digital internet dalam detil yang lebih besar. Akhirnya, Surat Apostolik Santo Yohanes Paulus II, Perkembangan Cepat, yang ditujukan kepada mereka yang bertanggung jawab atas komunikasi, menawarkan refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh komunikasi sosial. Selain dokumen-dokumen yang secara khusus berkenaan dengan komunikasi sosial, pada beberapa dekade terakhir ini dokumen-dokumen magisterium lainnya juga telah menyediakan bagian-bagian khusus tentang tema ini. Lihat misalnya Verbum Domini, 113; Evangelii gaudium, 62, 70, 87; Laudato si’, 47, 102–114; Gaudete et exsultate, 115; Christus Vivit, 86–90, 104–106; Fratelli tutti, 42-50).
[3] Pesan Bapa Suci Paus Benediktus XVI bagi Hari Komunikasi Sedunia ke-47, “Jaringan Sosial, Gerbang Kebenaran dan Iman, Ruang-ruang baru untuk Evangelisasi” (24 Januari 2013).
[4] Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus bagi Hari Komunikasi Sedunia ke-53, “Kita adalah sesama anggota (Ef. 4:25). Dari komunitas jaringan sosial menuju komunitas manusia” (24 Januari 2019).
[5] Vatikan membuka saluran YouTubenya yang pertama pada tahun 2008. Sejak tahun 2012, Bapa Suci telah aktif di Twitter dan sejak tahun 2016, di Instagram. Sejalan dengan hal ini, kehadiran Paus yang diperantarai secara digital telah menjadi salah satu metode keterlibatan pastoralnya, mulai dengan pesan-pesan video pada pertengahan tahun 2000-an, yang diikuti dengan konferensi video langung seperti dalam pertemuan tahun 2017 dengan para astronot dari Stasiun Luar Angkasa Internasional. Pesan video Paus tahun 2017 kepada the Super Bowl di Amerika Serikat, dan kepada TED Talks pada tahun 2017 dan 2020 hanyalah dua contoh kehadiran pastoral Paus yang diperantarai secara digital.
[6] Siaran langsung Statio Orbis pada 27 Maret 2020 menarik sekitar 6 juta pemirsa di Saluran YouTube Kabar Vatikan dan 10 juta di Facebook. Angka-angka ini belum termasuk penayangan selanjutnya dari rekaman acara tersebut atau penayangan melalui saluran-saluran media lainnya. Pada malam yang sama saat acara berlangsung, 200.000 pengikut baru bergabung dengan @Franciscus di Instagram, dan unggahan tentang acara 27 Maret 2020 tetap menjadi salah satu konten dengan interaksi yang paling banyak dalam sejarah akun tersebut.
Baca dokumen selengkapnya di tautan ini.