Semarang – Suasana Idul Fitri menjadi kesempatan bagi komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) Kevikepan Semarang bersama Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) dan para tokoh agama Kota Semarang untuk kian gencar menebar jaring persaudaraan dan toleransi. Hari itu, Selasa (16/04/24) sore bertempat di kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Jalan Singosari Raya, No. 33 Semarang, tokoh-tokoh agama yang dikomandoi ketua HAK Kevikepan Semarang Romo Eduardus Didik Cahyono, SJ bersilaturahmi dan berhalal bihalal dengan ketua PWM Jateng, Dr. KH Tafsir, MAg.
Setidaknya ada 7 tokoh agama yang hadir dalam kegiatan tersebut, utusan dari Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Aliran Kepercayaan, Ahmadiyah dan Katolik. Suasana begitu cair dan bersahabat. Diawali dengan perkenalan masing-masing dari perwakilan agama dan kepercayaan. Tampak hadir pula ketua Pelita Semarang, Setyawan Budy atau yang akrab disapa Wawan, serta empat Suster dari Tarekat OSF dan OSA.
Dalam silaturahmi dan halal bihalal ini, dengan suasana santai KH Tafsir mengurai seputar kata halal bihalal. Menurutnya, halal bihalal bukan ritual, tetapi amalan sosial. Maka tidak melihat batas agama apapun. Halal bihalal itu untuk semua. Halal bihalal sendiri artinya saling menghalalkan satu sama lain yang mengalami pengharaman komunikasi. Maka harus dihalalkan kembali.
Tafsir memberi contoh, “Misalkan, saya bertengkar dengan Romo Didik sehingga tidak bertegur sapa. Maka supaya bertegur sapa kembali itu namanya halal bihalal. Saling menghalalkan komunikasi yang terputus.”
Tandasnya kembali, sebetulnya halal bihalal itu pekerjaan berat, bagi yang bermasalah. Bagi yang tidak bermasalah itu pekerjaan yang mengasyikkan. Artinya betapa beratnya orang rukun kembali setelah berkonflik. Jadi halal bihalal adalah merukunkan kembali, mengharmoniskan kembali persaudaraan yang terputus atau mengalami keterputusan komunikasi. Sehingga posisi saat idul fitri menjadi kosong-kosong.
“Saat lebaran selalu ada masakan lontong, ketupat (kupat) dan opor ayam. Lontong merupakan simbol yang artinya ‘olone dadi kothong’ (keburukannya jadi kosong atau nol). Kupat artinya ngaku lepat, artinya mengakui kesalahan. Maka saling minta maaf. Untuk menjalin silaturahmi kembali. Demikian pula hidangan opor ayam yang terbuat dari santan (santen) memiliki makna atau filosofi pangapunten atau permintaan maaf,” urai Tafsir.
Sementara itu, ketua HAK Kevikepan Semarang, Romo Didik mengaku bersyukur karena tradisi saling berkunjung dan mengunjungi antar umat beragama di Kota Semarang masih terus terajut. “Kami memiliki tradisi untuk saling mengunjungi ketika hari raya keagamaan masing-masing. Dan secara khusus hari ini, kita ikut bergembira bersama dengan umat muslim untuk merayakan hari raya Idul Fitri. Maka kami bersama dengan teman-teman dan tokoh-tokoh lintas agama dan kepercayaan berkunjung ke kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah untuk bersilaturahmi, halal bihalal, dan mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin,” ucapnya.
Romo Didik mengakui, sejak dirinya ditugaskan di Kota Semarang di tahun 2016, kegiatan berkunjung dan mengunjungi ini terus terjalin sepanjang tahun. Selain berbagi kunjungan, kerjasama lintas agama rupanya beberapa kali telah dilakukan, misalnya adanya bakti sosial bersama. Ini sesuatu yang pantas kita syukur, karena dapat bekerja sama dengan Muhammadiyah tidak hanya berhenti pada tingkat struktural di atas, tetapi ada kerja sama di tingkat masyarakat.
“Dan ternyata kerukunan dan kerja sama umat beragama tidak hanya berhenti pada level pimpinan saja, namun juga sudah terhayati dalam kebersamaan dengan masyarakat dan umat beragama di tingkat-tingkat yang lebih kecil,” tandasnya. (BD Elwin J)