Dibacakan/diterangkan, Sabtu-Minggu, 15-16 Oktober  2016

“Penguatan Pangan Berbasis Keluarga”

Saudari-saudaraku yang terkasih
Dua tahun terakhir ini, pembicaraan tentang keluarga menjadi salah satu pokok perhatian Gereja. Tahun 2014 dan 2015 diadakan sinode para uskup sedunia di Roma, membahas tentang keluarga. Sidang KWI November 2015 diawali dengan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) memberi perhatian tentang keluarga: “Keluarga Katolik: Sukacita Injil, Panggilan dan Perutusan Keluarga dalam Gereja dan Masyarakat Indonesia yang Majemuk”. Keluarga sebagai “sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (Familiaris Consortio 42) dan “sekolah kemanusiaan” (Gaudium et Spes 52) menjadi tempat pertama seseorang belajar hidup bersama orang lain serta menerima nilai-nilai luhur dan warisan iman. Di situlah seseorang menjadi pribadi matang yang menggemakan kemuliaan Allah. Keluarga katolik menjadi tempat utama, dimana doa diajarkan, perjumpaan dengan Allah yang membawa sukacita dialami, iman ditumbuhkan, dan keutamaan-keutamaan ditanamkan.

Sebagai tindak lanjut dari sinode para Uskup sedunia, Bapa Suci Fransiskus menerbitkan anjuran apostolik “AMORIS LAETITIA – SUKACITA CINTA DALAM KELUARGA”, pada Hari Raya St. Yusuf, 19 Maret 2016. Dalam keluargalah kehidupan rohani dan iman seseorang dimatangkan, kehidupan sosial anggota keluarga semakin dimatangkan seiring dengan perkembangan hidup beriman. Dan salah satu nilai rohani atau kebiasaan yang didapat seseorang dari keluarga adalah hidup doa.

Bacaan-bacaan hari ini menegaskan arti pentingnya hidup doa yang tekun. Yesus menyampaikan perumpamaan kepada para murid-Nya untuk menegaskan bahwa mereka harus selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu (Lukas 18:1-8). Doa yang tidak jemu-jemu itu diharapkan semakin mendorong orang untuk selalu bersatu dengan Allah dan merasakan kerahiman-Nya. Dari relasi dengan Allah yang mendalam tersebut berbuahlah bagi pelayanan kepada sesama dan suburnya solidaritas kemanusiaan.

Kita dapat mewujudkan solidaritas dalam berbagai macam hal dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah solidaritas pangan. Solidaritas pangan menjadi ciri peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang selalu kita peringati tanggal 16 Oktober. Peringatan HPS pada tahun 2016 ini mengangkat tema “Penguatan Pangan Berbasis Keluarga”. Keluarga tidak hanya dijadikan tempat untuk menggembleng iman namun keluarga menjadi tempat untuk membangun kesadaran tentang pentingnya kecukupan pangan keluarga yang sehat dan lestari. Dengan kecukupan dan ketersediaan pangan, keluarga dapat mengembangkan sikap dan tindakan nyata solidaritas melalui berbagi pangan bagi orang-orang yang membutuhkan terutama yang kelaparan atau kekurangan gizi. Kita dapat mengembangkan sikap melawan konsumerisme dan hedonisme. Kita harus berani berkata “cukup” sebagai upaya untuk membendung arus besar keserakahan. Ketika kita makan, kita ingat akan petani yang menyediakan beras serta sayuran, ingat nelayan atau peternak yang mengusahakan ketersediaan ikan dan daging. Lebih-lebih, ketika makan, kita harus ingat akan saudari-saudara kita yang masih menderita kelaparan. Kita tidak hanya mengingatnya, namun kita harus berani mewujudkan sabda Yesus, ”Kamu harus memberi mereka makan!” (Mrk. 6:37). Bahkan Bapa Suci Fransiskus dengan tegas mengatakan, ”Ketika kamu tidak menghabiskan makananmu, membuang-buang makanan, itu sama dengan merampok harta orang miskin” (homili pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia PBB, 5 Juni 2013).

Masih banyak orang-orang yang belum tercukupi kebutuhan yang paling dasar, yaitu makanan. Sementara di satu sisi ada yang berlimpah-limpah makanannya bahkan tidak jarang pula orang membiarkan makanannya disimpan bahkan terlupakan di almari sampai tidak layak untuk dimakan. Masih banyak budaya menumpuk makanan, tidak peduli akan kelaparan yang melanda sesamanya. Rencana Induk KAS 2016-2035 mengajak kita untuk menjadi pelopor peradaban kasih agar terwujud masyarakat Indonesia yang sejahtera, bermartabat dan beriman. Salah satu ukuran kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan paling dasar, yaitu makanan.

Gerak Bersama: Membangun Ecclesia Domestica di Indonesia (Hasil SAGKI 2015)
Saudari-saudaraku yang terkasih
“Keluarga merupakan buah dan sekaligus tanda kesuburan adikodrati Gereja serta memiliki ikatan mendalam, sehingga keluarga disebut sebagai Gereja Rumah-Tangga (ecclesia domestica). Sebutan ini sudah pasti memperlihatkan eratnya pertalian antara Gereja dan keluarga, tetapi juga menegaskan fungsi keluarga sebagai bentuk terkecil dari Gereja. Dengan caranya yang khas keluarga ikut mengambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yaitu karya keselamatan Allah” (Pedoman Pastoral Keluarga KWI 2010, No 6). Sebagai Gereja Rumah-Tangga, keluarga menjadi pusat iman, pewartaan iman, pembinaan kebajikan, dan kasih kristiani dengan mengikuti cara hidup Gereja Perdana (Kis 2: 41-47; 4: 32-37). Gereja Rumah-Tangga mengambil bagian dalam tiga fungsi imamat umum Yesus Kristus, yaitu guru untuk mengajar, imam untuk menguduskan, dan gembala untuk memimpin. Gereja Rumah-Tangga di Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai kristiani yang diwujudkan dalam masyarakat yang majemuk.

Gereja dipanggil untuk menunjukkan wajah Allah yang murah hati dan berbelas kasih melalui pelayanan, terutama kepada mereka yang paling lemah, rapuh, terluka, dan menderita. Kerahiman Allah tidak pernah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, tetapi bergerak melampauinya karena “Allah adalah kasih” (1Yoh 4: 8). Sukacita keluarga dialami secara relasional saat menjalin perjumpaan dan kebersamaan hidup yang bermutu, mempererat relasi kasih, saling memaafkan, menunjukkan sikap tenggang-rasa dan keberanian berkorban, serta sadar akan tanggungjawab pada generasi selanjutnya. Sukacita keluarga dialami secara sosial melalui kepedulian terhadap orang lain, pelayanan tulus terhadap sesama, pekerjaan sesuai panggilan, dan keteladanan hidup. Sukacita makin sempurna saat keluarga disapa dan diteguhkan oleh Gereja dalam pelayanannya.

Saudari-saudaraku yang terkasih
Dalam Bulan Oktober ini selain kita memaknai HPS, juga bulan Rosario dan Bulan Misi. Ujud Misi/Evangelisasi: “Semoga dalam semua komunitas Kristiani, Hari Misi sedunia memperbarui kegem-biraan Injil dan tanggungjawab mereka untuk mewarta¬kannya”. Sedangkan ujud Gereja Indonesia: “Semoga keluarga bersama sekolah dan Gereja bertekun dalam menumbuh¬kan dan membiasakan hidup doa bagi anak-anak muda”. Hal ini sejalan dengan ajakan Tuhan kita Yesus Kristus, untuk tiada jemu berdoa. Dalam untaian doa rosario, kita juga berdoa untuk para misionaris sebagai sikap ambil bagian dalam tugas misi. Lima tahun terakhir ini, ada gelar budaya dan juga diselenggarakan edukasi misi di Musium Misi Muntilan, kiranya kegiatan serupa dapat diselenggarakan di tempat lain.

Melalui peringatan Hari Pangan Sedunia dan Bulan Misi ini, marilah kita bersyukur atas segala kelimpahan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Semakin kuat hidup doa kita, akan semakin kuat pula daya dorong untuk peduli kepada sanak saudara yang kekurangan dan kelaparan. Semakin nyata ambil bagian dalam tugas misioner Gereja mewartakan Sukacita Injil. Semoga keluarga-keluarga, komunitas religius – pastoran dan seminari, juga paguyuban yang hidup di paroki, rayon atau kevikepan; menjadi sarana penguatan pangan dan solidaritas bagi semua. Tuhan – Sumber Kebaikan dan Kerahiman, melimpahkan berkat-Nya untuk kita semua.

Semarang, 4 Oktober 2016, peringatan St. Fransiskus Assisi
pada Tahun Yubileum Luar Biasa Kerahiman Allah.
Dalam kesatuan dengan Kolegium Konsultor KAS

Franciscus Xaverius Sukendar Wignyosumarta, Pr
Administrator Diosesan Keuskupan Agung Semarang