Refleksi atas Pelayanan Rohani di RSUP Sardjito, Yogyakarta
Hidup persaudaraan para religius sebagai bagian dari komunitas kristiani berusaha mencerminkan kekayaan relasi misteri keselamatan. Hidup persaudaraan yang dipahami dan dihayati sebagai satu kesatuan hidup dalam kasih Kristus merupakan tanda yang sangat indah tentang kesatuan dalam gereja. Gereja yang bersifat universal mendorong setiap religius untuk saling bekerja sama, dan melayani satu dengan yang lain sebagai saudara. Para religius dipanggil dan diutus oleh Allah untuk berjumpa langsung dengan mereka yang membutuhkan pelayanan.
Motto Kongregasi Oblat Maria Imakulata (OMI) “Melayani yang tak terlayani” mendorong para Oblat untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru pelayanan yang mungkin belum dilihat oleh lainnya. Mengunjungi orang sakit di RSUP Dr. Sardjito menjadi salah satu contoh bentuk pelayanan terhadap mereka yang kurang terlayani.
Untuk informasi kita bersama, sejak tahun 1984 pelayanan rohani Katolik di RSUP Sardjito ternyata hanya diampu oleh seorang prodiakon dari Paroki Jetis. Baru pada pertengahan tahun 2018, seorang imam Katolik – Rm. Antonius Widiatmoko OMI – mencoba mencari tahu mengenai kondisi pelayanan rohani Katolik di sebuah RS Umum Pemerintah, dan sejak saat itu beliau membantu pelayanan rohani di RSUP Sardjito sebagai volunteer.
Berdasarkan temuan data yang beliau dapatkan, setiap hari masuk belasan pasien baru Katolik dirawat di RSUP Sardjito. Mereka berasal dari macam-macam tempat asal di Indonesia, mengingat RSUP Sardjito biasanya dijadikan Rumah Sakit rujukan terakhir sesudah upaya-upaya penanganan medis yang dilaksanakan di Rumah-rumah Sakit lainnya. Para pasien ini sangat merindukan komuni suci dan pelayanan doa lainnya.
Kondisi pelayanan rohani bagi para pasien di RSUP Sardjito berbeda dengan pelayanan rohani di RS swasta, seperti Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) yang dikelola oleh para suster CB. Di RSPR, para pasien Katolik relatif terjamin pelayanan rohaninya karena setiap sore para suster biarawati selalu mengirim komuni suci kepada para pasien.
Menanggapi kebutuhan pastoral yang mendesak ini, para Oblat memilih untuk tidak berdiam diri melainkan mengunjungi, mendoakan sekaligus menghibur mereka yang sakit. Di sela-sela tanggungjawab dan perutusan pokoknya untuk Kongregasi OMI, Rm. Widi berkomitmen untuk datang melayani para pasien Katolik seminggu 3x, yaitu: setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Seringkali beliau mengajak kami para frater dan bruder OMI untuk secara bergiliran ikut mengunjungi para pasien di RSUP Sardjito. Melalui cara itulah, kami merasa banyak dibantu dengan suatu teladan bagaimana menghidupi dan mengembangkan keutamaan belaskasih sebagai seorang misionaris.
Kami juga banyak belajar dari sukacita Injili yang dihidupi oleh para pasien dan keluarganya. Meskipun kondisi mereka sedang sakit, namun mereka tetap mampu tersenyum. Wajah mereka memancarkan sikap iman dan keyakinan akan kasih Tuhan yang tanpa syarat. Boleh dikatakan bahwa justru merekalah yang mewartakan Injil kepada kami. Di sisi lain, mereka juga mengatakan banyak terimakasih karena telah dikunjungi dan diantar komuni, suatu hal yang tidak mereka bayangkan dapat diterima di sebuah RS Umum Pemerintah. Sungguh kami syukuri bahwa perutusan untuk mewartakan Kabar Gembira kepada orang miskin terlaksana, dan Kabar Gembira itu sekarang telah menjadi milik mereka yang mengandalkan hidupnya kepada Tuhan.
Kami yakin bahwa dalam diri mereka yang sakit Kristus hadir dan ada bersama mereka sepenuh-penuhnya. Mereka yang sakit adalah cerminan wajah Kristus yang tersalib. Konstitusi OMI nomor 4 menyebut bahwa “Salib Kristus adalah inti perutusan para Oblat”. Salib Kristus itu menggerakkan para Oblat untuk berbagi dan turut menderita bersama mereka yang sakit. Yang menarik, para pasien di RSUP Sardjito yang kami jumpai bukan hanya mereka yang sakit fisiknya, namun juga yang sakit rohani atau kejiwaannya. Beberapa dari mereka merasa tertekan karena persoalan hidup yang rumit, dan merasa bingung akan arah tujuan hidup mereka. Tak jarang muncul pertanyaan seputar keberadaan Tuhan. Di manakah Tuhan? Mengapa hal-hal negatif ini harus terjadi dengan kehidupan keluarga saya, dst.? Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kami temukan dalam perjumpaan dengan para pasien. Pertanyaan-pertanyaan itu menggelitik hati kami untuk makin melayani mereka.
Dalam sejarah Gereja, pelayanan kepada orang kecil seringkali berawal dari inisiatif orang-orang tertentuyang hatinya tergerak setelah melihat kondisi-kondisi hidup manusiawi pada zamannya. Dari situ, kemudianlahirnya tarekat-tarekat hidup religius dengan suatu spiritualitas tertentu. Umumnya mereka percaya bahwaKristus hadir dan berkarya melalui GerejaNya. Kehadiran gereja adalah alat dan sarana bagi karya penyelamatanoleh Kristus sendiri. Di situlah, Gereja bertindak sebagai jembatan yang mempertemukan sesama dengan Kristussendiri, dan antar sesama sebagai saudara di dalam Kristus.
Para Oblat menyadari dirinya sebagai orang-orang yang telah disapa secara khusus oleh Kristus, dipilih menjadi rekan kerja Allah sendiri, untuk menjadi ‘penjala’ bagi sesama saudara yang terabaikan (bdk. Mat 4:9). Sebagaimana para rasulNya menerima perutusan dari Yesus, Gereja menerima tanggungjawab untuk mengarahkan dan mengantar saudara-saudarinya kepada kehidupan yang baik. Tanggungjawab rasuli ini adalah untuk menuntun, mendukung dan menguatkan agar mereka tetap memiliki semangat hidup.
Siapakah Yesus dalam hidup kita?
Suatu tindakan kasih sudah seharusnya mengalir dari sebuah pengalaman personal dikasihi. Dalam Injil Yohanes 1:35-42, para murid Yesus yang pertama memiliki kisah yang sangat sederhana dalam perjumpaan mereka dengan Yesus. Tanpa banyak kata dan pertanyaan, para murid pertama langsung datang dan bahkan tinggal bersama Yesus. Hal ini diyakini oleh para murid sebagai anugerah terindah yang nantinya membawa mereka pada keselamatan dan kebahagiaan karena bersatu erat dengan Yesus. Dalam kesatuan dengan Yesus, para murid menemukan jatidirinya sebagai orang-orang yang dipilih, diberkati, dan diutus oleh Allah untuk berbagi kasih dengan sesamanya.
Mungkin saat ini kita mengalami pergulatan yang sama dengan para murid Yesus pertama. Mereka bertanya kepada-Nya, “Rabi (artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” Ia menjawab, “Marilah dan kamu akan melihatnya”. Pertanyaan para murid dan jawaban Yesus tersebut menginstropeksi diri kita sebagai umat beriman. Siapakah pribadi Yesus dalam hidup kita? Dia mengajak kita untuk mengalami sendiri kebersamaan denganNya. Selama bersama Yesus -terutama dalam kehidupan komunitas kristiani- kita temukan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan itu juga kita temukan dalam perjumpaan dengan sesama karena Yesus yang sama ada dan tinggal pada mereka.
Komunitas kristiani yang baik adalah komunitas yang mencerminkan hidup Yesus yang mencintai tanpa batas, yang bertindak sesuai dengan sikap Yesus yang melihat sesama sebagai saudara. Suatu komunitas orang beriman yang berani berjuang bukan lagi untuk dirinya sendiri tetapi demi kebaikan sesamanya dan Gereja. Kita semua dipanggil untuk itu.
Pelayanan para oblat terhadap terhadap kaum miskin
Dalam peziarahan hidup ini, para Oblat ingin mengikuti jejak langkah Guru Ilahinya. Kehadiran Yesus di dunia ini menyatakan semangat penggembalaan penuh kasih terhadap domba-dombanya. Ia mendekatkan dirinya kepada domba-dombaNya. Ia bukan gembala yang hanya duduk-duduk manis di atas kursi atau sofa yang empuk, tetapi gembala yang bergerak. Yang luka diobatinya, yang sakit disembuhkannya, yang lapar diberinya makan, yang haus diberinya minum, dan yang hilang dicarinya sampai ketemu.
Demikianlah para Oblat (dan rasa-rasanya juga berlaku bagi semua orang beriman kristiani tanpa terkecuali) tidak boleh berdiam diri apalagi membiarkan domba hilang begitu saja. Para Oblat harus selalu mencari dan mencari, merengkuh domba-domba dalam pangkuan kasih pastoralnya, sama seperti seekor induk ayam merangkul anak-anaknya. Baiklah jika setiap Oblat selalu ingat bahwa pelayanan utama mereka dalam Gereja adalah mewartakan Kristus dan kerajaan-Nya kepada orang-orang yang paling terlantar. Para Oblat mewartakan Injil kepada orang – orang yang belum menerimanya dan membantu mereka menemukan nilai-nilai yang mereka miliki dalam terang injil (Konstitusi OMI no.5).
Fr. Benekditus Neo, OMI
Majalah CARAKA Februari 2020