Kadang kita mendengar bahwa ada orang yang rajin ke gereja dan selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan doa di lingkungan. Namun orang tersebut dalam hidup sehari-hari suka membicarakan kejelekan orang lain, kurang peduli pada tetangga yang sedang mengalami kesusahan dan sering cek-cok dengan keluarga. Seolah-olah kegiatan-kegiatan liturgi dan doa-doa di gereja atau lingkungan tidak ada hubungannya dengan sikap hidup sehari-hari. Keduanya menjadi dua hal yang terpisah dan tidak ada kaitannya satu sama lain. Kadang kita pun juga bertingkah laku demikian. Sepulang dari gereja kita mudah marah dan bahkan mengumpat karena berpapasan dengan orang yang kurang berhati-hati ketika berkendaraan di jalan. Kita pun marah ketika sampai di rumah dapur dan ruang tamu masih berantakan. Kita lupa bahwa baru saja ikut merayakan ekaristi atau liturgi yang lain.

Liturgi merupakan puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja dan sumber kekuatan untuk kehidupan (SC 10). Artinya adalah semua kegiatan Gereja pada akhirnya mengarah pada perayaan liturgi dan dalam perayaan liturgi tersebut kita kemudian diutus untuk kembali ke kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, dari perayaan liturgi kita mendapatkan kekuatan untuk menjalani tugas dan tanggung jawab di tengah keluarga dan masyarakat. Perayaan-perayaan liturgi sekaligus menuntut sikap hidup yang sesuai dan nyata. Maka tidaklah tepat apabila setelah mengikuti kegiatan liturgi di gereja atau lingkungan kita bertingkah laku menurut keinginan diri kita saja. Kita merayakan iman akan Yesus Kristus dalam kegiatan liturgi dan kita wujudkan iman kita itu dalam tindakan nyata sehari-hari. Baik perayaan dan perwujudan iman tidak terpisahkan namun saling menguatkan dan meneguhkan.