dibacakan pada Sabtu-Minggu, 17-18 Agustus 2013
“Mengisi Kemerdekaan Dengan Peradaban Kasih.”
Saudari dan saudaraku terkasih dalam Tuhan,
1. Pada tanggal 17 Agustus 2013 kita rayakan Hari Raya Kemerdekaan Indonesia yang ke-68. Kita bersyukur karena kemerdekaan telah dikaruniakan kepada bangsa Indonesia atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa. Kemerdekaan sebagai rahmat Allah diakui pula oleh pejuang kemerdekaan negeri ini dengan menyatakannya dalam naskah Pembukaan UUD 1945 “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pada Hari Raya Kemerdekaan ini kita ingin menegaskan lagi, bahwa kemerdekaan bangsa ini terjadi berkat rahmat Allah yang Mahakuasa. Dengan demikian, sejarah bangsa kita pun menjadi bagian dari sejarah keselamatan Allah. Cinta kepada tanah air merupakan tanggungjawab sejarah untuk mengisi kemerdekaan dengan peradaban kasih.
2. Kita juga bersyukur, bahwa pendiri negeri ini membangun suatu sikap yang arif dan bijaksana dalam memperjuangkan dan melestarikan kemerdekaan Indonesia. Sungguh arif dan bijaksanalah, bila para pemimpin negeri ini mengemban kekuasaan negara untuk melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, yakni dengan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana dituangkan dalam prinsip dasar kehidupan negara ini, yakni dalam sila-sila Pancasila.
Apa yang bisa kita lakukan?
3. Sepanjang perjalanan 68 tahun, negeri ini memang telah mengalami banyak kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan. Kita saksikan kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan tehnologi yang berdampak dalam kehidupan masyarakat kita. Fasilitas-fasilitas kehidupan modern bagi kehidupan dewasa ini tersedia, dan tidak ketinggalan dari negara-negara sekitarnya. Namun, kita bisa bertanya, untuk siapa kemajuan itu? Bila kesejahteraan tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia, berarti nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 belum terwujud semestinya. Apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan cinta kita kepada tanah air kita?
Ketika negara ini membutuhkan keterlibatan warganya untuk mengisi kemerdekaan, apakah kita peduli pada negeri ini? Jangan sampai kita ikut merusak negeri ini, tanpa malu melanggar hukum dengan terang-terangan, memperparah sakit masyarakat sehingga mati rasa terhadap nilai-nilai moral dan etika. Kita berprihatin, dari waktu ke waktu semakin lemah tenggang rasa antar warga, bahkan agama pun bisa dijadikan alasan untuk membenci, dan dengan kekerasan melukai kerukunan hidup bertetangga warga masyarakat. Ternyata kita belum merdeka dari kuasa dosa yang merajalela di negeri ini.
Kita sadari, bahwa kita masih belum terlibat tuntas mengelola kemerdekaan karena belum sungguh-sungguh mewujudkan cinta kepada tanah air kita.
Mengisi kemerdekaan dengan mempertahankan Pancasila
4. Bagi kita para murid Kristus, keteladanan Tuhan Yesus Kristus sebagai penegak kebenaran dan pengajar kebajikan menjadi pegangan utama untuk mewujudkan cinta kepada tanahair dan setia mengisi kemerdekaan Indonesia. Cinta kepada tanahair terwujud dalam kesungguhan kita untuk mempertahakan Pancasila dan UUD 1945. Kesungguhan kita teruji karena dewasa ini kita sadari pula ada usaha-usaha untuk merongrong dasar Negara itu. Kalau dasar Negara rapuh, akan tumbanglah bangunan Negara Republik Indonesia ini.
Dengan cinta kepada tanahair, umat Katolik memilih untuk mengisi kemerdekaan dengan rela melakukan apa yang baik (bdk. 1Ptr 2:13-17), yaitu dengan: membangun persaudaraan – bukan menceraiberaikan; menghormati sesama – bukan merendahkan; mengasihi sesama – bukan menyingkirkan orang lain karena berbeda suku, agama, ras dan golongan. Umat Katolik sebagai warga Negara yang bertanggungjawab memberikan apa yang wajib diberikan kepada Negara, dan kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah (bdk. Mat 22:21).
Agustus Bulan Ajaran Sosial Gereja
5. Saudara-saudariku terkasih,
Untuk merawat kesadaran kita, bahwa sejarah bangsa kita pun menjadi bagian dari sejarah keselamatan Allah, kita jadikan bulan Agustus sebagai Bulan Ajaran Sosial Gereja. Pesan pokok Ajaran Sosial Gereja adalah pesan bagi kita semua untuk membangun peradaban kasih.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan ajaran penting dari Bapa Suci Paus Fransiskus, yang ditulisnya dalam Ensiklik “Lumen Fidei”, Terang Iman, 29 Juni 2013. Bapa Suci menyatakan, bahwa iman adalah terang yang khas, yang mampu menyalakan setiap aspek kehidupan manusia. Bapa Suci menyadarkan kita, semakin kita beriman secara benar, semakin kita tidak melupakan penderitaan dunia, tetapi semakin kita membuka diri pada kenyataan kegelapan dengan kehadiran yang selalu mendampingi, membangun sebuah sejarah kebaikan yang menyentuh setiap kisah penderitaan manusia pada zaman kita.
Kita harus berani menyatakan, bahwa iman akan Kristus adalah sungguh-sungguh baik untuk pembangunan negara ini karena akan menghadirkan terang bagi kebaikan bersama. Iman Katolik justru akan membantu membangun masyarakat kita sedemikian rupa, sehingga bangsa ini dapat melakukan perjalanan menuju masa depan penuh pengharapan. Bapa Suci mengingatkan kita, agar kita mewujudkan iman kita semakin menjadi berkat bagi seluruh bangsa.
Demikian pula sebagaimana diungkapkan dalam semangat ARDAS KAS 2011-2015, bahwa iman yang mendalam dan tangguh akan semakin signifikan dan relevan dalam kehidupan kita sebagai warga Gereja dan masyarakat. Tanggungjawab kita mengisi kemerdekaan dan mewujudkan pembaruan dalam tindakan keterlibatan yang nyata sebagaimana dirumuskan dalam 4 pilar ARDAS KAS, merupakan perwujudan iman akan Allah yang Mahakuasa dan cinta kepada tanah air.
Membangun peradaban kasih
6. Saudara-saudariku terkasih,
Saya mengajak Anda sekalian, umat Allah di Keuskupan Agung Semarang, agar mengisi kemerdekaan dengan membangun peradaban kasih. Untuk itu hendaknya (1) sejak dalam keluarga perlu ditumbuh-kembangkan rasa cinta kepada sesama dan lingkungan kehidupan di mana Anda berada, agar anak-anak yang kita cintai hidup dalam “peradaban kasih” , memiliki rasa handarbeni (rasa memiliki) dan dimiliki negeri ini. Selanjutnya (2) lembaga-lembaga pendidikan formal perlu mengajarkan pendidikan kebangsaan dan “pendidikan peradaban kasih” yang terencana sebagai isi dari ”Sekolah Cinta Kasih”, agar memahami nilai-nilai dasar Pancasila dan Ajaran Sosial Gereja. Melalui pendidikan formal yang baik, saya berharap, generasi muda makin memiliki pegangan moral untuk terlibat membangun “peradaban kasih” di negeri tercinta ini. (3) Sangat penting pula bidang-bidang pelayanan dalam Dewan Paroki memberikan ruang dan perhatian khusus bagi kaderisasi agar umat Katolik siap sedia menjadi patriot sejati. Dan tentu saja (4) masyarakat sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya pribadi perlu menghembuskan atmosfir yang mendukung suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan benar, Hendaknya kita berani berpegang pada prinsip hidup yang mengutamakan kesejahteraan umum, dengan menghidupi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai perwujudan cinta kita kepada tanahair secara kritis dan bertanggungjawab.
7. Menuju PEMILU 2014 marilah kita belajar terus agar mampu memaknai peristiwa-peristiwa bangsa sebagai tanda-tanda zaman dalam terang Ajaran Sosial Gereja. Dengan bimbingan hati nurani yang terdidik secara benar kita akan menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menentukan pemimpin negeri ini. Dengan demikian kita akan mampu memilih pemimpin yang arif dan bijaksana, rendah hati namun sigap, tegas dan kreatif mengupayakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
8. Akhirnya, marilah kita yang tinggal di negeri ini, yang memiliki tanggungjawab sejarah pada negeri ini, yang dihidupi Tuhan dalam negeri ini, mencintainya, mengisinya dengan kemerdekaan sejati, dengan melakukan segala perbuatan baik yang menghasilkan kebaikan bagi semua.
Selamat dan proficiat atas kemerdekaan yang dikaruniakan Allah kepada kita. Selamat mengisi kemerdekaan den
gan peradaban kasih. Dirgahayu, Indonesia! Salam, doa dan Berkah Dalem.
Semarang, 15 Agustus 2013
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang