Ibu Tentrem adalah seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun.Penampilannya sederhana dan kalem. Hidupnya kelihatan damai. Ia suka berbagi pada orang di sekitar. Tutur kata yang keluar dari mulutnya selalu bernada positif dan meneguhkan orang yang mendengarnya. Suatu ketika ada tetangga yang bertanya kepadanya, “Bu, apa sih rahasianya kok Ibu hidupnya kelihatan damai dan membuat orang lain merasa nyaman dan senang?” Bu Tentrem menceritakan apa yang ia buat selama ini: “Setiap pagi saya mengikuti perayaan Ekaristi di gereja. Karena rumah saya agak jauh dan naik sepeda, saya berangkat satu jam sebelumnya. Saya usahakan paling lambat 15 menit sebelum Ekaristi dimulai, saya sudah duduk tenang di gereja sehingga bisa menyiapkan hati dengan baik. Setelah perayaan Ekaristi, saya juga tidak kemrungsung untuk segera pergi meninggalkan gereja. Saya menikmati waktu kebersamaan dengan Tuhan. Apalagi jika saya bertugas sebagai lektor. Saya akan mempersiapkan bacaannya dan berlatih dahulu dengan baik. Dengan demikian umat akan terbantu berdoa. Sayapun juga dapat mengerti yang saya baca“.
Apa yang dilakukan oleh Ibu Tentrem ini menjadi contoh yang baik bagi kita agar perayaan liturgi berdayaguna dan berbuah dalam hidup sehari-hari. Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari pengalaman Ibu Tentrem: 1). Kita perlu mempersiapkan hati kita dengan baik misalnya dengan datang lebih awal. Jika kita memiliki waktu untuk hening terlebih dahulu dan berdoa pribadi, kita akan dapat menghayati perayaan. 2). Para pelayan atau petugas liturgi perlu mempersiapkan diri dan tugas-tugasnya dengan baik. 3). Tata perayaan liturginya sendiri juga harus dipersiapkan. Jika ketiga hal tersebut dipersiapkan dengan baik, perayaan liturgi akan bermakna dan hidup sehari-haripun akan dijiwai olehnya.