KEDU, KAS- Oleh: Ma Hyang Masukanulis, Pewarta Kas.or.id
Peristiwa Duka
Romo Agustinus Erfan Sanjaya Simamora Pr meninggal dunia, Minggu 19 Mei 2024 pukul 17.01 WIB di Salatiga, Jawa Tengah. Kabar duka tersebut cepat bergulir dari ponsel umat Katolik khususnya di Keuskupan Agung Semarang.
Pesan tersebut melesat cepat dan masuk ke ponsel pribadi milik kami. Bayangan bayangan ingatan seketika ingin terlontarkan lewat kata-kata, namun sulit terungkapkan. Konsentrasi terpecah, ujung mata bergetar, dada sesak, waktu seolah berhenti. Sewaktu membaca pesan yang mengejutkan itu.
Pelan-pelan kami coba untuk mengorek kenangan apa yang pernah kita lakukan, meski bukan sahabat, bahkan kita jarang berkomunikasi, tapi diskusi kami berdua selalu mendalam, apalagi soal fotografi.
Fotografi
Minggu tanggal 19 Mei 2024 itu adalah perayaan Pentakosta, untuk memperingati ketika turunnya Roh Kudus kepada murid Yesus di Yerusalem. Romo pergi di hari yang baik. Begitu pula peristiwa baik yang teringat oleh kami semasa Romo berkarya dan membersamai kami.
Satu ingatan yang muncul di dalam kepala saat mendengar kepergian Romo adalah ketika pertama kali kami bertemu dengan Romo yang saat itu masih kami sebut sebagai Frater Erfan, siang itu kisaran tahun 2018 awal kita bertemu di Kapel Santo Paulus Seminari, Kentungan, Yogyakarta.
‘’Ikut ya Mas’’, kata Romo Erfan sembari membetulkan posisi kamera yang tergantung di bahu kirinya. Kami hanya tersenyum dan mempersilakan Romo ‘’menempel’’ kami saat memotret momen tahbisan kala itu. Pada kisaran waktu tersebut kami bertugas untuk Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Semarang atau Komsos KAS, namun kini telah diubah menjadi Unit Pengembangan Pastoral Komunikasi Keuskupan Agung Semarang atau UPP KAS.
Berangkat dari perkenalan tersebut kami tahu kalau Romo adalah sosok yang hobi dengan fotografi, kita bertemu dalam momen dan tugas yang hampir sama, bisa di lokasi yang sama pula, atau bahkan di luar kota. Pejumpaan kami akhirnya dipisahkan oleh pandemi.
Kamera dan foto begitu lekat dengan Romo Erfan, bahkan sampai beberapa waktu sebelum Romo pergi, Romo masih memikirkan konsep-konsep karya untuk pelayanan Gereja yang terkhusus pada fotografi, lewat pesan singkat yang dikirimkan kepada kami. Namun, rencana itu tidak lebih baik dari apa yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan Yesus. Romo pergi dan menjadi kenangan, seperti karya fotografi.
Senyuman Manis di Paroki Kelor
Tak bisa dipungkiri bahwa Romo Erfan punya karunia yang indah diberikan oleh Tuhan yakni fisik dan aura yang mampu mendebarkan hati. Tampan, iya, paras manisnya itu dapat memberikan rasa teduh di hati, setidaknya untuk kami yang penuh dosa dan keburukan ini.
Jarak usia kami sebenarnya tidak terlalu jauh, namun cukup tua untuk bergaul dengan orang-yang seusia Romo Erfan. Romo lahir di Limpung, Batang, 26 Agustus 1994. Beliau merupakan anak ke-4 dari 6 bersaudara. Belum genap 30 tahun dan baru saja berkarya sebagai Imam Projo Keuskupan Agung Semarang.
Melansir dari akun YouTube UPP Komsos KAS saat Misa Requiem Romo Erfan, diketahui bahwa moto tahbisan beliau adalah “Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku” (Luk. 22:19).
Kata kenangan kembali muncul, namun semuanya terasa singkat, seperti masa tugas beliau yakni hanya 1 tahun 4 bulan sejak tahbisan pada 25 Januari 2023 lalu. Padahal ada rencana-rencana kita untuk membuat kenangan semakin indah, sayangnya semua hanya tinggal rencana, ah sudahlah.
Kami memang bukan umat Paroki Kelor namun ada sesuatu yang membuat jarak antara kami terasa dekat.
Diketahui Romo Erfan ditugaskan ke Paroki Petrus dan Paulus Kelor di Gunungkidul Yogyakarta sebagai Romo Vikaris Parokial. Ketika kami tahu Romo Erfan berkarya di Paroki Kelor, kebahagiaan muncul dalam hati. Sebab banyak keinginan dan harapan yang bisa kami utarakan juga diskusikan, setidaknya tentang multimedia dan lain sebagainya.
Pembicaraan sewaktu Romo Erfan menyandang status sebagai Romo hanya lewat media sosial dan membahas tentang Komsos, yakni hal yang mempertemukan kita berdua.
Sebelumnya kami terpisah, kini kami berdua benar-benar berpisah.
Teratai, Wonogiri dan Berlari
Mengamati akun instagram pribadi Romo Erfan, belakangan memang sedang getol olahraga. Bahkan ‘’kepulangan’’ beliau lewat hal yang disukai itu.
Seperti yang diketahui, bahwa Romo Erfan meninggal saat jogging di Lapangan Pancasila Salatiga.
Romo tengah menjalani retret pribadi di Novisiat MSF di Salatiga.
Pada momen refleksinya itu, Romo Erfan mengibaratkan bahwa ia adalah bunga teratai, hal tersebut dikatakan oleh Romo Antonius Marga Suwanta MSF dalam Misa Requiem Romo Erfan.
Teratai adalah bunga yang tumbuh indah dalam tanah berlumpur, meski indah dia tidak seperti mawar yang mudah dipetik. Seperti itulah Romo Erfan, ia indah namun tak mau dipetik dan berusaha untuk tetap putih jubahnya hingga ia berpulang.
Kisah mengenai panggilan Romo Erfan diungkapkan oleh sahabat dekatnya yang kini bertugas di Paroki Santo Yohanes Rasul, Wonogiri, Jawa Tengah, Romo Viktor Drajad Setiawan Pr.
Adapun Wonogiri adalah kota tempat Romo Erfan tumbuh dewasa, dari masa SMP hingga SMK dan berlajut ke Seminari Mertoyudan.
Panggilan Romo Erfan berkobar saat momen konsekrasi ketika misa Kamis Putih, sewaktu Romo Erfan masih duduk di kelas 5 SD.
Kini, teratai putih dari Wonogiri itu terus mekar dan abadi keindahannya. Tak pernah bisa dipetik dan hanya bisa terlihat oleh manusia yang penuh kasih. Selamat jalan Romo Erfan, dari sana kita berasal dan ke sana kita berpulang.
Suatu tempat indah di Jawa Tengah, 25 Mei 2024.
Ma Hyang Masukanulis