Duc In Altum (foto ilustrasi: dok.pri)

 

Apakah ada kenyamanan bersama Tuhan dalam doa-doa kita? Atau malah hanya menjadi sekedar rutinitas yang berujung pada hambarnya relasi? Ketika relasi dengan Tuhan didasarkan pada sebuah rutinitas alangkah hambarnya relasi yang akan terbangun. Melakukan sebuah ritus keagamaan tanpa kenikmatan. Hanya ala kadarnya. Atau menghindari rasa malu dari tetangga atau sahabat seiman. Tanda-tandanya jelas: doa kok sambil main HP, doa kok sambil ngrumpi dengan teman kanan-kirinya, pas romo kotbah kok malah kotbah sendiri dengan teman-temannya atau kegiatan lainnya.

Sebuah kewajiban. Inilah yang sering kali menjadi penghalang untuk merasakan dan menikmati kemendalaman relasi dengan Tuhan. Banyak praktek ritual keagamaan yang dilakukan sebatas kewajiban. “Karena agama mewajibkan begini!” Demikian alasan yang sering terdengar.

Mengapa menjadi kewajiban? Agama seperti menjadi dewa, bahkan kehidupan beragama pun dibatasi oleh negara. Orang tidak menjadi bebas untuk memilih. Ketika seseorang memilih sebuah agama yang tidak diakui oleh negara, jangan harap bisa mendapatkan Kartu Tanda Penduduk. Atau ketika ia memilih yang berbeda, siap-siap saja dikeroyok dan dihancurkan. Agama termanifestasi dalam aturan-aturan, hukum-hukum, dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pemeluknya. Atas nama agama, semua tindakan manusia bisa dibenarkan. Tidak tanggung-tanggung, tindakan yang dibuat itu pun berdasarkan dalil-dalil Kitab Suci. Perbuatan merugikan orang lain, bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain pun, bisa dibenarkan jika ada dasar alkitabiahnya. Luar biasa.. Apakah kebenaran wahyu Allah sudah terangkum dalam pola pikir dan tafsir manusia?

Mengapa bisa demikian? Karena kita tidak berani masuk lebih dalam dan menghancurkan sekat-sekat keakuan, rasa malu, atau keegoisan. Untuk bisa mencapai relasi intim dibutuhkan motivasi terdalam: beriman. Iman adalah tanggapan atas wahyu Allah. Tanggapan itu tidak hanya dengan mengiyakan, tetapi tanggapan juga nyata dalam hidup sehari-hari. Seorang suami dikatakan mencintai keluarganya ketika ia mau bekerja dan menghidupi keluarganya serta mendidik anak-anaknya. Ketika seorang cowok datang kepada ceweknya dan memberikan sekuntum bunga, itulah tanda nyata cinta dari sang cowok kepada ceweknya. Iman nyata ketika ia memilih sebuah agama tertentu. Iman itu menjadi semakin nyata lagi ketika seseorang mewujudkannya secara nyata dalam hidup hariannya.

Paulus mengatakan, “iman tanpa perbuatan adalah mati!” Kiranya tepat sekali rumusan Paulus tersebut. Iman harus konkret. Iman harus nyata sebab iman bukan soal seberapa banyak mulut kita mengucapkan kata-kata pengakuan. Iman adalah pengakuan yang diwujudkan dalam tindakan konkret.

Relasi yang intim dengan Tuhan mengajak kita, umat-Nya, untuk tidak hanya berhenti pada pembenaran mutlak atas klaim agama. Namun bergerak ke tempat yang lebih dalam: beriman pada Dia yang kita yakini. Beriman bukan hanya beragama. Beriman menuntut kita untuk hidup sesuai dengan apa yang kita yakini. Sikap dasar yang tepat dalam menghayati iman akan memunculkan sensasi. Bukan hanya sensasi sesaat yang membuat seseorang melayang lalu sesudahnya terhempas dalam kekeringan. Betapa kita bisa melukiskan rasa kita ketika sedang berdzikir. Mungkin malah tidak terlukiskan dengan kata-kata. Tapi apakah itu punya makna dalam hidup? Atau hanya menjadi sekedar kenikmatan sesaat dan sesudahnya menguap bersama berjalannya sang waktu?

Relasi yang intim dengan Tuhan mestinya  berdaya ubah dalam hidup. Relasi yang intim dengan Tuhan akan menjadikan hidup semakin berkembang menuju kesempurnaan. Relasi yang intim dengan Tuhan adalah nikmat bersama Tuhan dalam doa dan nyata dalam hidup.