Paroki St. Ignatius Magelang merupakan paroki tertua di Magelang dan sekitarnya.

Dalam sejarah misi Katolik di Jawa, sejak tahun 1865 tercatat dua orang anak bernama Yoseph dan Sanisa dipermandikan di Magelang. Namun jangan dibayangkan kalau permandian itu dilakukan di sebuah gereja yang megah seperti gereja Ignatius sekarang ini. Sebab, baru pada tahun 1890 tanah yang kemudian menjadi komplek gereja ini dibeli oleh Romo F.VOOGEL, SJ. Kebetulan di atas tanah itu sudah ada suatu bangunan yang untuk sementara dijadikan tempat peribadatan.

Pembangunan gerejanya sendiri baru tercatat dilakukan pada tanggal 31 Juli 1899. Setahun kemudian, pada 22 Agustus 1890, sudah dapat digunakan untuk mempersembahkan misa kudus. Sedangkan pemberkatan gedung secara meriah pada 30 September 1900, dalam misa konselebrasi yang dipimpin Romo Mgr.LUYPEN,SJ dari Batavia, denagn didampingi oleh Romo MUTZAER SJ dari Cirebon, Romo ASSELBERGS,SJ dari Jogya, Romo FISHER dan ROMO HEUVEL dari Magelang. Sedangkan Romo F. VOOGEL, SJ justru tidak bisa hadir, karena sakit dan harus kembali ke Belanda.

Selain itu juga hadir Residen Kedu, petinggi militer Belanda di antaranya Kolonel Van der DUSSEN, tokoh-tokoh masyarakat Cina, dan tokoh-tokoh pribumi lainnya. Sedemikian meriahnya untuk ukuran saat itu, sehingga pemberkatan itu memancing kekaguman masyarakat Magelang tidak terbatas pada umat Katholik saja.

Saat bersejarah terjadi pada 27 Juni 1913, ketika seorang anak Jawa bernama Soewini (14) dipermandikan dengan nama Margaretha. Kemudian menyusul Maria Moerjati, dan selanjutnya disusul lagi oleh 12 siswa HIS (kini SDK Pendowo). salah satunya bapak Sangkrip dari Juritan/ Wilayah Paulus. Bertambahnya masyarakat Jawa memeluk agama Katholik ini merupakan buah kerja keras para misionaris yang namanya pantas ditorehkan dengan tinta emas, di antaranya Romo VAN LITH, SJ dan Romo J. HOVENAARS, SJ.

Perkembangan yang menggembirakan itu memunculkan pemikiran untuk memperluas gereja. Pada tanggal 15 Agustus 1926, perluasan dimulai dengan menambah dua sayap di kanan kiri induk bangunan, masing-masing selebar 3,5 meter. Keluarga ORIE yang kala itu tinggal di Belanda, menyumbang permadani untuk memperindah tampilan gereja.

Mulai tahun 1933, setiap hari minggu seusai misa siang, ada khotbah dan pelajaran agama yang disampaikan dalam bahasa Jawa oleh para Katekis. Sebagian besar para Katekis itu adalah siswa – siswa Perguruan Muntilan, hasil didikan Romo VAN LITH, SJ.

Perang Asia Timur Raya yang disulut oleh Jepang berdampak pilu bagi kehidupan Gereja, khususnya di Magelang. Pastur-pastur berkebangsaan Belanda banyak yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp interniran. Penggunaan bahasa Belanda dilarang. Kehidupan gereja semakin dirundung sendu dengan meninggalnya Rama SONDAAL SJ.

Walaupun Jepang tidak lama berkuasa di Indonesia, dan Republik Indonesia yang merdeka pada 1945 diakui kedaulatannya, namun nasib baik belum berpihak kepada Gereja. Pada 30 Oktober 1945, tentara Gurkha datang dan menduduki gedung Susteran Fransiskan, dan digunakan sebagai markas mereka. Keesokkan harinya, 1 Nopember 1945, sebuah drama berdarah berbau fitnah menimpa seluruh keluarga Pasturan Magelang. Lima orang Romo, dua Frater, dua Bruder, dan seorang koster diculik oleh segerombolan orang yang memancing di air keruh. Sepuluh orang ini dibawa dan dibunuh di kuburan Giriloyo Magelang. Tiga tahun kemudian peristiwa pembunuhan kembali terjadi. Romo SANDJAJA, Pr , yang saat itu dipercaya menggembala umat di Magelang, bersama Romo H. BOUWENS, SJ. diculik dan dibunuh di desa Patosan, Sedan, Muntilan.

Warna kehidupan umat Katolik dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar juga menunjukkan perkembangan yang baik. Khusus di Magelang, hal ini tak lepas dari upaya gigih Romo TH HARDJOWASITO, Pr. dan Romo VAN HEUSDEN, SJ, yang berhasil menjalin hubungan yang baik antara gereja dengan masyarakat. Saat itu masyarakat Kampung Kauman dan sekitarnya, tak seorang pun yang tidak mengenal kedua Romo ini. Mereka menganggap dan merasa Gereja Ignatius Magelang merupakan salah satu bagian kehidupan mereka.

Nuansa keterbukaan dan keakraban ini semakin mekar berkembang setelah era Konsili Vatikan II. Justru ketika suasana panas melanda kehidupan masyarakat Indonesia menjelang dan setelah peristiwa Pengkhianatan G-30-S/PKI meletus (1965), rasa persatuan umat Katolik dengan orang-orang Kampung Kauman semakin mengkristal. Dalam suasana kehidupan yang diwarnai saling curiga terhadap pihak-pihak yang tak sealiran, umat Islam dan Katolik, yang terwakili oleh Pemuda Kauman dan Angkatan Muda Katolik Magelang, lebih mengencangkan hubungan dengan baik. Demi menjaga keamanan, gedung AMKRI Magelang dijadikan “posko” bersama. Dalam suasana yang semakin kondusif, umat Katolik Magelang bersama hirarki mulai memikirkan sarana peribadatan agar semakin memadai, salah satunya adalah renovasi gedung Gereja. Pada tanggal 1 Agustus 1962, dimulailah renovasi gereja dengan perencana dan pelaksananya dari kota Semarang.

Gedung yang semula bergaya Gothik dirombak total menjadi gaya yang sama sekali baru. Beberapa dari bagian gedung lama masih difungsikan sampai sekarang, di antaranya : jendela-jendela mozaik, tangga melingkar untuk naik ke balkon, dan lonceng gereja. Dana pembangunan diperoleh dari Keuskupan Agung Semarang, dari para donatur dan partisipasi umat melalui kolekte, dan juga uang saku pribadi Romo VAN HEUSDEN, SJ. Pembangunan renovasi gereja selesai dalam waktu sekitar tiga tahun.

Wilayah dan Batas
Lingkungan :
Wilayah :

Batas

Utara : Paroki Maria Fatima Magelang
Selatan : Paroki Mertoyudan
Timur : Paroki St. Maria Fatima Magelang
Barat : Paroki Temanggung