Wates Kulon Progo DIY – Menandai Hari Pahlawan 10 November 2023, Romo Vikep Jogjakarta Barat, AR. Yudono Suwondo Pr bersama Romo Aloys Budi Purnomo Pr selaku Pastor Paroki Wates dan Romo B. Edy Wiyanto Pr (Vikaris Paroki Wates) serta sejumlah Pengurus Dewan Harian Pastoral Paroki Wates (PDH PPW) berziarah ke Makam Gunung Asem, Kulur, Wates. Rombongan PDH PPW terdiri dari Andreas, Endro, Cicilia, Esti, Natalia, dan Santi. Tepat pukul 09.00 WIB rombongan meluncur dari pastoran menuju makam. Sesampai di makam, Pak Endro, Kabid Liturgi memimpin doa; dilanjutkan tabur bunga dan upacara penghormatan yang dipimpin Romo Suwondo Pr. Mengapa ziarah ini dilakukan?
Gereja Katolik St. Maria Bunda Penasihat Baik yang berada di Wates, Kulon Progo DIY yang juga menjadi Pusat Pastoral Kevikepan Jogjakarta Barat berada di Jalan Sanoen 23. Inilah alasan teknis praktis kami mengadakan ziarah ke makam tempat Pahlawan Kemerdekaan Repulik Indonesia Sanoen dimakamkan di makam umum bersama rakyat. Alasan kedua yang lebih penting dan mendalam adalah dengan ziarah ini, kami bertekad menghayati semangat hidup 100% Katolik 100% Indonesia dengan menghargai dan menghormati Pak Sanoen sebagai Pahlawan Bangsa. Dengan cara itu, kita dapat belajar dari spirit kepahlawanan Sanoen.
Pak Sanoen adalah pejuang berlatar belakang polisi yang turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Kabupaten Kulon Progo, DIY. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, yang antara lain merupakan tempat keberadaan Gereja Paroki Wates dan Pusat Pastoral Kevikepan Jogjakarta Barat. Pak Sanoen lahir di Dusun Trukan, Kalurahan Kulur, Kapanewon (Kecamatan) Temon, Kulon Progo, pada tahun 1926 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan suami istri Ronowiryo dan Tugiyem. Ayahnya bekerja sebagai pembuat batu nisan dan bertani. Sedangkan ibunya mengurus rumah dan membantu suaminya di ladang.
Semangat hidup Pak Sanoen sangat istimewa sejak masa kecilnya. Romo Aloys Budi Purnomo Pr sebagai Pastor Paroki Wates yang baru sekitar 3 bulan bertugas di Wates menemukan informasi bahwa sejak kecil, “Sanoen bukan tipe seorang anak yang suka menyendiri di rumah, maupun menutup diri (introvert) dari berbagai interaksi. Ia justru dikenal sebagai seorang anak mudah bergaul dan sampai masa akhir hidupnya dikenang sebagai ahli bersilaturahmi” (Athoilah, 2019). Sebagaimana dirilis detik.com; saat berusia 17 tahun pada tahun 1945, Sanoen mengikuti pendidikan militer di Kulur. Setelah menuntaskan pendidikan militer, Sanoen merantau ke Bandung menjadi buruh pabrik kecap pada 1945. Namun sesudah pabrik itu tutup akibat peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946; pada tahun 1947 Sanoen mendaftar di sekolah pendidikan polisi (SPN) Mertoyudan di Seminari Mertoyudan, Magelang. Setelah lulus SPN, Sanoen resmi menjadi polisi dan bertugas dalam pasukan Mobile Brigade (Mobrig, yang sejak 1961 disebut Brimob) di Keresidenan Kedu. Sanoen ditugaskan di wilayah Magelang dengan pangkat Agen Polisi III, pangkat terendah di polisi kala itu. Bersama tentara pelajar, Sanoen aktif dalam sejumlah operasi militer khususnya saat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta pada 1948. Kala itu tentara Belanda telah memasuki Kulon Progo lewat jembatan Bantar, penghubung Sentolo, Kulon Progo, dengan Sedayu, Bantul, pada 27 Desember 1948. Dalam perlawanan mempertahankan Kemerdekaan RI, Sanoen gugur pada 4 April 1949 di Pasar Sentolo. Sanoen meninggal di sebuah kubangan yang tertutup rimbunnya tanaman koro benguk di Dusun Sentolo Lor, Kalurahan Sentolo, Kulon Progo. Lokasi tersebut sekarang dijadikan monumen untuk mengingat perjuangan sosok Sanoen. Monumen ini diresmikan pada 4 April 2022.