“Allah peduli dan kita menjadi perpanjangan tangan kasih-Nya
untuk melayani”

Para Rama yang terkasih,
Masa Prapaska menjadi kesempatan bagi kita semua, seluruh umat dan para gembala, untuk bersama Tuhan Yesus Kristus menemukan kembali dan menegaskan jati diri dan panggilan serta perutusan kita sebagai murid-murid Kristus dalam Gereja-Nya. Kita diutus menjadi berkat bagi siapa pun dan apa pun. Ketika saya diminta untuk berkisah tentang impian saya berkaitan dengan formatio iman pada kesempatan Temu Pastoral 2014, saya kisahkan perjumpaan saya dengan Yesus. Sepanjang hidup-Nya dalam perjumpaan dengan orang-orang lain Yesus menemukan dan menegaskan dirinya, bahwa Dia adalah Anak Allah. Itulah yang menjadi pokok permenungan kita selama masa puasa dan pantang selama 40 hari.

Dalam hidup-Nya kita temukan pengalaman normatif akan Yang Ilahi dalam pergumulan dan penegasannya, bahwa Ia adalah Anak Allah, yang adalah BapaNya. Murid-Murid Kristus dikehendaki-Nya untuk mengikuti-Nya semakin dekat, mengenal semakin dalam, dan mencintai-Nya semakin mesra.
Tidak banyak informasi tentang tahun-tahun kehidupanNya di Nazareth. Penginjil Lukas berkisah tentang peristiwa yang terjadi pada awal masa remaja-Nya, ketika berumur 12 tahun . Peristiwa ketika Yesus tinggal di Bait Allah di Yerusalem untuk merayakan Paska sesuai dengan adat keagamaan waktu itu.

Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Memang Ia berada di Bait Allah, tetapi dalam kesadaran-Nya ia berada di rumah Bapa-Nya. Sekembali di Nazareth dinyatakan, bahwa “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (lh. Luk 2: 41-52).

Hidup-Nya di keluarga Nazareth selama 30 tahun menjadi bagian penting bagi formatio iman-Nya. Kesadaran-Nya pada Yang Ilahi sebagai pribadi yang bermakna semakin matang, dan meyakinkan-Nya untuk meninggalkan kampung halaman-Nya, Nazareth untuk pergi ke Sungai Yordan menjumpai Yohanes. Yesus tidak pergi ke istana raja untuk bertemu dengan Herodes atau Pontius Pilatus, atau pun ke kenisah di Yerusalem untuk bertemu dengan imam Agung, para imam serta ahli-ahli Taurat, tetapi ke Sungai Yordan untuk berjumpa dengan Yohanes, suara yang berseru-seru di padang gurun, mewartakan pertobatan.

Di Sungai Yordan itulah Yesus dibaptis oleh Yohanes. Dan pada peristiwa pembaptisan itu terjadilah pemakluman mengenai diriNya, ketika terdengar suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Mat 3: 13-17; Luk 3: 21-22; Mrk 1: 9-11) Pergumulan dalam hati mengenai apa maknanya menjadi Anak Allah terjadi, ketika Ia berada di padang gurun digodai oleh Iblis. Yesus menegaskan, bahwa sebagai Anak Allah Ia tidak mau menjadi tukang sulap yang dapat mengubah batu menjadi roti, tidak pula dengan mengingkari diriNya sebagai Anak Allah dengan menyembah Iblis, atau menjadi pemain akrobat yang terjun dari bubungan Bait Allah tanpa cedera. (Bdk. Mat 4:1-11; Lk 4: 1-13; Mrk 1:12-13).

Ketika Yesus dimuliakan di atas gunung jatidiri-Nya sebagai Anak Allah diteguhkan, dengan suara yang terdengar : “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” (Mat. 17:1-13; Mk. 9: 2-13; Luk. 9: 28-36). Menjadi Anak Allah diwujudkanNya secara tuntas pada saat kematian-Nya, diakui oleh kepala pasukan yang menyaksikan apa yang terjadi pada diri Yesus, ketika ia berkata, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah.” (Mat. 15:33-41; Luk. 23:44-49). Begitulah caranya Ia menyatakan dan mewujudkan diri sebagai Putera Allah, dengan bersedia mengorbankan diri demi keselamatan semua orang.

Pengalaman hidup Yesus, sebagai Putera Allah, menjadi pola formatio iman bagi setiap orang kristiani, juga bagi kita para gembala, agar menghayati iman secara cerdas, tangguh dan missioner untuk membangun persaudaraan sejati. Kita para gembala dapat melaksanakan tugas penggembalaan kita semakin berbuah bagi umat dengan menjadi panutan serta teladan nyata, bila seluruh hidup kita menjadi kesaksian iman akan Allah yang hidup. Hidup iman kita , kerukunan kita di antara para imam dapat menjadi pewartaan yang mudah ditangkap oleh umat.

Para Rama yang terkasih,
Sebagai bagian dari formatio iman tersebut selama masa Prapaska para Rama telah kami ajak untuk mengadakan gerakan spiritualitas dan pewujudan nyata di komunitas /pastoran berdasarkan inspirasi dari Bapa Suci Paus Fransiskus yang menuangkan gagasan-gagasan segar, penuh suka cita Injili, dalam Ajakan Apostolik “Evangelii Gaudium”, 24 November 2013. Perjumpaan pribadi dengan Yesus sebagai sumber sukacita karena dikasihi Allah merupakan daya kekuatan bagi perutusan untuk mewartakan kabar sukacita kepada segala makhluk. Melalui Rekoleksi Imam “Penyegaran Imamat” sebelum Misa Krisma, Senin-Selasa, 14-15 April 2014, kita olah bersama bahan pendalaman mengenai suka cita Injil dalam hidup imam yang bersaksi dengan gembira. Saya menganjurkan Ajakan Apostolik tersebut dijadikan bahan bacaan rohani, agar hidup kita disegarkan, dan pelayanan kita mendapatkan pencerahan, sehingga iman dikuatkan, harapan dimantapkan dan kasih diwujudkan dengan murah hati.

Formatio iman yang terjadi dalam kehidupan Yesus menjadi pola bagi kita juga bagaimana iman kita telah dibentuk dalam keluarga sebagai seminari dasar, maupun dalam pendidikan formal di seminari-seminari, serta berbagai pendidikan lanjut di tempat-tempat lain. Melalui orangtua dan saudari-saudara kita, para guru, dosen, formator, pembimbing dengan melibatkan umat, kita diantar untuk menerima anugerah imamat khas dengan tahbisan imamat jabatan untuk pelayanan dalam Gereja. Pembaruan janji imamat yang kita lakukan setiap tahun menjadi kesempatan bagi kita untuk bersyukur kepada Dia yang memanggil kita, dan untuk berterima kasih kepada begitu banyak orang yang telah kita jumpai dalam perjalanan panggilan kita.

Berkat sakramen-sakramen inisiasi kita semua orang beriman kristiani dipanggil menjadi anak-anak Allah dalam diri Yesus, Anak Allah. Kita dipersatukan sebagai anggota-anggota Tubuh Kristus, yaitu Gereja-Nya. Kita yang dibabtis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci. Dan, sebagai gembala umat kita juga telah dianugerahi martabat imamat yang secara khas diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (bdk. Presbyterorum Ordinis 2; Lumen Gentium 10). Dalam pribadi Kristus Kepala kita bertindak mengambil bagian dalam melaksanakan tritugas Kristus Nabi, Imam dan Gembala untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya. Berpola pada tritugas Kristus ini, Bapa-Bapa Konsili Vatikan II menguraikan fungsi-fungsi imam sebagai pelayan sabda Allah, sebagai pelayan sakramen-sakramen, dan sebagai pemimpin umat Allah (Presbyterorum Ordinis 4, 5, 6).

Hidup dan pelayanan para imam semakin berbuah, bila para imam seperti ranting-ranting tinggal dalam Kristus, pokok anggur yang benar (bdk. Yoh. 15: 1-8) . Dengan begitulah suka cita Injil dialami, sebagaimana ditegaskan oleh Bapa Suci Fransiskus, “Sukacita Injil mengisi hati dan kehidupan semua orang yang berjumpa dengan Yesus.” (Evangelii Gaudium, 1). Sukacita Injil dialami oleh murid Kristus dalam segala peristiwa kehidupan, juga bila kita siap untuk menempatkan seluruh hidup kita, bahkan untuk menjadi martir, dalam memberikan kesaksian akan Yesus Kristus. (bdk. Evangelii Gaudium, 24)

Hidup kita sebagai imam memuat pengalaman-pengalaman beraneka, yang membanggakan, maupun yang memrihatinkan. Kelemahan diri menyadarkan kita, bahwa memang hanya Allahlah kekuatan kita. Sedangkan kekuatan yang kita sadari ada pada diri kita sesungguhnya berasal dari Allah pula, yang hendaknya kita syukuri dengan rendah hati. Ancaman yang muncul dalam hidup kita dapat membuat kita justru semakin cerda
s untuk mengubah ancaman itu menjadi kesempatan, agar hidup semakin bermakna. Suka duka kehidupan membentuk kita menjadi imam yang beriman tangguh. Bila hidup sedang berada dalam terang, memang terasa semuanya lancar, namun bila sedang dalam kegelapan, toh kita menjadi lebih terlatih untuk menyalakan lilin meskipun kecil, daripada mengutuk kegelapan tersebut. Bahkan pengalaman dosa, oleh karena daya kekuatan rahmat Allah, mampu membuat hati kita menyesal, dan bertobat untuk hidup lebih baik. O, felix culpa! Dosa yang membahagikan, berkat belaskasih dan kerahiman Allah. Ibarat sebuah batu hidup kita terbentuk menjadi halus, dengan terbentur-bentur oleh peristiwa-peristiwa kehidupan. Allah dasar kehidupan kita adalah Allah yang peduli pada kita, agar tidak ada satu pun diantara kita hilang.

Para Rama yang terkasih,
Tuhan kita Yesus Kristus dalam melaksanakan tugas perutusan menghadirkan Kerajaan Allah tidak sendirian. Ia memanggil orang-orang untuk menjadi murid-murid-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Di sekitar Yesus ada kelompok 12 (Luk. 5: 12-19), di antara mereka ada tiga yang diajak-Nya mengalami peristiwa-peristiwa istimewa (Mark. 5.35- 42; Mat. 26.36- 38; Luk. 9: 28). Ada juga sejumlah orang, 70 murid diutus-Nya untuk berbagi damai dan mewartakan Kerajaan Allah (Luk. 10: 1-12). Ada juga perempuan-perempuan yang melayani-Nya (Luk. 8: 3). Terbangunlah persahabatan di antara mereka, karena Tuhan memang tidak memperlakukan mereka sebagai hamba, tetapi sebagai sahabat, seperti telah dikatakan-Nya, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh. 15:15).

Saya sebagai rekan seimamat, mengajak para Rama, mari kita pererat persahabatan di antara kita, persahabatan murid-murid Tuhan. Dalam kenyataannya di antara para imam pun terasa ada lingkaran-lingkaran intimitas dalam persahabatan. Dalam persahabatan antar-rekan seimamat kita menemukan ruang tempat kita merasa aman, ketika kita jujur terbuka satu sama lain mengutarakan isi hati dan perasaan apa adanya. Rekan-rekan setahbisan imamat merupakan lingkaran persahabatan yang meneguhkan karena memuat sejarah panggilan kita sebagai imam. Rekan-rekan sepastoran merupakan lingkaran rekan-rekan sekerja yang bisa berbeda dalam usia dan pengalaman kerja. Kehidupan bersama para imam hendaknya. menjadi kesaksian hidup umat Allah, yang kita fahami sebagai persekutuan dari paguyuban-paguyuban murid-murid Yesus Kristus. Lingkaran-lingkaran persahabatan itu dapat juga dibangun karena kesatuan wilayah, kesamaan spiritualitas, kesamaan perutusan dan penugasan. Apa pun alasan terbentuknya diharapkan hubungan kita dengan rekan-rekan seimamat bertumbuh dan berkembang menjadi persahabatan murid-murid Tuhan. Di antara para imam berkembangkan kesediaan dan kesiapan saling membantu untuk menyembuhkan luka, saling melengkapi dalam kekurangan, sehingga di antara para imam terbangun persaudaraan antar-imam. Tentang persaudaran antar-imam ini Bapa-Bapa Konsili Vatikan II menegaskan, “Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka pada tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental yang erat sekali.” (Presbyterorum Ordinis 8).

Para Rama yang terkasih,
Melalui berbagai peristiwa kehidupan tersebut bersama dan melalui rekan-rekan seimamat dan banyak orang lain Allah membentuk dan melatih kita, agar kita menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk melayani dengan menjadi gembala baik, yang mengenal “bau domba”, yang hidupnya juga mengalami peristiwa yang beraneka. Dalam menapaki perjalanan hidup ini tidak sedikit orang yang seperti domba berbau anyir karena luka-luka yang diderita karena penyakit, kemiskinan, serta terpuruk oleh berbagai masalah yang merusak kehidupan. Mutu kepedulian kita para gembala pada korban ditentukan juga oleh pengalaman sendiri sebagai yang terluka, untuk menyembuhkan yang terluka. Gembala yang baik dengan sukacita meninggalkan tempat nyaman, dan bersedia “blusukan” mencari yang hilang. Dan seperti orang Samaria yang baik hatinya tergerak oleh belaskasih peduli merawat mereka yang menjadi korban dalam perjalanan hidup.

Kita para imam yang hidup dan berkarya di Keuskupan Agung Semarang ini ditetapkan sebagai bagian dari Gereja Papa Miskin. Saya berharap dengan demikian kita sebagai bagian dari Gereja Keuskupan Agung Semarang tidak sekedar menyandang nama Gereja Papa Miskin, tetap benar-benar menjadi Gereja Papa Miskin. Bila tidak demikian, maka Gereja Keuskupan Agung Semarang kehilangan jati dirinya sebagai Gereja Papa Miskin. Dengan kata-kata Bapa Suci Fransiskus, kita diteguhkan untuk berani menyatakan keinginan kita, “Saya ingin Gereja yang papa miskin dan untuk mereka yang papa miskin. Mereka memiliki banyak hal untuk mengajari kita. Mereka tidak hanya berbagi dalam rasa iman, tetapi dalam kesulitan mereka mengenali sengsara Kristus. Kita perlu membiarkan diri kita diinjili oleh mereka. Evangelisasi baru adalah ajakan untuk mengakui daya penyelamatan yang sedang bekerja dalam hidup mereka, dan menempatkan mereka pada pusat peziarahan Gereja. Kita dipanggil untuk menemukan Kristus di dalam mereka, untuk menyuarakan perkara-perkara mereka, juga menjadi teman mereka, mendengarkan mereka, untuk bersuara bagi mereka, dan merengkuh kebijaksanan penuh misteri yang dikehendaki Allah dibagikan kepada kita melalui mereka.” (Evangelii Gaudium 198).

Marilah kita mewujudkan Gereja papa miskin dalam hidup kita secara nyata, dalam sikap kita yang dengan rendah hati mengandalkan Tuhan, yang tulus dan bersukacita melayani umat dengan sungguh-sungguh, yang bertangguhjawab dalam melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada kita. Apabila kita telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepada kita, hendaklah kita berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk. 17: 10)

Para Rama yang terkasih,
Marilah kita berdoa bagi rekan-rekan imam, yang karena berbagai alasan, sakit atau usia lanjut, yang meskipun tidak lagi melaksanakan tugas pastoral, tetap menjadi pendoa bagi kita.

Kita mohon kepada Tuhan, agar Ia senantiasa memanggil anak-anak untuk menjadi imam, dan memberikan gembala-gembala kepada umat-Nya,. Semoga hidup kita sendiri sebagai imam tetap memikat dan memantapkan para calon untuk tekun belajar, merawat benih panggilan, agar benih panggilan itu berakar mendalam, mekar dan berbuah pada kehendak kuat, yaitu hasrat yang murni pada imamat, “namung satunggal esti imam Dalem Gusti”.

Semoga Maria, hamba Allah dan bunda Gereja, bunda para imam mendampingi kita, agar kita bersukacita mewartakan Injil kepada segala makhluk. Salam, doa dan Berkah Dalem,

Semarang, 9 April 2014

+ Johannes Pujasumarta
Uskup Agung Semarang