Karya Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) sangat kompleks. Ketua KKPKC Kevikepan Semarang, Romo Aloys Budi Purnomo, Pr menyampaikan hal tersebut dalam acara Pembekalan dan Penguatan Kapasitas Tim Pelayananan yang berkarya di isu keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di Griya Paseban, 4-5 Maret 2023 lalu.
“Yang pertama, keadilan. Keadilan itu mencakup berbagai macam hal. Keadilan dalam arti, ekonomis, distribustif, dan seterusnya. Keadilan dalam arti lingkungan,” katanya yang kemudian juga menyebut keadilan dalam lingkup kelurga, gender dan anak-anak. Menurutnya, isu keadilan sangat kompleks termasuk pula dalam sosial politik, keberagaman agama dan kepercayaan.
Tentang isu perdamaian, menurutnya, hal itu juga menyangkut sosial, politik, personal, dan lingkungan bahkan juga menyangkut perdamaian dan hidup dalam keluarga.
Tentang keutuhan ciptaan, menurutnya, hal itu mencakup lingkungan dan kaum rentan yang menjadi korban atas kerusakan-kerusakan lingkungan. “Entah itu kerusakan lingkungan dalam arti bencana alam maupun kerusakan lingkungan karena dibuat oleh manusia yang rakus, yang serakah, yang tamak, eksploitatif dan kemudian membawa dampak pada kaum rentan,” katanya.
Namun, Romo Budi menyadari, dalam konteks paroki, kerasulan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan tidak mudah. Kendati demikian, hal itu sangat mungkin bisa dilakukan. “Ada pribadi-pribadi yang memiliki hati, komitmen, kepedulian untuk tugas perutusan ini,” katanya.
Romo Budi pun menyampaikan, salah satu sumber inspirasi kristiani dalam merawat keutuhan ciptaan adalah Ensklik Laudato Si’. “Iman Kristiani menjadi salah satu sumber mengembangkan ekologi demi memulihkan segala sesuatu yang telah dihancurkan. Keyakinan iman menawarkan kepada umat Kristiani dan umat beriman lainnya motivasi kuat melindungi alam dan saudara-saudarinya yang paling rentan. Melindungi lingkungan adalah tugas dan tanggung jawab umat beriman terhadap alam dan Sang Pencipta. Tugas itu merupakan bagian integral dan komitmen ekologis yang timbul dari keyakinan iman,” ungkapnya.
Romo Budi juga menyampaikan tentang pentingnya perubahan menuju gaya hidup baru yang tidak konsumeristis. Kerja sama dalam merawat bumi sangat dimungkinkan untuk bekerja sama dengan siapapun. Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’, menurut Romo Budi, juga mengambil inspirasi dari tokoh Islam, Ali al-Ḫawwaṣ, dalam konteks dialog interreligius demi merawat Bumi dan pentingnya mendengarkan dan meningkatkan kesadaran penuh perhatian dan kesetiaan pada Bumi dan ciptaan yang menderita. Ali al-Ḫawwaṣ mengajarkan, sambung Romo Budi, setiap kata dan aktivitas memiliki dimensi batin halus dan misteri murni yang tidak akan merampas harmoni ketika orang mampu mendengarkan suara-suara yang tertindas,
Dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus meminta diadakannya dialog baru, “Saya meminta dengan sangat agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita. Kita memerlukan percakapan yang melibatkan semua orang…” (LS 14).
Pertemuan diawali dengan sharing karya kerasulan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan di setiap paroki. Masing-masing utusan dari setiap paroki menyampaikan sharing sesuai dengan kelompok rayonnnya. Ada yang sudah berjalan baik, namun ada yang masing mengalami tantangan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah kaderisasi yang cukup lemah.
Peserta pertemuan juga mendapat materi tentang Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP) yang disampaikan oleh Thomas Supriyadi, Advokasi Isu-isu Perempuan yang disampaikan Florencia Magnis serta Dasar-dasar Paralegal yang disampaikan oleh Yunantyo Adi.
Menurut Thomas, SGPP adalah badan yang dibentuk di bawah naungan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) meski tidak berstatus sebagai komisi. Dalam konteks Keuskupan Agung Semarang, atas arahan Uskup Agung Semarang, Mgr Robertus Rubiyatmoko, SGPP berada dalam koordinasi dengan KKPKC di tiap-tiap kevikepan.
Tujuan SGPP dibentuk KWI, sambung Thomas sesuai Direktorium KWI No 69 adalah untuk membantu Waligereja dalam menciptakan keselamatan yang terwujud melalui relasi perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah yang setara dan bersama-sama bertanggungjawab atas terwujudnya kembali keutuhan ciptaanNya. Sedangkan visi SGPP KWI adalah terciptanya keselamatan yang terwujud melalui relasi perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah yang setara dan bersama-sama bertanggungjawab atas terwujudnya kembali keutuhan ciptaan-Nya. Sementara itu, fungsi SGPP adalah, pertama, mewujudkan persaudaraan sejati melalui pengarus-utamaan perspektif gender dalam kehidupan masyarakat.Kedua, menunjukkan kepada masyarakat luas, bahwa Gereja memperjuangkan keadilan dan perdamaian secara utuh.
Menurut Thomas ada lima bidang kegiatan pastoral yang digeluti SGPP KWI yaitu, pertama, memfasilitasi kegiatan sosialisasi, animasi dan pelatihan penyadaran di keuskupan-keuskupan mengenai nilai-nilai kesemartabatan, kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah, pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan dan anak. Kedua, meningkatkan kapasitas dan kerjasama antar Pengurus Pastoral Gender dan Pemberdayaan Perempuan Keuskupan, lingkup Regio Gerejawi dan lingkup nasional. Ketiga, meningkatkan kerjasama lintas Komisi/Lembaga/ Sekretariat/Departemen KWI. Keempat, mengembangkan jejaring dan kemitraan inklusif dengan pihak-pihak baik internal maupun eksternal Gereja. Kelima, melakukan penguatan kapasitas dan koordinasi dalam kepengurusan serta pengorganisasian kesekretariatan. Keenam, mengkampanyekan ‘Anti Kekerasan terhadap Perempuan’.
Sementara itu, Florencia Magnis, menyoroti tentang urgensi perlindungan hukum terhadap ketidakadilan gender dan anak. Salah satu penyebab ketidakadilan tersebut adalah adanya budaya patriaki. Menurutnya, budaya pariarki telah membentuk mitos, stereotipe dan prasangka terhadap perempuan secara turun temurun. “Menempatkan laki- laki pada posisi lebih tinggi dari perempuan bahkan perempuan cenderung sebagai pelengkap,” ungkapnya.
Budaya patriarki yang telah diturunkan ini, menurutnya, membawa penyalahgunaan terhadap perbedaan laki- laki dan perempuan sehingga memunculkan standar (politik seks) yang menyebabkan ketidakadilan, penderitaan, kekerasan dan kejahatan berbasis gender (terutama bagi perempuan) yang dapat dilihat dari nilai- nilai, praktik budaya bahkan agama.
Perempuan bahkan rentan mengalami kekerasan. “Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang terjadi di ranah publik dan ranah domestik,” katanya.
Pada bagian akhir pertemuan, Yunatyo Adi menyampaikan materi dasar tentang paralegal. Menurutnya, paralegal, jika diterjemahkan secara bebas, adalah masyarakat yang tidak berlatar belakang pendidikan hukum tetapi mengetahui tentang hukum dan mampu melakukan pendampingan hukum lebih ke arah nonlitigasi. Dengan demikian, paralegal adalah gambaran tentang pekerjaan yang membantu advokat/pengacara dalam pekerjaannya. Paralegal itu sendiri bukanlah pengacara dan juga bukan petugas pengadilan. Lebih luas, paralegal adalah orang yang melakukan pendampingan untuk memperjuangkan keadilan masyarakat. Kerja ini dilakukan dengan menggunakan peraturan yang ada atau terobosan hukum lainnya.
Yunantyo juga menyampaikan prinsip-prinsip paralegal seperti kesetaraan, nondiskriminasi, dapat dipertanggungjawabkan, antikekerasan, nonprofit, jujur, dan keikhlasan bertindak.
Setelah mendapat sharing karya dari masing-masing paroki dan mendapat bekal dari para narasumber, setelah pertemuan, para peserta diharapkan kembali ke paroki dan menghidupi karya kerasulan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaannya dengan lebih baik. (AWI)