dibacakan pada hari menjelang atau pada Hari Raya Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2012
“Memerdekakan dan membebaskan yang miskin”
Saudari dan saudaraku terkasih dalam Tuhan, salam kasih Tuhan yang memerdekakan dan membebaskan kita.
Pada tanggal 17 Agustus 2012 kita bersyukur atas Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia ke 67. Saya mengajak seluruh umat Katolik Keuskupan Agung Semarang untuk bersyukur atas rahmat kemerdekaan dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan bagi kita semua di negeri ini.
Banyak pribadi atau kelompok masyarakat, dan instansi pemerintah yang merayakan hari syukur ini dengan memasang hiasan-hiasan manis di dalam rumah maupun di luar rumah, di kantor-kantor, dalam kendaraan maupun di dalam alat-alat komunikasi elektronik. Sebagian sungguh menghayati syukur atas kemerdekaan ini, sedangkan sebagian lagi masih sangat mempertanyakan arti perayaan kemerdekaan ini.
67 tahun yang lalu, pada 17 Agustus 1945, para pendiri Republik ini memang telah berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Merdeka berarti bebas atau lepas dari berbagai ikatan atau belenggu. Mulai saat itu Indonesia telah menjadi bangsa yang berdaulat, semartabat serta setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Secara yuridis, kita memang bangsa berdaulat yang bebas dari tekanan kolonialisme dan imperialisme bangsa lain. Namun tak bisa dipungkiri, bahwa setelah 67 tahun merdeka, tidak sedikit dari kalangan generasi sekarang yang bertanya “Sungguhkah seperti ini kemerdekaan yang kita rayakan?” Kehidupan bangsa ini masih diwarnai banyak hal yang memprihatinkan. Bangsa kita masih terjajah oleh kebodohan dan kemiskinan. Negeri yang merdeka ini sesungguhnya negeri yang kaya raya, subur, makmur, berlimpah tambang
dan hasil bumi. Namun negeri ini masih begitu miskin dalam kesejahteraan rakyatnya.
Dalam tahun yang ke 67 ini Indonesia masih mengalami krisis kemiskinan yang multi-dimensional.
1. Kemiskinan dan pengangguran di masyarakat.
Saat ini masih banyak orang yang semakin susah mencari pekerjaan. Bahkan orang yang sebelumnya sudah bekerja, tak sedikit mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya tidak sedikit yang terpaksa menjadi gelandangan, pengemis, pengamen, pencuri, pemulung dan lain-lain. Di beberapa kota besar, paradigma dan praktik pembangunan bercorak neo-liberalisme yang ditempuh pemerintah ternyata membuahkan kondisi peminggiran dalam masyarakat. Karena itu, tidak mengherankan kalau peminggiran dan penindasan ekonomi juga menyebabkan konflik di masyarakat serta menimbulkan problem-problem sosial-ekonomi lainnya.
Sementara upaya pemerintah belum optimal untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan, korban yang telah menjadi miskin bahkan dianggap mengotori wajah kota. Tak mengherankan jika pemerintah melalui aparatnya seringkali “menertibkan” mereka, bukan hanya gelandangan dan pengemis, tapi juga pengamen dan kadang juga pedagang kaki lima. Di beberapa daerah, operasi penertiban ini telah dilakukan semena-mena dan kurang berperikemanusiaan.
Mengenai hal ini, pemerintah dan para pengusaha di zaman kemerdekaan ini perlu mengembangkan pola membangun tanpa menggusur, dan mengembangkan solidaritas cinta untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di masyarakat.
2. Kemiskinan dan kejahatan
Tindakan kejahatan merupakan suguhan bagi kita sehari-hari, yang bisa dilihat secara tak langsung dari berita di berbagai media. Setiap hari kita mendapatkan sajian berita tentang tindakan kejahatan, bahkan disertai kekerasan, yang tidak makin berkurang tetapi bahkan semakin bertambah. Kejahatan saat ini telah merusak seluruh dimensi, bukan saja milik kaum tua dan dewasa, namun sudah merambah dalam dunia anak-anak. Bukan hanya kaum laki-laki, namun juga kaum perempuan. Bukan hanya di dalam dunia hitam, bahkan dalam diri kelompok yang memandang diri orang benar. Bukan saja mereka yang tak ber-relasi SARA, melainkan juga yang satu saudara, satu suku dan satu iman. Sementara itu pembiaran kekerasan oleh pihak aparat dan pemerintah terus melambung jumlah kasusnya.
Kemiskinan tentu tidak diharapkan oleh setiap orang, bahkan dianggap sebagai ”musibah”. Bukan hanya sekedar “musibah” biasa, tetapi kalau kemiskinan tidak digarap secara benar, maka akan menimbulkan dampak buruk, dan menambah banyaknya kekerasan di masyarakat, sehingga menjadi ”musibah” berikutnya. Kita mengamati bahwa kejahatan tidak semata-mata disebabkan oleh kurangnya penghayatan agama atau moral masyarakat, karena tidak sedikit tindakan kejahatan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak aman.
Mengenai hal ini, pihak aparat dan pemerintahan di zaman merdeka perlu semakin tegas dan bijaksana untuk mengatasi kejahatan dan kekerasan, baik fisik maupun teror mental.
3. Kemiskinan dan premanisme politik.
Kemiskinan sering dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk membela kepentingannya sendiri. Banyaknya orang miskin, para penganggur dan semaraknya preman-preman, kadangkala dimobilisasi oleh kekuatan politik, baik pemerintah daerah maupun kelompok politik lain. Mereka dilembagakan untuk mobilisasi kekuatan politik. Kaum miskin menjadi komoditi murahan untuk iklan menjelang pemilu, dengan menebar janji-janji kosong yang tak terbukti dan menyesatkan.
Tindakan-tindakan anarkis politis yang diwarnai sentimen-sentimen rasialisme yang semarak akhir-akhir ini, harus dipahami sebagai akibat dari ketidakmampuan masyarakat terpinggirkan dalam menerjemahkan kondisi ketertindasan ekonomi politik mereka. Dengan demikian, tak jarang kalau mereka digunakan oleh kekuatan rezim dan kekuatan politik tertentu sebagai alat represi dan mobilisasi massa demi kepentingan elitis.
Mengenai hal ini, masyakarakat yang merdeka perlu belajar menjadi anak bangsa yang cerdas, agar dalam setiap pemilu mampu memilih pemimpin yang benar dan berkualitas sejati.
4. Kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi global.
Di era globalisasi ini, banyak bermunculan lembaga-lembaga konsumsi yang menawarkan rayuan-rayuan kepada masyarakat untuk membelinya. Gaya hidup yang semakin hedonis membuat masyarakat juga semakin tergoda untuk mengkonsumsi dan mengadopsinya. Sementara pemerintah kelihatan tergopoh-gopoh untuk mengatasi dan menyelamatkan masyarakat.
Mengenai hal ini, masyarakat di era merdeka dan zaman modern ini perlu bijak dan pandai dalam menjalani kehidupan dalam persaingan global, agar tidak terseret arus dan hanyut tertelan samodera kesesatan.
Saudari dan saudaraku terkasih,
Melihat situasi bangsa yang memprihatinkan ini, tentu saja tidak perlu membuat kita patah semangat, melainkan marilah kita membangun harapan akan masa depan bangsa yang baik dengan memerdekakan dan membebaskan yang miskin.
Kemiskinan dan akibat yang ditimbulkannya bukan batu yang menghalangi kita untuk melangkah menuju kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan suatu panggilan untuk membuat sesuatu dalam pelayanan yang terprogram di mana kita dipanggil dan diutus.
Bacaan-bacaan firman Tuhan pada Hari Raya Kemerdekaan, mengajak kita sebagai anak Tuhan dan anak dari negeri Indonesia ini untuk bertindak selalu dalam kebajikan.
1. Pemerintah diajak, agar bijak menjamin ketertiban dalam masyarakat (bdk. Sirakh 10:1-8).
2. Rakyat semuanya diajak, agar hidup sebagai orang-orang merdeka (bdk. 1Petrus 2:13-17), dan mengabdi satu sama lain dalam cinta kasih (ulangan Mazmur Tanggapan)
3. Semua pihak yang hidup di negeri ini diajak, agar melaksanakan tugas dan tanggungjawab panggilannya secara benar (bdk. Matius 22:15-21)
Jika pada zaman kita gejala sektarianisme dan radikalisme semakin meningkat, maka semua pihak harus menjaga dan mencintai seluruh isi negeri ini dengan segala kemajemukan dan keberagamannya dengan hidup bersaudara dengan damai serta saling mengembangkan cinta kasih.
Kondisi kemiskinan akibat globalisasi barangkali adalah landasan sosial yang menyebabkan radikalisme dan sektarianisme tumbuh secara cepat. Kesulitan hidup membuat masyarakat tidak lagi mampu berpikir objektif dan demokratis. Tak mengherankan jika sebab-sebab terancamnya kerukunan tentunya juga telah terbukti muncul dalam sejarah, ketika pertikaian dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan.
Ketimpangan ekonomi sering memunculkan sentimen-sentimen rasial, keberagamaan, dan kesukuan. Dari sini jelas bahwa masing-masing komunitas kultural akan dapat hidup rukun, jika dalam hubungan materialnya, pengalaman-pengalaman interaksi konkretnya diwarnai dengan hubungan saling menghargai dan mengembangkan. Dalam arti ada kerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup dan bersama-sama mewujudkan kemasyarakatan yang lebih baik, sehingga kita tidak terjebak dalam kemerdekaan yang cenderung semu. Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan dari rasa takut sehingga kita dapat merasa bahwa Indonesia adalah milik kita bersama.
Kalau kembali kita mengikuti tirakatan, doa di taman makam pahlawan, upacara bendera dan kegiatan-kegiatan kenegaraan pada hari syukur ini, marilah kita hayati rasa cinta kita pada bangsa Indonesia, dan keberadaan kita sebagai pelaku sejarah saat ini. Marilah kita rawat anugerah Allah ini sehingga semakin membawa makna yang signifikan dan relevan pada zaman ini.
Umat Katolik Indonesia harus menjadi pelopor yang mencintai negeri ini, seluruh pulaunya agar tidak rusak dan memiskinkan
masa depan anak-anak kita. Jiwa Pancasila perlu kita pertahankan agar kehidupan yang benar, adil dan damai sejahtera melingkupi bangsa ini. Dan ”Bhinneka Tunggal Ika” perlu diwujudnyatakan untuk mengembangkan persaudaraan dengan semangat saling mengasihi dan menghormati.
Kita dilahirkan di negeri ini
Kita dihidupi di negeri ini
Kita dibesarkan di negeri ini
Mari kita cintai,
Mari kita rawat,
Mari kita jaga keutuhannya,
Mari kita lestarikan kekayaannya,
Mari kita kembangkan keindahannya.
Sekali merdeka, tetap merdeka.
Salam, doa dan Berkah Dalem.
Semarang, 10 Agustus 2012
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Agung Semarang