Narsis seolah sudah menjadi bagian takterpisahkan dalam hidup manusia. Kata itu kini berganti menjadi selfie atau swafoto (ilustrasi: dok. pri)

 

Kata narsis adalah kata yang demikian populer. Mulai dari anak-anak, remaja, orang muda, sampai orang tua menggunakan kata ini. Saking banyaknya pengguna kata narsis, mungkin pemahaman kata ini pun mengalami pergeseran. Masing-masing mengartikan kata narsis secara berbeda. Lepas dari perbedaan persepsi tentang makna dan arti narsis, tampaknya budaya narsis itu sendiri telah menjadi sebuah gaya hidup yang mewabah. Budaya cinta diri sendiri dan mengagungkan diri telah menjadi virus. Akibatnya, kehidupan manusia terkotak pada tempurungnya sendiri. Kehidupan sosial mulai terabaikan.

Mulanya, kata narsis hendak menunjuk kecintaan yang berlebih pada diri sendiri. Kata ini berasal dari sebuah mitos Yunani kuno. Seorang cowok yang demikian terpesona dengan kegantengan dan jatuh cinta pada kegantengannya itu. Narsis jatuh cinta pada dirinya sendiri. Ketika Narsis mulai sadar bahwa apa yang dilihatnya adalah wajahnya sendiri, ia mulai berpikir sesuatu. Munculah kesadaran baru dalam dirinya. Mulailah ia belajar untuk mencintai orang lain. Dari cinta diri, Narsis bergerak ke luar untuk mencintai orang lain.

“Haiayah.. narsis loe!” teriak seorang gadis ketika melihat temannya sedang bergaya. Tangan kanannya memegang handphone keluaran terbaru. Self portrait lewat HP. Celoteh ini hanya menjadi satu contoh orang memaknai kata narsis. Rupa-rupanya narsis banyak dimengerti sebagai banyak tingkah. Narsis sama dengan banyak bergaya yang berlebihan atau over acting. Tidak salah. Tapi narsis tidak hanya sekedar over acting.

Jika kita mencoba menarik dalam kerangka yang lebih dalam, gaya hidup narsis telah mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan manusia. Ketika kata narsis ditempatkan dalam kerangka mitologinya, maka kita akan menjumpai betapa narsisnya diri kita. Titik pijaknya adalah aku. Aku yang menempatkan diri sendiri setinggi-tingginya, mengagumi dan mencintai diri sendiri. Akibatnya? Pola pikir mencintai diri sendiri berimbas pada kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri, mencari enak sendiri. Dan jika mentalitas dari gaya hidup ini telah menguasai, maka kecenderungan untuk cuek dengan lingkungan sekitar akan semakin tumbuh. Kebanggaan dan kecintaan pada diri sendiri menjadikan manusia berkembang menjadi egois.

Konteks zaman memang turut berperan besar dalam membentuk perilaku dan gaya hidup narsis. Semakin maju sebuah zaman, semakin egoislah mentalitas manusia. Taruhlah soal komunikasi. Pada zaman sekarang, jarak puluhan meter saja tinggal sms. Informasi sampai. Atau ketika dalam sebuah ruangan pertemuan, apa yang kita buat? Alih-alih bersosialisasi dengan orang lain, kita malah asyik ber-sms ria. Kita seolah berada dalam dunia kita sendiri. Gaya hidup narsis telah menuntun orang sampai pada pendewaan diri sendiri. Dalam kerangka yang sedikit ngawur, narsis membawa orang pada kesimpulan bahwa hanya ada dirinya sendiri. Atau bahkan seseorang merasa tidak butuh orang lain. Orang tidak lagi perduli dengan orang lain. Yang ada dalam benaknya hanyalah dirinya sendiri: keinginan dan kebutuhannya. Kelihatannya kita ada di tengah-tengah kerumunan, tetapi nyatanya kita berada di dalam tempurung kita sendiri. Jika demikian, di mana letak mentalitas terlibat dan berbagi? Tak ada tempat lagi untuk yang seperti ini.

Mentalitas terlibat dan berbagi mengandaikan sebuah kultur kepekaan akan keberadaan orang lain. Kultur ini mendorong orang untuk memperlakukan dan mencintai orang lain sebagaimana ia memperlakukan dan mencintai dirinya sendiri. Keberadaan yang lain bukan hanya pelengkap. Satu dengan yang lain sama-sama bertumbuh dan berkembang mencapai kepenuhannya. Gaya hidup terlibat dan berbagi hanya mungkin terjadi jika gerak Narsis juga bergerak dan tumbuh dalam diri kita. Gerak Sang Narsis adalah perubahan pola pikir dan sikap dari cinta diri ke cinta sesama. Ketika kita berani meninggalkan keegoisan dan bergerak ke luar diri, maka kita akan melihat sekitar dengan lebih jelas. Semakin jelas penglihatan kita, semakin tergeraklah kita untuk terlibat dan berbagi dengan orang lain.

Terlibat dan berbagi dengan orang lain bukan pertama-tama karena kita punya atau berlebihan. Adalah salah ketika ukuran terlibat dan berbagi diukur dari apa yang kita miliki. Ukuran terlibat dan berbagi bukan aku punya apa, melainkan aku bisa menjadi siapa bagi orang lain. Ketika berada di tengah keluarga dan kita hadir dengan senyuman manis, itulah wujud berbagi yang nyata. Ketika ada orang di sekitar kita yang sedang mengalami kesusahan dan kita hadir sebagai sahabat itulah tanda bahwa gerakan berbagi tidak harus menunggu kita berlebihan materi.
Keberanian kita untuk keluar dari diri sendiri dan mau berbagi adalah bukti bahwa iman kita semakin berbuah. Kita bergerak terus menuju ke tempat yang dalam. Duc in altum. Keberanian untuk terus menuju ke tempat yang lebih dalam ini akan membawa kita pada hasil yang semakin melimpah. Tentu semangat berbagi mengandaikan sejauh mana kita menyatu dan tinggal dalam Kristus.