Meskipun sudah tua dan sering jatuh sakit, Pak Mateus tidak mau menerima sakramen Pengurapan orang sakit. Alasannya adalah sakramen tersebut ditujukan untuk mereka yang mau meninggal dunia. Keluarga Pak Mateus pun tidak mau memintakan sakramen Pengurapan kepada Rama paroki karena menurut mereka orang-orang sakit yang menerima sakramen Pengurapan justru akan lebih cepat meninggal dunia.

Seringkali ada pemahaman keliru mengenai sakramen pengurapan orang sakit. Sakramen ini dianggap sebagai “penghantar menuju kematian”.Umat menjadi takut menerima atau memintakan sakramen tersebut karena dipandang “mengundang” kematian. Memang dalam pandangan lama, sakramen Pengurapan Orang Sakit disebut sebagai “sakramen pengurapan atau perminyakan terakhir”.Sakramen ini kerap dihubungkan dengan kematian. Pandangan seperti inisudah tidak tepat lagi. Sekarang, sakramen pengurapan orang sakit dipahami sebagai sakramen yang mempersatukan orang yang sakit itu dengan seluruh peristiwa hidup Yesus Kristus, terutama dalam wafat dan kebangkitan-Nya (Lumen Gentium art. 11). Orang yang menderita sakit diajak untuk menggabungkan diri dengan derita Kristus. Dengan demikian, ia tidak menjadi putus asa.Dengan mempersembahkan penderitaannya pada Tuhan, ia merasa dikuatkan dan semakin bisa memberi makna pada penderitaannya.

Aspek “menguatkan” dalam sakramen Pengurapan Orang Sakit dapat semakin ditampakkan dengan kehadiran orang-orang (keluarga atau umat lingkungan) pada saat penerimaan sakramen tersebut. Karena itu, kita diajak untuk ikut hadir dalam penerimaan sakramen Pengurapan Orang Sakit, memberi peneguhan pada yang sakit dan bukannya menakut-nakuti dengan penjelasan yang keliru mengenai sakramen ini.