Sebagian orang tua memiliki kebiasaan untuk memberkati anak-anak yang akan meninggalkan rumah. Misalnya saja sewaktu anak-anak mau berangkat ke sekolah. Anak-anak tersebut mencium tangan ayah atau ibu. Setelahnya orang tua memberikan berkat berupa tanda salib di dahi anak. Suatu hari Bapak Sianturi mengatakan bahwa hanya imam saja yang boleh memberikan berkat berupa tanda salib itu pada dahi anak. Alasannya adalah bukankah pada saat „komuni bathuk“ di gereja anak-anak minta berkat ke imam dan tidak ke orang tua. Bapak Sianturi kemudian berkesimpulan bahwa hanya imam yang boleh memberi berkat berupa tanda salib di dahi anak.
Tindakan memberi berkat berupa tanda salib di dahi anak tidaklah termasuk dalam liturgi Gereja. Berkat semacam ini termasuk dalam sakramentali yang tidak semua pelayannya adalah imam. Dalam hal ini, memberikan berkat berupa tanda salib pada dahi anak juga boleh diberikan oleh orang tua. Pada saat misa memang imam yang memberkati anak-anak agar anak-anak terbiasa untuk pergi ke gereja dan merindukan berkat dari imam tersebut. Namun dalam keluarga, orang tua juga dapat membuat tanda salib di dahi anak. Kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang tua ini justru perlu dikembangkan.
Tindakan sakramentali ini akan membantu dan membawa umat untuk semakin mampu menghayati perayaan-perayaan sakramen. Berkat pada dahi anak berupa tanda salib juga dapat membantu umat untuk menghayati bahwa hidup doa dan kehidupan sehari-hari tidaklah terpisah. Justru sebaliknya yaitu iman yang kita rayakan secara meriah dalam liturgi Gereja terus berlangsung di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.