Simpati dan doa untuk para korban pengeboman di Sri Langka masih terus berlangsung di berbagai tempat. Hal itu dilakukan karena semua orang menyadari peristiwa pengeboman di Gereja St Anthony di Kochchikade, Gereja St Sebastian di Negombo,Gereja Zion di Batticalao serta 3 hotel di Ibukota Kolombo, merupakan peristiwa memilukan.
Kembali nurani kemanusiaan ini terkoyak karena perilaku biadab pelaku pengemboman. Duka juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Keuskupan Agung Semarang. Pada 28 April 2019, bertempat di pelataran Gereja Katolik Bongsari, umat Gereja St Theresia Bongsari Semarang dan umat dari lintas agama berdoa bersama bagi para korban dan pelaku pengeboman.
Dalam pengantar pembukaan acara doa bersama, Rm Eduardus Didik Chahyono SJ selaku Pastor Kepala Paroki St Theresia Bongsari dan Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang menyampaikan pernyataan sikap dari Konfrensi Waligereja Indonesia. Mohammad Abdul Qodir pengasuh Pondok Pesantren Raudathul Sholihin Sayung Demak berharap peristiwa pengeboman tidak menimbulkan stigma negatif umat Kristiani pada umat Islam. Abdul Qodir sengaja membawa santri untuk mengadiri acara doa bersama agar para santri dan umat Kristiani dapat saling memandang dan menyadari bahwa kita bersaudara.
I Nengah Wirta Darmayana Parisada Hindu Dharma Indonesia Kota Semarang dalam refleksinya mengangkat ingatan hadirin pada peristiwa bom bali. Peristiwa itu menimbulkan kemarahan umat Hindu. Namun kemarahannya itu tidak disalurkan pada tindak kekerasan melainkan justru berbondong ke Pura untuk berdoa dan mengekapresikan bermain alat musik gambang untuk menghaluskan hati.
Robertus Setyawan Aji Nugroho dosen Fikom Unika sekaligus pengurusKomisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang menyatakan dukanya dengan berbahasa Inggris. Refleksi dan rasa simpati diekspresikan juga oleh Orang Muda Katolik Paroki Bongsari dengan menyajikan teatrikal, para remajanya juga mengungkapkan doa dan harapan dengan melagukan beberapa nyanyian. Istimewanya 3 santriwati dari Pondok Pesantren Sayung juga menampilkan puisi yang menggugat perilaku terorisme. Komunitas seni Kolaboart juga mempersembahkan musikalisasi puisi.