Mgr Ruby, Rm Edy Pur, dan Rm Maradiyo memimpin perayaan Ekaristi Pembuka Tepas Kevikepan DIY pada bulan Januari 2019 (ilustrasi foto: dok.pri)

 

Pernahkah Anda merasa nyaman dan damai ketika merayakan Ekaristi? Pastilah dari sekian banyak perayaan Ekaristi ada beberapa kali Anda merasa nyaman dan damai. Anda merasa demikian dekat dengan Tuhan. Tidak disangkal juga, rasa ngantuk dan kering dirasakan ketika mengikuti perayaan Ekaristi. Kok bisa ya?

Ketika kita merayakan Ekaristi, mungkin kita terganggu dengan ramainya anak-anak. Kita merasa tidak terbantu karena kotbahnya romo datar dan menjemukan. Itukah jawaban atas pertanyaan mengapa perayaan Ekaristi terasa kering? Jawaban atas pertanyaan itu mestinya tidak kita cari dengan melihat keluar. Jawaban itu terletak pada diri kita masing-masing. Rasa perasaan yang menyelimuti diri ketika merayakan Ekaristi merupakan buah dari penghayatan kita atas perayaan itu.

Unsur-unsur yang ada di luar, seperti petugas dan tata perayaan, memang mempengaruhi kualitas sebuah perayaan Ekaristi. Tetapi yang paling berpengaruh adalah kualitas penghayatan kita sendiri. Penghayatan pribadi itu tidak hanya dinilai pada saat mengikuti perayaan Ekaristi. Penghayatan pribadi dibuat sejak semula ketika kita bersiap mengikuti perayaan Ekaristi. Misal: apakah kita datang terlambat atau tidak; apakah kita berangkat dari rumah dengan hati tenang atau tidak; apakah sesaat sebelum Ekaristi dimulai kita telah mempersiapkan diri atau belum; dan banyak alat ukur lain. Intinya satu: merayakan Ekaristi dibutuhkan sebuah partisipasi batin atau penghayatan pribadi. Dengan penghayatan pribadi yang baik, niscaya Ekaristi yang kita rayakan akan terasa bergema dan membuat nyaman.

Selain partisipasi batin, masih ada partisipasi lahir dan sakramental. Partisipasi lahir adalah keterlibatan kita yang berupa tindakan, perbuatan, maupun ucapan. Misalnya: turut bernyanyi dan mengikuti gerakan-gerakan liturgis [duduk, berlutut, berdiri, dll]. Keterlibatan lahiriah yang kelihatan sepele ini pun harus sungguh dihayati dan dimengerti maknanya secara sungguh-sungguh. Kalau kita hanya ikut-ikutan sebelahnya, bagaimana kita bisa menemukan dan merasakan makna yang sejati dari sebuah perayaan Ekaristi.

Partisipasi sakramental hendak menunjuk kepada keterlibatan dan partisipasi kita dalam menerima komuni. Keterlibatan kita dalam menerima komuni harus senantiasa diperjuangkan. Kita harus sadar betul bahwa yang akan kita terima adalah Kristus sendiri yang hadir secara nyata dalam Ekaristi. Masak kita mau main-main? Mestinya kita sungguh mempersiapkan diri sehingga kita memang pantas menerimanya. Apa jadinya kalau kita berjalan sambil ngobrol, sikut-sikutan dengan sebelahnya, atau aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan sikap batin yang pantas?

Ketiga hal di atas menunjuk kepada diri sendiri, yaitu penghayatan pribadi. Namun kita harus ingat bahwa perayaan Ekaristi tidak pernah menjadi sebuah perayaan pribadi. Kalau kita berpikir demikian, maka kita akan menjadi semau gue. Perayaan Ekaristi menjadi sebuah selera pribadi. Bisa menurut selera romonya. Bisa menurut selera petugas liturginya, bahkan bisa menjadi selera umatnya. Gejala ini akan tampak ketika kita merasa tidak sreg dengan perayaan Ekaristi di paroki kita lalu mencari kepuasan di paroki lain. Jauh tidak jadi masalah, asal puas.
Gejala Ekaristi sebagai selera pribadi harus kita berantas. Perayaan Ekaristi adalah perayaan kebersamaan. Dalam perayaan itu, iman Gereja dipertaruhkan. Dalam perayaan bersama itu, terbangunlah sebuah communio. Pertama-tama terbangunlah kesatuan antara manusia dengan Allah. Kemudian terjalinlah ikatan kesatuan manusia dengan sesamanya. Bukan hanya itu, terjalin pula relasi antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Pada akhirnya, pemahaman di atas akan membawa kita pada sebuah jalan untuk bisa menggapai kemendalaman relasi dengan Allah. Ekaristi menjadi sebuh cara yang konkret untuk bersatu dan tinggal dalam Kristus. Mengapa? Sebab dalam sebuah perayaan Ekaristi kita berjumpa dengan Allah sendiri ketika sabda dibacakan. Kita bisa menyentuh, meraba, bahkan menyantap Kristus ketika kita menerima komuni. Komuni suci yang kita terima adalah simbol riil Kristus.

Apakah kita sudah menghayati sebuah perayaan Ekaristi dengan benar?