Komunitas kristiani di berbagai belahan dunia merayakan Season of Creation (Musim Penciptaan) sejak 1 September-4 Oktober 2022. Kevikepan Semarang melalui Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) pun turut ambil bagian dalam kegiatan yang tahun ini bertema “Dengarkanlah Suara Ciptaan” itu.
Musim Penciptaan di Kevikepan Semarang dibuka di Paroki Administratif Santo Ignatius Loyola Banjardowo Semarang dengan doa lintas agama, 1 September 2022. Pada kesempatan itu yang berdoa adalah K.H. Taslim Syahlan (FKUB Jawa Tengah), Pdt. Stefanus Wawan Setiawan (GKJ Genuk), Gus Abdul Qodir (Ponpes Roudhotus Sholihin), dan Romo Aloys Budi Purnomo, Pr.
Acara pun dilanjutkan dengan Dialog Ekologi dan Pelatihan Pembuatan Sabun Cair Berbasis Eco Enzyme di Paroki Santa Teresia Bongsari dengan memakai aula SD Kanisius Kurmosari Semarang. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan kunjungan ke Rayon Busidiana bersama dengan eLSi Camp mengantar bibit Jali ke komunitas Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) yang diwakili oleh Gunretno pada 28 September 2022.
Kunjungan juga dilakukan KKPKC ke Rayon Bagusto untuk merajut silaturahmi dengan para pegiat keutuhan ciptaan. Kunjungan ini, difokuskan ke Paroki Paulus Miki Salatiga, 29 September 2022. Di sana KKPKC berjumpa dengan tim kerja lingkungan hidup paroki yang setahun ini telah mendirikan bank sampah dan menginisiasi komunitas eco enzyme.
Penutupan Musim Penciptaan dilaksanakan di aula St. Clara Komunitas Suster OSF Gedangan Semarang bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPKAT) Santo Fransiskus Assisi pada 4 Oktober 2022, bertepatan dengan Peringatan Santo Fransiskus Assisi.
Pada pembukaan Musim Penciptaan, Ketua KPKC Kevikepan Semarang, Romo Aloys Budi Purnomo, Pr menyampaikan, perayaan Musim Penciptaan yang sebenarnya secara global dirayakan umat kristiani, dalam konteks Indonesia menjadi perayaan bersama umat beragama lain. “Maka, di Semarang gerakan yang sifatnya ekumenis itu, kami kontekstualisasikan menjadi gerakan interreligius, gerakan lintas agama,” katanya.
Menurut Romo Budi, bumi milik kita bersama yang sekarang ini sedang mengalami krisis ekologi membuat keadaan sekarang tidak mudah, terlebih generasi masa mendatang.
“Semua agama mengajarkan bahwa kita cinta alam semesta karena kita ini hanyalah salah satu makhluk karya Sang Khalik. Kita dipanggil untuk srawung dalam kerukunan tanpa diskriminasi merawat bumi rumah bersama. Atas dasar keprihatinan itulah musim penciptaan kita laksanakan sampai hari ini,” katanya.
Sedangkan Romo Paroki Admistratif Banjardowo berharap, dalam suasana persaudaraan, umat bisa menyadari peran dan tanggung jawabnya untuk merawat keutuhan ciptaan.
“Dalam suasana kasih dan persaudaraaan ini, semoga kita mampu menyadari peran dan tanggung jawab kita masing-masing terhadap keutuhan dan kelestarian alam semesta. Kita dilahirkan di dunia tidak sekadar untuk menguasai atau bahkan sampai merusak alam semesta demi memenuhi kerakusan diri kita. Tapi kita sesungguhnya dipanggil untuk menghasilkan tanggung jawab, untuk memelihara keutuhan alam ciptaan ini, memelihara alam demi kesinambungan dan kelestarian,” katanya yang biasa disapa Romo Bowo itu.
Hanya dengan cara inilah, lanjut Romo Bowo, anak cucu generasi manusia sesudah kita masih bisa menikmati warisan yang teramat nikmat, teramat indah, teramat luar biasa. “Warisan yang sesungguhnya, sebenarnya saat ini sedang mereka titipkan kepada kita semua yang sekarang hidup ini. Semoga kita juga berani mengambil langkah-langkah konkret, langkah-langkah nyata, meski itu tampaknya kecil dan sederhana di dalam kehidupan kita demi kelestarian alam semesta ini,” lanjutnya.
Gus Qodir dalam kesempatan itu mengajak semua pihak untuk bersama-sama merawat bumi. “Mari kita coba renungkan bersama bahwa kita yang berbeda ini, hidup di dunia yang sama, di bumi yang sama, kita mengalami bencana yang sama, maka mari kita berbuat bahwa bumi ini adalah rumah kita bersama. Mari kita gandeng tangan, kita pererat kerjasama kita bersama untuk meruwat bumi ini sehingga menjadi tempat tinggal yang nyaman. Bahkan ini bukan warisan dari nenek moyang, tapi ini adalah amanat dari anak cucu kita,” ungkapnya.
Bencana yang menimpa, sambung Gus Qodir, itu sesungguhnya atas perbuatan kita sendiri. “Harapannya supaya kita mampu merefleksikan diri, merenungi, mengakui kesalahan dan kita kembali kepada ajaran-ajaran Tuhan, kembali kepada makna esensi diciptakannya manusia sebagai khalifah, sebagai perwakilan Tuhan di bumi ini untuk tidak berbuat kerusakan sebagaimana makhluk Tuhan yang diciptakan sebelum kakek moyang kita ada,” katanya.
Dialog Ekologi
Dalam dialog ekologi yang diselenggarakan atas kerja sama KKPKC Kevikepan Semarang dengan Paroki Bongsari, Romo Agustinus Sarwanto, SJ mengatakan, pentingnya keseimbangan antara keluasan pengetahuan pemikiran tentang merawat bumi dengan hal yang bersifat praktis. “Kita diharapkan bisa berpikir sangat luas, sangat tinggi, sangat dalam, tadi juga diharapkan berpikir secara praktis. Jadi, kedalaman yang akan kita temukan itu kalau kita berpikir sangat luas, sangat lebar, sangat mendalam, tetapi juga sekaligus yang praktis-praktis. Dua-duanya, selalu ada kaitannya, satu sama lain,” katanya.
Sedangkan Maria Imelda Prawesti menyampaikan habitus hariannya dalam merawat bumi mulai dari rumah. “Kami berusaha sedapat mungkin apa yang keluar dari rumah kami itu adalah minim polutan. Jadi, misalnya, sampah. Apapun yang dihasilkan atau dikeluarkan dari rumah kami sampah itu sedapat mungkin sudah kita pilah. Kita pilah menjadi sampah organik dan sampah anorganik. Yang sampah organik kita olah menjadi kompos. Ada yang masuk ke komposter, ada yang masuk ke biopori, ada juga yang menjadi eco enzyme,” kata perempuan yang biasa disapa Esti itu. Sedangkan sampah anorganik, ia bawa ke pengepul setelah ia pilah berdasar jenis sampahnya.
Kepala Sekolah SD Kanisius Kurmosari Ika Wardhani menyampaikan sekolahnya sudah mulai melakukan pendidikan ekologis untuk anak-anak didiknya.Hal itu misalnya dilakukan dengan pembuatan eco enzyme, penuangan eco enzym di kali, maupun penelitian tentang kesehatan air sungai oleh anak-anak didik.
Sedangkan Suster Agatha Titi BKK menyampaikan kalau ia memulai hidup ekologisnya di biaranya. Ia menanam sayur-mayur, mengolah sampah dengan membuat kompos dan eco enzyme.
Kepala Sekolah SMP Kebondalem Suster Nurwaningsih SDP menyampaikan tentang pendidikan ekologis yang dilakukan di sekolahnya. “Berkaitan dengan kegiatan ekologi di SMP Kebondalem, yang pertama, adalah satu proses tahu, sadar, dan kemudian mau. Yang kedua, itu selalu ada keterhubungan satu sama lain. Yang ketiga adalah jejaring,” katanya.
Penutupan Musim Penciptaan di Kevikepan Semarang dilakukan dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Romo Aloys Budi Purnomo, Pr, Romo F.X. Endra Wijayanta, Pr, dan Romo Suryatmo, SJ. Usai perayaan ekaristi, acara dilanjutkan dengan sarasehan dengan narasumber lintas agama dan Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang. Narasumber tersebut adalah Suster Imeldi, OSF (JPIC OSF), K.H. Taslim Syahlan (Islam), Setiawan Budy (Kristen), Bhante Cattamano (Buddha), dan Bambang Suranggono (Kepala DLH Kota Semarang). (Lukas Awi)