MEWARTAKAN KABAR BAIK DI TENGAH KRISIS LINGKUNGAN HIDUP
“Busur-Ku Kutaruh di awan supaya menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi” (Kej. 9:13)
Empat tahun lalu Paus Fransiskus menerbitkan Ensik-lik Laudato Si’, “Terpujilah Engkau” (24 Mei 2015). Dalam Ensiklik itu Paus berbicara tentang perawatan bumi, rumah kita bersama. Diilhami oleh Gita Sang Surya Santo Fransiskus dari Asisi, Paus mengingatkan kita bahwa bumi bagaikan se-orang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan sebagai se-orang ibu yang mengasuh kita. Tetapi saudari dan ibu kita ini sekarang menjerit karena segala kerusakan yang ditimpakan kepadanya oleh manusia yang dengan rakus menjarah bumi. Karena kekerasan hati manusia, saat ini tanah, air, udara, dan semua makhluk hidup menderita sakit (LS 1-2). Paus berseru agar umat Katolik bersama seluruh masyarakat dunia bangun dari sikap acuh tak acuh, membuka mata bagi kerusakan bumi dan sebab-sebabnya, dan tanpa menunda bersama-sama men-cari serta mengusahakan suatu solusi sebelum terlambat.
Kerusakan lingkungan hidup sekarang ini merupakan akibat kegiatan manusia dan bukanlah suatu proses alamiah yang memang juga sudah beberapa kali terjadi dalam sejarah panjang kehidupan di bumi. Manusia modern dengan kema-juan ilmunya berhasil mengembangkan teknologi tinggi. Hal ini telah membawa banyak kemudahan bagi kehidupan kita sekarang: penerangan listrik, sarana transport, alat komu-nikasi, dst. Tetapi, ada pula risiko dan sisi negatif yang tidak lepas dari kebudayaan zaman sekarang.
Manusia modern telah berubah menjadi lebih individ-ualis, kurang takwa kepada Allah dan kurang peka satu sama lain. Keterpusatan manusia pada dirinya (antroposentrisme) dan kecenderungan individualisme membuat manusia lebih egois dan rakus. Segelintir orang yang memiliki modal dan
menguasai teknologi tinggi, dengan sangat cepat dapat meng-garuk sumber daya alam demi menambah kekayaan dan kuasa mereka sendiri. Mereka mampu memproduksi barang yang berlimpah-limpah dan menciptakan pasar yang luas sambil meyakin-kan kita bahwa kita membutuhkan kelebihan produk, makanan, fasilitas, dan hiburan yang mereka sedia-kan itu. Mereka menjadikan kita konsumen mereka, manusia yang konsumeristis, dengan tujuan untuk memindahkan uang dari dompet kita ke account mereka. Dan orang-orang yang tak kuat membeli…? Mereka diabaikan saja dalam kemiski-nannya.
Dua ratus tahun lalu hanya ada satu miliar manusia di bumi, dan mereka mengambil dari bumi apa yang mereka bu-tuhkan untuk dapat hidup. Saat itu pertanian, pertambangan, industri, dan perniagaan umumnya dilakukan secara ramah lingkungan sehingga keadaan bumi tetap stabil.
Sekarang sangat berbeda. Perusahaan-perusahaan besar dengan teknologi tinggi, lahan yang luas, dan aneka pertambangan, mengeruk dari bumi bahan baku yang seba-nyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, dan bersaing untuk menjual produk-produk industri mereka kepada tujuh setengah miliar penduduk bumi saat ini. Mereka berusaha keras agar bagian masyarakat yang mempunyai uang membeli produk mereka secara berlebihan dan memboroskannya. Bumi tidak lagi dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk lain yang ada sekarang dan akan ada di masa depan, tetapi dirampok untuk secepatnya menghasilkan ke-kayaan dan kekuasaan besar bagi segelintir konglomerat yang membujuk kita untuk belanja dan mengonsumsi lebih daripada yang kita butuhkan. Gaya pertanian, peternakan, pertambangan, produksi, pasar, dan konsumsi umat manu-sia sekarang ini amat mengikis kekayaan bumi dan merusak keutuhan alam ciptaan sehingga mengancam kehidupan di planet ini (Bdk. Laudato Si’ no 102-121).
(Materi ini dapat didownload, klik link dibawah ini)
[WPSM_AC id=505]
Mantap dan mantappp