“Bukan apa yang Anda capai, namun apa yang Anda atasi. Itulah yang mendefinisikan karier Anda.”Carlton Fisk

 

Melakukan setiap pekerjaan dengan hati, tentu akan berbuah kebaikan bagi setiap orang. Itulah yang diyakini oleh orang muda penuh gairah, Purnomo Widyo Nughoro. Tinggal di bukit Menoreh dan menghidupi hidup di tanah leluhur membuatnya semakin mencintai setiap apa yang ia kerjakan. Ditemui di kediamannya Desa Samigaluh, Kulon Progo, pria yang akrab disapa Chatax ini banyak bercerita kepada tim Lintas.

 

Merawat Warisan Leluhur Lewat Kopi

Keinginan untuk merawat warisan leluhur dia buktikan dengan menanam kopi di tanah kelahirannya. Gerak dalam menanam kopi ini tidak dilakukannya seorang diri. Bersama dengan rekan muda lain di desanya, Chatax seakan memberi ruang baru untuk saling bersinergi membangun desa mereka. “Awalnya dari kumpul dan bercengkrama mengenai tidak pergi dari kampung, mencintai alam sekitar dengan salah satunya ya menanam dan merawat warisan kopi ini, “ungkapnya antusias.

Diketahui, bukit Menoreh yang terletak diantara tiga wilayah yaitu Kulon Progo, Purworejo dan Magelang kini masih menyimpan peninggalan masa penjajahan Belanda berupa tanaman kopi yang ditanam sejak masa Kolonial. Meski tidak sebesar perkebunan kopi di Salatiga dan Temanggung tapi eksistensi petani kopi di wilayah Menoreh masih ada dan masih berproduksi. Hal itu juga yang diakui Chatax sebagai pemuda desa yang punya ketertarikan dalam melestarikan warisan leluhur. “Kami masih pemula, ketertarikannya sama kopi itu karena di kebon kami ada ada pohon kopi yang ditanam nenek moyang. Tapi tidak terawat. Lalu kami coba identifikasi jenisnya apa, kami tambah varietasnya saja, “jelasnya lagi.

Bagi pria 42 tahun ini, kopi yang sudah ada di kebon adalah liberica, kemudian ditambah dengan Robusta dan Arabica. Uniknya, kopi ditanam bukan di sebuah perkebunan, Chatax menyebutnya dengan sistem perkebonan. Dengan kata lain, kopi yang ada di sekitaran bukit-bukit menoreh ini bersanding dengan tanaman lainnya dalam satu kebon.
“Tidak hanya menanam, kami juga sudah mulai merawat dan memanen. Bahkan sampai ke tahap menggarap hasil panen. Masih baru, kami banyak belajar dan membangun jejaring dan kerjasama. Setidaknya apa yang kami lakukan bukan sekadar komoditas, “tegasnya.

 

Kunci Bisa Merangkul Rekan Muda Ditengah Perbedaan

Chatax mengungkapkan kopi sebenarnya adalah sebagai media yang digunakan dalam menjalin silaturahmi antar orang muda di desanya. Menyatukan visi dan merangkul orang muda desa memang bukan perkara sulit, namun juga tidak serta merta menjadi mudah. “Bisa dibilang kami kan sama-sama kaum noktural, yang biasa keluar malam suka kopi dan jagongan dan diskusi, “ tuturnya.

Chatax mengaku dirinya terus menggaungkan kepada teman-teman muda lainnya, bahwa kopi yang bukan sekadar komoditi sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar. “Bicara mengenai lingkungan, kopi termasuk tanaman cerdas, yang bisa menjaga kelembaban tanah, sedikit banyak tidak memperparah titik-titik longsor. Pada akhirnya lewat kopi yang menjadi media, ya dari situ pembicaraan kami menjadi semakin luas, “jelasnya santai.

Rekan-rekan muda yang ikut merawat kopi ada 11 orang, yang berasal dari satu dusun dan dusun lainnya. Mayoritas di wilayah Samigaluh banyak santri yang dekat dengan tradisi dengan minum kopi dan melek. Menariknya tidak hanya merawatnya dan melestarikan, Chatax bersama rekan muda lainnya mengambil langkah pasti dengan membangun jejaring dan kerjasama dengan Sedya Samahita Memetri Indonesia (Sesami) dan Pusat Studi Lingkungan Hidup. “Kami tidak hanya menanam kopinya saja, namun merawat, dan bisa panen sendiri. Karena akhirnya kami juga sudah mulai menggarap hasil panen. Masih serba baru dan tahap belajar, yang penting kami punya gerak bersama ini kopi bukan hanya sebagai komoditas, “ ujarnya meyakinkan.

Di sisi lain, bagi pria yang punya jiwa seni yang tinggi ini menegaskan bahwa kopi adalah salah satu cara mencintai lingkungan, bisa sejahtera bukan hanya dari sisi ekonominya saja, namun meningkatkan pengetahuan. Dalam arti ilmu pengetahuan orang bertambah, tidak hanya ekonomi. Hal itu menjadi keinginan bersama yang saat ini dijalankan secara perlahan namun pasti.

 

Tidak Hanya Merawat Warisan Tapi Mencintai Lingkungan

Bagi seorang Chatax dengan segala pemikiran liarnya, sebagai orang muda harus bisa menentukan sikap kedepannya akan melakukan apa. Bukan sekadar hidup secara pribadi, namun menjadi berarti bagi kehidupan banyak orang. Sebelum punya gerak dengan kopi, Chatax sudah terlebih dulu mencintai lingkungannya. Chatax juga bercerita mengenai aksi bersih sungai sebagai menjaga ekosistem alam di lingkungan sekitarnya. “Saat ini vakum dalam setahun terakhir, itu gerakan tiga tahun yang lalu yang diawali dari srawung, jagongan dan diskusi dan sampai saat ini masih berlanjut, “ cerita Chatax.

Kegiatan bersih sungai menjadi gerakan hebat waktu itu yang diikuti sampai 30 orang di setiap hari Jumat. Mulai dari membersihkan sampah di sungai dan memilah sampah-sampah tersebut. Diakui Chatax, waktu itu juga masih kampanye kecil-kecilan, belum mampu mengedukasi masyarakat secara besar-besaran. Baginya hal itu bukan kerja yang langsung jadi dalam sekejab. Menjadi rencana jangka panjang, melalui kopi juga berkaitan dengan air dan lingkungan.

 

Membangun Kesadaran Bukan Perkara Mudah

Meski vakum, itulah bagian dari dinamika sebuah komunitas berjalan. Menurut pria bertato ini yang menarik adalah bagaimana pembelajaran yang didapat saat gerakan bersama ini vakum, setiap orang punya kegelisahannya sendiri-sendiri. Tinggal bagaimana kita kembali lagi bersama, bukan persoalan satu dua orang yang bisa saja melakukannya sendirian. “Setiap kali bertemu ya diskusi, mengurai kesalahan. Ini kebutuhan, ya melihat sungai bersih sebagai sebuah kebutuhan ya ayo. Membahas dan berjejaring dengan teman-teman pencinta bersih sungai sampai ikut kongres sungai ketiga juga, “ katanya.

Pada awalnya Chatax meyakini bahwa kurangnya kesadaran akan mencintai lingkungan bukan persoalan masyarakat perkotaan saja, namun dengan wilayah yang asri dekat bukit seperti Samigaluh juga butuh perhatian lebih. “Kalau sekarang vakum kendalanya bukan bagaimana mengelola komunitas, namun bagaimana setiap individu membangun kesadaran sendiri. Ada aja kendalanya, mau bikin bak sampah segala macam ya jalan di tempat. Sempat turun tiga sampai empat orang ya bagi waktu juga, “ jelasnya lagi.

Namanya juga bagian dari perjalanan, Chatax secara pribadi juga tidak malu bercerita sampai luar kota kalau bersih sungai sedang vakum. Baginya yang penting adalah pembelajaran yang didapat, mengurai permasalahan, bukan soal drama dalam komunitas. Tinggal di sebuah desa yang terkenal dengan keindahan alamnya, tentu ada keprihatinan kalau sungainya tidak terawat. Ia menegaskan bagaimana memperbesar kemungkinan diantara sekian ketidakmungkinan.

 

“Membangun masa depan itu lama, lebih baik lama daripada tidak dibangun”_Chatax

Pria yang sehari-hari ternak ayam ini punya keyakinan besar saat bersama-sama merangkul rekan muda dalam gerakan cinta lingkungan. Apalagi saat ditanya seberapa sulit meyakinkan orang muda di desanya agar bisa bersinergi bersama dalam gerakan cinta lingkungan. Chatax meyakini bahwa susahnya juga sama persis saat membangun keyakinan pada diri sendiri. “Yakin bahwa apa yang kita lakukan itu tidak sia-sia. Sedikit banyak yang kita lakukan tidak meninggalkan pengetahuan. Susah sih enggak, saya tidak bermasalah. Masyarakat desa, ya memang harus jatuh dulu biar melambung. Kayak bola mau tinggi ya dijatuhkan dulu dengan keras, “ ucap Chatax optimis.

Gerakan dalam mencintai lingkungan memang tidak mudah, saat ini Chatax fokus untuk mempelajari kopi. Di sisi lain di setiap geraknya bersama rekan muda Chatax mempunyai syarat yang tidak kaku. Menurutnya kalau orang muda ingin maju mereka harus berani srawung. “Yang sulit sebenarnya adalah mengajak rekan muda untuk keluar. Belajar dengan orang lain diluar sana, ke komunitas lain, saling terbuka dan tidak kaku. Kamu tidak mencuri, apalagi melakukan kejahatan, tidak ada salahnya keluar batas, “ ucapnya meyakini.

Pria pencinta musik hardcorepunk ini mengakui ada harapan yang ingin diwujudkannya secara bersama. Keinginanya sederhana, Chatax terbayang nantinya setiap rekan-rekan muda bangga menjadi anak perbukitan. Khususnya di perbuktikan menoreh, sesuatu kebanggaan yang tidak semu. “Bangga bukan karena banyaknya lampu mercuri, banyak tempat indah yang Instagramable, bukan karena banyak wisatawan yang datang dan jadi ramai, dulu sepi sekarang dikunjungi wisatawan. Namun lebih dari itu, kita sebagai pemuda desa bangga karena sudah melakukan sesuatu untuk tempat tinggal kita ini, “ jelasnya sembari tersenyum.

“Saya percaya orang bangga karena ada cinta, mencintai apa yang ada dan memberikan sesuatu yang  berarti bagi apa yang dicintainya. Perjalanan selebihnya saya serahkan ke ruang dan waktu, hehehe, “ kelakar Chatax.

 

Sang Pencinta Lingkungan Jadi Vokalis Hardcorepunk

Dari apa yang ditekuninya, kehidupan Chatax tidak terlepas dari hobinya di dunia seni musik. Seakan kontras dengan aktivitasnya yang bisa disebut sebagai pemerhati lingkungan, pria yang satu ini menyeimbangkan dengan hobi bermusiknya. Bukan sembarang genre musik, Chatax mempunyai dua band, yang salah satunya bernama Amok dengan aliran perpaduan punk dan classic rock.

Tidak ada yang meyangka, kegiatannya yang dekat dengan alam dan lingkungan ini ternyata punya sisi lain yang punya kecintaan dengan aliran musik keras.

Ditambah lagi dirinya sebagai seorang vokalis ternyata di dalam lagu-lagu yang dibawakan tidak jauh bertemakan lingkungan, keresahan sebagai manusia, dan kontradiksi kehidupan dusun yang mendamba hiruk pikuk perkotaan. Kiprahnya di dunia musik dijalankannya secara seimbang sembari geraknya di lingkungan sekitar. “Semua berdasar kesadaran, bagi saya melakukan sesuatu atas dirimu itu wajib, menariknya lagi jika diluar kebutuhan pribadi kamu bisa memenuhi kebutuhan sosial, seimbang lah, “ungkap pria yang gemar akan karya novelis Iwan Simatupang ini.

Menurut Chatax, band sangat bersejarah bagi kehidupan pribadinya. Sampai saat ini disetiap bulannya ia dan personel lain tetap rutin latihan. Itulah yang ia maksud seimbang, yakni tanpa melanggar hak-hak kehidupan pribadi. Apalagi grup bandnya masih tour Jawa dan Bali.

 

“Wanio Dolan Dewe”

Di samping itu, Chatax sangat menghayati nilai-nilai kehidupan antar manusia. Salah satunya yang menggerakan hidupnya adalah pribadi Romo Mangun. Disitulah ia punya harapan khususnya bagi Orang Muda Katolik (OMK) untuk terus berjejaring dengan teman-teman diluar. “Wanio dolan dewe. Sekali tempo kamu harus pergi sendiri. Tidak salah berkumpul dengan teman-teman OMK. Tapi, kamu beranilah pergi sendiri ke tempat dimana orang tidak mengenal dirimu, apa kamu masih katolik? Ketika ditengah perbedaan, tetaplah menjadi seorang nasrani, “ pungkasnya meyakinkan.

 

Narasumber: FA. Purnomo Widyo Nugroho (Chatax)

Penulis: Vincensia Enggar L