Setelah mengikuti pertemuan BKL dan dalam perjalanan pulang ke rumah, Ibu Paulus bertemu dengan Ibu Dora. “Malam-malam kok jalan sendirian! Dari mana to Jeng?” sapa Ibu Dora. Ibu Paulus pun menjawab: “Dari pertemuan BKL Bu. Hari ini pertemuan terakhir”. Dengan agak menyindir, Ibu Dora menyahut: “Rajin sekali Jeng Paulus ini. Kalau aku sih sengaja ndak ikut. Menurutku ndak ada manfaatnya ikut kumpul-kumpul BKL. Yang penting kan ke gereja pada hari Minggu. Toh aku tetep bisa doa dengan baik tanpa ikut BKL”.

Tentu yang dikatakan oleh Ibu Dora tersebut tidak tepat. BKL bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai hal-hal yang terkait dengan liturgi. Bagaimana kita bisa menghayati perayaan liturgi jika kita tidak paham atau tidak mengetahui arti dari apa yang kita rayakan? Kita akan memandang perayaan liturgi sekedar sebagai aturan dan kewajiban. Bagaimana hidup kita akan berkembang dan berbuah jika perayaan-perayaan liturgi tidak menggerakkan kita karena kita sendiri tidak memahami apa yang kita buat dan rayakan?

Liturgi mengubah kehidupan! Inilah tema yang kita dalami selama sebulan terakhir. Perubahan ini tidak akan terjadi secara otomatis begitu kita selesai mengikuti suatu perayaan liturgi. Untuk mencapai perubahan, dibutuhkan ketekunan, pemahaman dan penghayatan terus menerus. Di Keuskupan Agung Semarang, BKL sudah berlangsung selama 20 tahun. Setiap tahun ditawarkan tema-tema tertentu yang membantu kita untuk semakin memahami arti dari perayaan liturgi-liturgi kita. Memang setelah ikut pertemuan atau membaca bahan BKL kita tidak akan berubah dalam sekejab dan kehidupan kita juga tidak lalu menjadi baru secara tiba-tiba. Bahan-bahan BKL seperti air yang menetes sedikit demi sedikit dan memberikan pencerahan bagi kita bagaimana kita dapat menghayati liturgi. Pelan-pelan hidup kita berubah. Perubahan dalam hidup kita pada akhirnya yang akan merubah kehidupan di sekitar kita.