Gedangan – Minggu, 28 April 2024, sebanyak 30 peserta dari Tim Pelayanan (timpel) Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Tata Laksana Paroki Santo Yusup Gedangan, Semarang berkunjung ke Yayasan Kebaya dan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Yogyakarta untuk bersilahturahmi. Rombongan didampingi oleh Frater Wahyu, SJ yang sedang menjalani Tahun Orientasi Kerasulan di Gereja Santo Yusup Gedangan dan Ponpes Roudhotus Sholihin. Turut serta juga dalam rombongan kami Ibu Rabi’atul Adawiyah yang merupakan dosen UIN Walisongo, Semarang.
Tempat pertama yang dituju adalah Yayasan Kebaya. Di Yayasan Kebaya kami disambut hangat oleh Mami Vin dan beberapa penghuni lainnya. Yayasan Kebaya bukanlah tempat untuk memproduksi baju kebaya. Kebaya merupakan akronim dari Keluarga Besar Waria Yogyakarta. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli akan nasib transpuan penderita penyakit HIV/AIDS.
Mami Vin adalah seorang pejuang bagi mereka yang mengidap HIV/AIDS. Ia tertarik dengan HIV/AIDS karena memahaminya dan banyak belajar tentang HIV/AIDS. Ia merawat mereka yang sakit dengan ketulusan dan sukacita. Ia merasa bahwa ini adalah panggilan hidupnya. Hidup untuk melayani mereka yang terkena HIV/AIDS.
Yayasan Kebaya berdiri sejak tanggal 18 Desember 2006. Mami Vinolia yang lebih akrab disapa Mami Vin merupakan transpuan pendiri Yayasan Kebaya yang dibantu oleh Lembaga Donor. Pada awalnya, LSM Kebaya hanya berfokus pada transpuan yang mengidap penyakit HIV/AIDS saja. Seiring dengan berjalannya waktu, rumah singgah Kebaya menerima mereka yang bukan waria tetapi mengidap penyakit HIV/AIDS. Selama 17 tahun LSM Kebaya sudah merawat lebih dari 300 orang yang mengidap HIV/AIDS, baik itu transpuan, anak-anak, bapak-bapak atau ibu-ibu. Saat ini terdapat 12 orang yang tinggal di LSM Kebaya.
Perjumpaan kami dengan Mami Vin adalah perjumpaan yang penuh rahmat. Kami belajar banyak dari Mami Vin akan semangat hidup dalam pelayanan kepada sesama. Kami juga belajar akan arti kebahagiaan dalam hidup. “Hidup akan menjadi berarti jika kita dapat berarti bagi orang lain. Kebahagiaan saya adalah dapat membuat orang lain Bahagia,” ujar Mami vin.
Setelah dari Yayasan Kebaya, rombongan Gedangan melanjutkan perjalanan menuju ke Pondok Pesantren Waria Al-Fatah yang berada di Jetis, Yogyakarta. Pondok Pesantren Waria Al-Fatah merupakan tempat para transpuan belajar agama, beribadah dan mengenal kembali Tuhannya. Mereka berhak untuk beribadah dan mengenal Tuhannya.
Di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah kami disambut senyuman hangat dan sukacita dari para Pengurus, ada Bunda Rully, Mbak Yuni, Ustad Arif, pengajar dan beberapa santri transpuan. Mbak Yuni, salah satu Pengurus dari Pondok Pesantren menjelaskan kepada kami bahwa Pondok Pesantren yang kami kunjungi baru ditempati bulan Oktober 2023 yang merupakan tempat ketiga setelah di Notoyudan dan Kota Gede. Ponpes Waria ini berdiri sejak tahun 2008 dengan sekitar 15 santri transpuan.
Pondok Pesantren Waria Al-Fatah didirikan dari tujuan yang sama terkait kebutuhan akan ibadah khususnya yang Muslim tetapi tidak menutup kemungkinan yang non muslim. “Para transpuan yang non muslim tetap kita gandeng. Ponpes memfasilitasi bagi transpuan non muslim melalui Universitas Duta Wacana Kristen (UKDW) Yogyakarta, dimana di UKDW ada Kapel yang dapat digunakan untuk Ibadah,” ucap Mbak yuni kepada kami.
Ibu Rabi’atul Adawiyah mengatakan keberadaan Ponpes Waria Alfatah begitu penting dalam masyarakat sebagai wadah merangkul mereka yang memiliki kecenderungan dan pilihan hidup yang berbeda dari kebanyakan untuk tetap ber-Tuhan. Bertuhan dalam konteks Ponpes Al-Fatah adalah menjemput pencerahan, mengekspresikan keimanan dan laku spiritual yang menjadikan mereka tidak semakin jauh dari “jalan kebenaran”.
Ponpes Waria pernah akan ditutup karena waria dianggap sebagai manusia yang menyimpang dari kodrat Allah. Bahkan ada ormas yang mengatakan kemana pun kalian pergi akan kami kejar. Menurut Mbak Yuni, Allah tidak akan membeda-bedakan umat-Nya. Nilai utamanya adalah ketaqwaan yang dilakukan oleh umat-Nya. Pondok Pesantren Waria Al-Fatah tetap berdiri meskipun banyak tantangan-tantangan berat yang perlu dihadapi.
Selain Mbak Yuni, ada juga Bunda Rully Mallay yang sharing tentang keberadaan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Bunda Rully adalah salah satu aktivis transgender yang mendapat penghargaan Hero Transgender Asia Pasifik. Ia menceritakan tentang kegiatan mengaji di Pondok Pesantren yang dimulai pukul 16.00 WIB di setiap hari Minggu. Bunda Rully dan teman-teman santri transpuan masih belajar memahami ayat-ayat suci Al-Qur’an dan belajar mendekatkan diri dengan keterbatasan dan keberagaman gender dan seksualitas.
“Perjumpaan sangat penting untuk kita lakukan, perjumpaan yang menabur empati, hal ini menjadi semangat secara pribadi dan support,” ungkap Pak Ustad Arif salah satu pendamping sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Ustad Arif juga menyampaikan bahwa beliau banyak belajar dari transpuan.
Beberapa santri juga menyampaikan sharing pengalaman mereka masing-masing selama bergabung di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah ini. Sebagian besar mereka merasakan sukacita berada di Ponpes karena mendapat bimbingan rohani dalam beribadah, selain itu mereka juga merasa lebih aman dan nyaman dalam beribadah.
Tidak ada kata lain selain kata syukur atas perjumpaan umat Gedangan dengan teman-teman transpuan di LSM Kebaya dan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Perjumpaan membawa kami untuk berbagi kasih kepada sesama. Kasih dan perhatian harus dibagikan kepada semua orang tanpa terkecuali. Kasih menantang kita untuk mengesampingkan segala perbedaan. Kasih pula yang membangun jembatan dan membuat kita dekat dengan siapa pun. (Maria Devi)