Muda, gigih dan berambisi, itulah kata yang bisa menggambarkan sosok orang muda yang satu ini. Dia adalah Bonfilio Yosafat Budi Hartono, kecintaanya pada tato melekat pada dirinya sejak kecil. Akrab dengan seni rajah jelas membuat orang muda yang satu ini juga mentato dirinya. Bahkan kedekatannya dengan tato membawanya lebih jauh lagi untuk melihat tato sebagai seni tradisi Indonesia yang harus dipertahankan.

 

Sebuah Perjalanan

Kecintaanya pada tato tradisional membuatnya melangkahkan kaki lebih pasti menembus wilayah pedalaman di Indonesia. Pria yang akrab disapa Bonbon ini pun sampai melakukan perjalanan ke Suku Dayak Iban,  Kalimantan Barat, tepatnya ke Desa Batu Lintang, Kabupaten Kapuas Hulu. Ekspedisi penelitian yang  dilakukannya menyangkut minatnya pada seni tato, termasuk sejarah dan filosofi di balik seni yang kerap kali mendapat stigma negatif sebagai bentuk kriminalitas atau kejahatan.

 

Kali ini, bersama tim Lintas, Bonbon bercerita mengenai pengalamannya melestarikan tato tradisional. Perjalanan demi perjalanan sebagai bukti bagi dirinya demi mengungkap tato tradisi yang perlu dilestarikan. Karya-karya fotografi dihasilkannya demi membuktikan bahwa tato bukan sekadar hiasan tubuh, namun ada nilai budaya dan tradisi disetiap tato. Salah satunya bersama seorang temannya, Bonbon mendatangi Suku Dayak Iban di Mei tahun 2017 lalu.

Bukan tanpa alasan, pria kelahiran 24 tahun silam ini mempunyai harapan di setiap perjalanannya berkunjung di beberapa daerah yang masih lekat dengan tradisi tato.  Sebelumnya, ia mencari budaya tato di masyarakat Dayak Iban ini dalam sebuah ekspedisi ke lokasi tersebut pada 2017. Ia melihat realita bahwa tato yang menjadi tradisi turun-temurun dan sebagai sebuah lambang identitas diri dan keberanian yang lambat laun terancam hilang.

 

Seni Tradisi yang Dihidupi

Berbekal tekad dan uang saku pas-pasan, ketertarikannya pada tato iban sebagai budaya membuatnya keyakinanya semakin kuat. Menariknya, tato iban dikenal dengan  proses yang menggunakan teknik manual yakni hand tapping.

Sebuah desa Sungai Utik seakan menyambut niat baik Bonbon dan temannya, di tempat itulah Bonbon menghabiskan waktu kurang lebih satu bulan untuk bercengkrama dan berbaur dengan masyarakatnya.

“Benar-benar pengalaman yang tak akan pernah terlupakan bagi saya pribadi, saya ikut merasakan hidup bersama mereka. Mulai dari berladang, berburu, menyatu dengan alam, dan mengikuti setiap aturan adat yang ada, “ ungkap mahasiswa fotografi ISI Yogyakarta ini.

Menurut Bonbon, di Suku Iban ada konteks spiritual  yang masih kental, sebuah kesatuan dengan alam  yang tidak bisa ditembus sembarang orang. Masyarakatnya pun menghargai dan hidup berdampingan dengan alam. Meski sempat ragu dan cemas masuk ke Suku Iban, Bonbon nyatanya diterima dengan sangat baik dan dianggap sebagai bagian keluarga mereka.

 

Potret Masyarakat dalam Sebuah Dokumentasi

Selama berada di Sungai Utik, Bonbon merekam berbagai aktivitas masyarakat, kondisi alam, dan budaya tato Dayak Iban melalui foto dan video. Sesuai tujuan awalnya untuk menyebarluaskan tradisi ini, karyanya kemudian dipamerkan sebagai upaya menerjemahkan realita perkembangan budaya merajah tubuh Dayak Iban.

Lewat film, rekaman wawancara, foto, buku yang nantinya ia ingin perlihatkan ke semua orang suku apapun di Indonesia. Harapannya, Bonbon mengaku agar semua bisa saling menjaga dan mencintai seni tradisi bangsa ini. “Banyak anggapan miring dengan apa yang saya kerjakan, tapi saya tidak meminta imbalan, malah saya pergi kesana dengan uang saya sendiri, “ ungkapnya menjelaskan.

Langkah Bonbon memang tidak selalu berjalan mulus, kalau selama ini tato dikaitkan dengan perilaku buruk, bahkan juga dinilai sebagai simbol kriminalitas. Kini Bonbon sebagai anak muda tetap mampu menujukkan prestasi dengan karya yang sudah dihasilkan.

Karyanya memang bertujuan menampilkan berbagai tradisi dan aktivitas masyarakat Dayak Iban sehari-hari, termasuk dengan tradisi tato yang nyaris hilang di suku di pedalaman Kalimantan itu. Menurut Bonbon,  budaya tato di masa lalu merupakan tanda yang menunjukkan status atau kelas sosial seseorang, misalnya perantau atau pun kesatria.

Namun belum banyak masyarakat yang mengetahui bahwa seni rajah telah jadi tradisi dari bangsa Indonesia sejak dulu. Dalam budaya Suku Dayak Iban sendiri, motif seni rajah memiliki arti yang berbeda-beda, bahkan pembuatan dan peletakannya tak boleh dilakukan sembarangan. Tujuan pembuatan tato tradisional ini pun beragam, mulai dari penangkal hal buruk hingga penghargaan dan peringatan atas suatu momen.

Karena menunjukkan identitas bahkan penghargaan, pembuatan dan peletakan tato tak dilakukan sembarangan. Namun kini, merajah tubuh tak lagi dipandang sebagai sebuah tradisi dan lebih lekat dengan stigma negatif. “ Jadi bukan soal kejahatan atau kriminalitas, namun sebagai ucapan syukur. Dan itu adalah hal yang positif, “ ujarnya.

Masyarakat Dayak Iban pun kini sedang berjuang mengembalikan tradisi budaya itu pada semangat yang sama. Keunikan-keunikan inilah yang berusaha ingin disampaikan oleh Bonbon melalui pameran karya-karyanya.

Menurutnya, pameran foto dokumenter dan buku foto yang dijual akan menjadi catatan sejarah kebudayaan serta dokumentasi visual, terutama bagi generasi mendatang.  “Pameran yang diadakan sebenarnya terjadi karena doa masyarakat Suku Ibam. Saya berusaha memamerkan karya ini karena mandat dari mereka untuk melestarikan tato Iban dan mempresentasikan kepada warga kota,” ucapnya.

Dengan caranya, Bonbon telah membuktikan pada masyarakat kota, stigma negatif pada tato seharusnya bisa tersapu. Tato adalah warisan leluhur, budaya Indonesia yang perlu dipertahankan agar tidak hilang.

“Sampai sekarang kan tidak sedikit orang-orang bertato dan orang yang menato menerima diskriminasi, bahkan hingga sulit mendapatkan pendidikan atau pekerjaan impian. Itu jadi keprihatinan juga karena anggapan yang selalu negatif soal tato, “ ungkap pria yang sempat berkeinginan masuk seminari ini.

 

 Tato sebagai Simbol Kehidupan Manusia

Pria yang mempunyai tato di beberapa bagian tubuhnya ini pun mengaku tidak merokok apalagi minum atau mabuk. Tato adalah sebuah bentuk klimaks dari pemaknaan perjalanan hidupnya yang naik turun sampai saat ini. Kisah kelam masa lalu dalam keluarga membuat Bonbon menjadi pribadi yang lebih bertanggung-jawab atas hidupnya sendiri.

Perjalanan menyeimbangkan pendidikan di bangku kuliah dan pekerjaan memang menjadikannya sebagai orang muda yang penuh kegigihan. Prestasi Bonbon dalam dunia fotografi patut diacungi jempol, penghargaan demi penghargaan sejumlah kompetisi foto berhasil ia raih. “Kuliah, kerja dan ikut pameran. Ya semua saya lakukan demi konsisten mempertahankan prestasi. Mengikuti perlombaan sampai akhirnya mendapatkan beasiswa, “ sambung pria yang ingin terus mengabdi ke masyarakat lewat karya fotografinya ini.

Semakin menarik, pria betubuh gempal ini tidak hanya berkisah mengenai pengalaman dalam menghidupi seni tradisi tato dalam karya-karya produksinya. Di samping itu, Bonbon mencintai seni rajah dan memperdalam khazanah tato. Sebagai manusia yang memiliki, pikiran dan rasa Bonbon terlihat menyatu dengan tubuh dan dirinya sebagai kesatuan kehidupan yang hakiki.

Pertama, di kaki kanannya ada foto ibunya yang mengingatkan Bonbon saat melangkah dalam kehidupan. Di  tangan kirinya, secara bolak-balik ada gambar Bunda Maria dan Yesus yang nampak indah. Ada juga di tangan kanan, sosok Bima tergambar jelas sebagai penggambaran seorang pekerja keras dan baik hati.

Selain itu, sekarang dia sudah memiliki tato Iban seperti bunga terung di bahunya. Bahkan terakhir, sebelum pulang ke Yogyakarta dari Suku Iban,  Bonbon ditato di lehernya sebagai simbol ibu yang mendamaikan kedua anak di bahu kanan dan kirinya oleh masyarakat disana. Dibalik itu, ada kombinasi gambar burung pelikan sebagai simbol Kekatolikan.

 

Pahit Manis Perjalanan Menghidupi Tato Tradisional

Bagi Bonbon, tato tidak hanya ia lihat sebagai lukisan di tubuhnya saja. Lebih dari itu, melalui tato pengalaman menghidupi hidup semakin terasa lebih berarti. Lewat tato, ia semakin mencinta seni tradisional bangsa Indonesia. Bertemu dan bercengkrama dengan banyak orang di setiap wilayah yang ia kunjungi.

Bahkan dari tato Bonbon mendapatkan keluarga baru berkat keramahan dan kebaikan masyarakat Suku Iban yang pernah beberapa kali ia kunjungi. Kepala Suku Iban juga memberikan pesan untuk Bonbon agar lewat karyanya, ia bisa membawa tato Iban ke presiden Indonesia. Itu termasuk harapan yang sampai saat ini berusaha ia wujudkan demi masyarakat Kalimantan.

“Itu cerita yang membahagiakan, namun ada juga pengalaman yang kurang beruntung di perjalanan saya. Saat sekumpulan anak muda dari Kalimantan yang tinggal di Yogya, menilai negatif apa yang saya lakukan ini, “ceritanya menerangkan.

Berawal dari sebuah kesalahpahaman, kejadian tersebut sempat membuat ragu dalam hati Bonbon. Masih banyak mimpi yang ingin ia wujudkan lewat tato tradisional di Indonesia, namun masih saja dinilai mencari keuntungan pribadi dari apa yang dilakukannya.

Datang dengan berbekal riset mengenai Suku Iban, Bonbon sang fotografer muda ini tidak membawa hadiah atau uang. Ia justru datang dengan membawa salib. Melalui pendekatan salib, cukup menarik perhatian saat masyarakat disana ditempatkan sebagai apa adanya, bukan untuk kepentingan pribadi atau objek eksploitasi visual saja.

 

Tradisi di Tangan Anak Muda

Bagi Bonbon, perjalananya sampai saat ini tidak terlepas dari campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Masa sulit yang membawanya mengenal tato dimaknainya sebagai sebuah proses hidup yang menguatkan imannya. “Tidak terbayang sampai sekarang, dulu mimpinya hanya ingin tato tidak dilihat sebagai kriminalitas saja. Namun ada nilai seni tradisi yang sudah sejak dulu melekat di daerah pedalaman Indonesia. Sekarang jadi semakin mencintai dunia tato dan masyarakatnya, “ jelasnya.

Ini aset budaya yang perlu dipertahankan, bukan dibiarkan hilang begitu saja. “Tujuan saya jelas untuk mempresentasikan hasil ekspedisi. Sekaligus memperkenalkan budaya tato tradisional Suku Dayak Iban pada masyarakat luas,” ungkapnya.

Baginya, dalam berkarya itu rasa capek itu wajar apalagi jika dinilai negatif oleh orang lain yang memandang apa yang kita lalukan. Namun Bonbon bertekad akan terus mengabdi kepada masyarakat lewat apa yang bisa dilakuannya dengan mengarsipkan dan mendokumentasikan tato tradisional. “Masih ada 9 suku lagi yang ingin saya datangi demi melihat dan mengenal tato tradisional di Indonesia. Di bulan Agustus saya akan mendekatkan diri ke Borneo tato. Enggak banyak orang tertarik, tetapi kalau bukan kita sebagai anak muda siapa yang mau menjaga tradisi bangsa sendiri?, “ pungkasnya.

 

Narasumber : Bonfilio Yosafat Budi Hartono

Pencinta seni tato dan fotografi

 

Penulis: Vincensia Enggar L