“Hai! Warna rosariomu kok aneh, merah putih?” tanya Winda pada Nuridi halaman gereja pada hari Minggu. “Baguslah! Seperti bendera merah putih. Ini baru lho. Rosario ini merupakan pemberian tante saya yang tinggal di Jakarta,” jelas Nuri. “Luar biasa. Sudah dipakai untuk doa?” tanya Winda lagi. “Belumlah. Saya mau inreyen selama Misa nanti,” imbuh Nuri penuh semangat. “Hus. Selama Misa? Nekad kamu! Dalam Misa, tidak dibenarkan doa rosario sendiri sehingga kita mengabaikan keterlibatan dan kesatuan kita dengan Misanya sendiri.”
Selama merayakan Ekaristi, tidak jarang ada umat yang asyik dengan devosi pribadi. Padahal perayaan Ekaristi tidak pernah menjadi doa pribadi. Perayaan Ekaristi adalah perayaan bersama seluruh Gereja. “Upacara-upacara Liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup.” (SC. 26).
Memang kita merayakan Ekaristi dengan membawa berbagai ujud kebutuhan pribadi dan syukur atas berkat Tuhan. Namun kita perlu ingat bahwa merayakan Ekaristi merupakan perayaan bersama seluruh Gereja. Untuk itu, sudah selayaknya apabila kita ikut ambil bagian dalam perayaan tersebut dan tidak malah sebaliknya asyik dengan diri sendiri. Antara lain kita ikut bernyanyi, menjawab aklamasi-aklamasi, mendengarkan sabda Tuhan, ikut hening dan menyatukan hati saat imam membacakan Doa Syukur Agund serta doa-doa lainnya.
Para imam beranggung jawab mendorong umat untuk terus-menerus terlibat dan berpartisipasi aktif dalam Ekaristi. Tim Liturgi paroki pun hendaknya mempersiapkan teks Ekaristi dengan baik. Contohnya adalah memilih nyanyian dan aklamasi yang dikenal umat atau melatihnya terlebih dahulu apabila masih baru.