Pada hari Minggu sesudah Misa Kudus di parokinya, di tempat parkir mobil, Keluarga Yosef – Maria dengan dua anaknya sedang mau masuk ke mobil. “Wah Katrin dan Antok tampak sehat dan gembira sekali ini…” sapa Pak Petrus, Ketua Lingkungan mereka dari belakang sambil menunjuk dua anak keluarga itu. Bu Maria menjawab: “Ahhh pak Petrus…ya ini anak-anak habis Misa mau ajak kuliner”. Pak Yosef melanjutkan: “Lha bu Petrus di mana ni pak?”. “Oh masih di belakang, tadi ketemu bu Joko”, kata pak Petrus. “Sesudah habis Misa begini…rasanya hati selalu bersukacita ya…apalagi dilanjut dengan kuliner. Ha ha ha”, lanjut pak Petrus. “Iya memang begitu rasanya….gembira karena telah Misa dan berjumpa dengan Tuhan” kata pak Yosef, yang dijagokan Lingkungannya menjadi prodiakon baru nanti.

Aura sukacita keluarga Yosef – Maria dan pak Petrus menggambarkan bahwa sadar atau tidak sadar liturgi itu selalu berdampak. Bagaimana juga perjumpaan dengan Tuhan dalam Ekaristi, terlebih melalui komuni suci tentu memberi efek atau dampak: sukacita. Paus Fransiskus berkata bahwa sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus (EG 1). Itulah sebabnya BKL tahun ini berjudul Liturgi Mengubah Kehidupan (?). Menari di sini, karena judul BKL dengan tanda tanya dalam kurung (?). Mengapa? Ya karena kita diajak untuk bertanya dalam hati kita masing-masing.

Liturgi yang mengubah hidup tidaklah otomatis. Ketika Tuhan Yesus menyampaikan perumpamaan tentang benih yang ditabur ke macam-macam jenis tanah (lih. Mrk 4:1-20), mau disampaikan bahwa Sabda Tuhan itu baik dan suci dari sononya. Tetapi apakah Sabda Tuhan itu tumbuh dan menghasilkan buah, alias mengubah hidup orang, tidaklah otomatis. Sebaliknya Sabda Tuhan bergantung pula pada jenis tanah masing-masing. Begitu pula liturgi itu baik dan kudus, sebab merayakan misteri karya keselamatan Allah bagi kita. Akan tetapi perayaan liturgi ini mengubah atau tidak, sangatlah bergantung pada jenis masing-masing orang: mendengarkan, merenungkan dan kemudian melaksanakan, atau tidak?