Legenda Pelikan yang Baik Hati

June 7, 2025

Legenda burung pelikan sebagai simbol Yesus Kristus berasal dari legenda abad pertama. Tokoh-tokoh seperti St Agustinus dan St Thomas Aquinas menyebut pelikan sebagai simbolisme Yesus yang bersedia menyerahkan diri bagi umatnya. Untuk membantu kita merenungkan lebih dalam misteri ini, kita dapat sekali lagi beralih ke spiritualitas pelikan. Pelikan sebagai simbol pengorbanan ditemukan di ornamen gereja, dekorasi busana liturgi, dan seni patung dan lukisan.

Pelican (Lat. pelecanus, Yun. pelekan) adalah burung air yang memiliki kantung di bawah paruhnya membawa makanan untuk anak-anaknya di tempat-tempat tersembunyi di dalam “kantong” di tenggorokan. Burung pelikan membengkokkan paruhnya ke dada dan memberi makan anak-anaknya dengan ikan yang dibawa ke dalam kantong tenggorokan. Dari sana bahwa burung pelikan merobek dada mereka dan memberi makan anak-anaknya dengan darah mereka sendiri. Legenda burung pelikan muncul dari pengamatan bagaimana burung dewasa memberi makan anak-anaknya.

Pada abad pertengahan, ada penafsiran baru dari kisah burung pelikan. Burung pelikan dimaknai sebagai Yesus Kristus, yang tercabik-cabik oleh dosa manusia. Anak-anak burung pelikan mematuk induk mereka sesuai dengan nubuat Yesaya dalam Alkitab tentang Yesus Kristus: “Aku membesarkan anak-anak dan mengasuh mereka, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.” (Yesaya 1:2) Namun, Yesus Kristus, seperti burung pelikan, dengan darah-Nya yang mengalir dari sisi yang tertusuk, menghidupkan kembali umat beriman kepada kehidupan baru yang penuh kasih karunia.

Kemurahan hati Tuhan tidak membiarkan manusia binasa. Ketika Dia mati, Dia membuka dada-Nya sehingga Dia dapat menghidupkan kita kembali dengan darah-Nya untuk kehidupan kekal. Tusukan induk burung pelikan di dadanya melambangkan kematian Yesus Kristus di kayu salib dan aliran darah dari sisi-Nya yang tertusuk.

Pelikan, seperti simbol anak domba, mengungkapkan kasih Yesus Kristus. Santo Agustinus tidak membahas tentang induk pelikan yang membunuh anak, namun ia hanya menyebutkan bahwa induk burung pelikan merobek dada mereka sendiri untuk memberi makan anak-anak mereka yang lapar. Santo Albertus Agung dan Santo Thomas Aquinas memakai pelikan untuk menjelaskan pengorbanan Kristus. Pada tahun 1264, Thomas Aquinas menulis himne tentang penghormatan kepada Sakramen Ekaristi dengan judul “Adoro Te”

Latin

Inggris

Indonesia

Pie pelicane, Iesu Domine,

Me immundum munda tuo sanguine:

Cuius una stilla salvum facere

Totum mundum quit ab omni scelere.

Lord Jesus, Good Pelican,

clean me, the unclean, with Your Blood,

One drop of which can heal

the entire world of all its sins.

Undan mahabaik, Yesus Tuhanku,

sucikanlah aku dengan darah-Mu:

kar’na satu titik akan s’lamatlah

s’luruh bumi ini dari dosanya.

Kisah burung pelikan dipergunakan untuk menjelaskan makna Ekaristi. Dikisahkan bahwa di suatu negeri, terjadi kelaparan yang menimpa semua orang dan semua makhluk hidup. Di negeri itu hiduplah seekor burung pelikan, yang bersedih atas kelangsungan hidup anak-anaknya.

Setelah pelikan mencari makanan selama seminggu tanpa hasil, si pelikan yang lelah dan lapar itu mendarat di sarang. Di sarang itu, lima anak burung menunggu dengan penuh semangat. Suara anak-anak burung yang lapar itu mencabik-cabik hati sang induk. Burung yang kelelahan itu terbang kembali ke langit dan kembali mencari makanan tetapi kembali dengan tangan hampa. Anak-anak burung itu menyambut induknya dengan riuh rendah. Anak-anak pelikan mematuk dada induknya.

Ia sorongkan temboloknya, seakan berkata kepada anak-anaknya, “Makanlah tubuhku, minumlah darahku!” Ia mengabaikan rasa sakit. Ia bahkan merobek dadanya dengan paruhnya, dan darah segar mulai mengalir langsung ke paruh anak-anak burung yang lapar itu. Nyawa mereka terselamatkan. Ketika kelaparan akhirnya berakhir, anak-anak burung pelikan sudah kuat dan siap untuk kehidupan baru. Burung pelikan yang baik mati sebagai kurban untuk anak-anaknya Induk Pelikan menjadi kekuatan untuk melindungi anak-anak lemah dari bahaya kematian. Legenda burung pelikan yang memberi makan anak-anak yang kelaparan dengan darahnya menjadi simbol belas kasihan, cinta tanpa pamrih, pengabdian, dan kebaikan.

Pada perinatal Hari Pangan Sedunia Tahun 2011, Uskup Agung Semarang, Monseigneur Pujasumarta juga menulis refleksi tentang burung pelikan dalam Surat Gembala yang dibacakan pada tanggal 15-16 Oktober 2011. Kisah itu dinyatakan sebagai berikut:

Di kalangan bangsa burung ada kisah tentang keluarga burung pelikan di hutan yang subur. Konon, ketika musim kemarau tiba, kekeringan terjadi. Makhluk-makhluk hutan menderita, tidak terkecuali keluarga burung pelikan. Bencana kelaparan melanda hutan tersebut. Induk pelikan tidak diam saja menyaksikan anak-anaknya hampir mati kelaparan dan kehausan. Ada suara lirih namun jelas terdengar oleh induk pelikan, “Kamu harus memberi mereka makan!” Namun, tidak tersedia makan dan minum lagi untuk mereka. Induk pelikan tidak kehilangan akal. Ia sorongkan temboloknya, seakan berkata kepada anak-anaknya, “Makanlah tubuhku, minumlah darahku!”

Tuhan Yesus, seperti burung pelikan yang penuh kasih, memberi makan anak-anak-Nya dengan daging-Nya. Yesus memberikan segalanya kepada anak-anak-Nya. Ia mati untuk memberi hidup. Melalui pengorbanan-Nya, Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah kasih. Kasih adalah memberikan diri kepada orang lain. Yesus adalah burung pelikan sejati, yang memberikan tubuh dan darah-Nya sebagai makanan bagi kita untuk hidup. Melalui simbol ini, umat diajak memasuki misteri kasih tanpa pamrih. Simbol mengungkapkan kedalaman dan kebenaran ajaran Kristiani. Gereja, yang lahir dari Hati Kristus, meneruskan dan menganugerahkan, di setiap waktu dan tempat, buah-buah dari satu sengsara penebusan itu, yang menuntun manusia kepada persatuan langsung dengan Tuhan.

 

Sumber referensi:

Remigijus Oželis, “Pelican: a Christian symbol Depicting the Sacrifice of Jesus Christ” dalam Bogoslovni vestnik 83 (2023).

Paus Fransiskus, Dilexit Nos: Ensiklik Paus Fransiskus tentang Cinta Manusiawi dan Ilahi Hati Yesus Kristus, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), 2024.

 

Romo Thomas Surya Awangga, SJ

Ketua Bidang Acara, Steering Committee