Kadangkala, antara praktek liturgi dan pastoral tidak mendapat titik temu. Salah satunya, ketika mendoakan arwah. Bagaimana keduanya dipertemukan?

Pagi itu Rama Wahyu bersiap-siap untuk pergi ke Lingkungan St. Petrus Pringgodani untuk memimpin Misa pemberkatan jenazah untuk Bapak Stefanus Mulyarejo yang kemarin sorenya dipanggil Tuhan. Misa tersebut akan dimulai jam 10.00 dan selanjutnya pemakaman dijadwalkan jam 12.00.

Bila pemberkatan jenazah dilangsungkan dalam perayaan Ekaristi, maka perayaan itu biasa disebut Misa Requiem. Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) menyatakan: “Misa arwah terpenting ialah yang dirayakan pada hari pemakaman” (no. 380). Yang harus diperhatikan ialah homili saat Misa Requiem karena pada waktu itu biasanya dihadiri oleh banyak orang dari berbagai agama pula. Homili yang baik saat Misa Requiem ialah yang isinya tetap fokus mewartakan Injil Yesus Kristus dan tidak jatuh pada sekedar memuji-muji orang yang meninggal itu dan lupa mewartakan Kristus Tuhan kita (bdk. PUMR no. 382&385). Upacara pemberkatan jenazah ini, entah dalam bentuk Misa atau Ibadat, dapat mengikuti buku Tata Laksana Melepas Jenazah halaman 49-83. Setelah upacara pemberkatan jenazah usai dapat dimasukkan unsur-unsur budaya setempat yang baik untuk menghormati orang meninggal, misalnya sambutan-sambutan, penghormatan terakhir dari para tamu, dan tlusuban dari para ahli waris sebagai ungkapan hormat bakti dan mohon doa restu.

Prosesi perjalanan ke makam dimulai dengan doa pemberangkatan yang dapat dipimpin oleh Imam atau Prodiakon. Perjalanan ke makam dapat dipahami sebagai lambang perjalanan peziarahan kita menuju tanah air surgawi. Selanjutnya Imam atau Prodiakon memimpin upacara pemakaman (lih. buku Tata Laksana Melepas Jenazah hlm. 87-94). Seluruh upacara ini bertumpu pada iman Gereja akan Yesus Kristus yang telah wafat dan bangkit bagi keselamatan kita, sebab Tuhan telah bersabda: “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54).

*****

Suatu hari, ada pengurus salah satu lingkungan yang memohon seorang Rama untuk memimpin Misa Arwah pada hari ke-6 atau ke-7. Rama itu disodori sebuah kertas yang berisi jadwal Misa Arwah hari pertama hingga ketujuh, dan dalam daftar sudah terisi dengan nama para Rama yang berbeda untuk lima hari. “Oh jadi setiap hari hingga ketujuh itu ada Misanya ya?” tanya Rama itu. “Iya Rama, karena yang meninggal ini tokoh umat dan memiliki banyak kenalan Rama, termasuk Rama kan?” kata pengurus itu. Rama itu diam dan menggeleng-gelengkan kepala.

Sudah menjadi kebiasaan di tengah umat adanya doa peringatan arwah sejak malam hari sesudah pemakaman hingga hari ketujuh, dan kemudian dilanjutkan pada hari ke-40, satu tahun, dua tahun dan terakhir: seribu hari. Seluruh rangkaian doa peringatan arwah bertumpu pada iman Gereja yang kokoh kepada belas kasih Allah yang telah ditampakkan melalui Tuhan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, sehingga kita memiliki pengharapan akan kebangkitan orang mati. Kehadiran umat beriman dalam doa peringatan arwah mengungkapkan makna Gereja sebagai persekutuan para kudus yang tetap terjalin dan terhubung dalam kesatuan umat beriman, yakni yang meliputi para kudus di surga, kita yang masih hidup di dunia, dan mereka yang telah meninggal dan masih di api penyucian.

Pertanyaannya adalah: apakah peringatan arwah harus selalu dengan Misa, apalagi selama tujuh hari berturut-turut seperti contoh di atas? Jawabannya: tidak harus, karena ibadat pun juga sangat baik. Seperti kemarin telah disebutkan bahwa Misa arwah terpenting ialah Misa pada hari pemakaman. Secara liturgis tentu tidak ada larangan untuk Misa selama tujuh hari itu; tetapi secara pastoral hal seperti ini mesti ditinjau kembali sebab akan menjadi tidak bijaksana bila mengingat banyaknya keluarga atau umat yang tidak mungkin seperti itu, entah karena kebijakan Paroki, atau tidak mempunyai kenalan Rama, atau bukan “tokoh umat”.